Tikus merupakan hewan pengerat yang bersarang di atap atau lubang-lubang kotor yang ada di rumah. Lain halnya dengan tikus negara yang tinggal di sebuah istana bersih nan megah namun penuh dengan kebusukan-kebusukan yang diperbuatnya. Mereka adalah orang-orang yang hidup nyaman diatas penderitaan dan keegosan diri. Menjadi seorang aparat negara namun ada saja kelakuan buruk mereka yang tidak seharusnya dilakukan selama masa tugas mereka.

Ya… perbuatan mereka biasa kita kenal dengan istilah korupsi. Yaitu penyalahgunaan kewenangan seorang aparat negara untuk memenuhi hasrat pribadi tanpa memperdulikan akibat yang akan terjadi pada nasib negara yang ada dalam genggamannya. Mereka tak sungkan menggerogoti negara yang masih dalam proses berkembang ini secara habis-habisan. Tak peduli jika nantinya akan terkuak pula semua perilaku buruk mereka.

Mereka dipilih oleh rakyat dengan segenap pertimbangan akan janji manis yang mereka ucapkan ketika pemilihan. Tak segan memohon untuk dipilih dengan mendatangi wilayah-wilayah yang akan mereka kuasai. Berbicara akan kebenaran dan janji-janji hingga berbusa tapi tak sesuai dengan apa yang mereka lakukan setelah terpilih. Entah mereka lalai, atau melalaikan?

Terlampau banyak kasus korupsi, terjadi di Indonesia. Bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan buruk seorang aparat negara yang tidak bisa melaksanakan amanahnya dengan sebaik-baiknya. Dari dahulu hingga saat ini, korupsi selalu menjadi topik perbincangan utama dalam perpolitikan negara. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi maraknya kasus korupsi. Salah satunya yaitu dengan dibentuknya petugas pemberantas korupsi atau KPK (komisi pemberantasan korupsi). Namun kasus tersebut tetap saja masih terus ada dan meresahkan masyarakat.

Hukum dan pasal-pasal, telah dibuat khusus untuk mereka yang telah merugikan negara. Dijebloskan ke dalam penjara, didenda semua aset miliknya dan bahkan dicabut dari tugas negaranya. Akan tetapi, menjadi tak berguna ketika sang koruptor tersebut sangat piawai memanipulasi hukum dan kekuasaan. Lain halnya dengan masyarakat kecil kita. Tak ada daya bagi mereka yang hanya melanggar hukum karena suatu alasan mendesak, terpaksa menerima hukuman yang berat melebihi beban hidup mereka. Hal ini nyata terjadi dalam kasus-kasus menyalahi aturan yang pernah terjadi dan menyita perhatian publik. Ya, tepatnya kasus pencurian yang dilakukan oleh para lansia, yang terjadi pada tahun 2015 lalu. Salah satunya yaitu nenek Asyani yang dihukum penjara karena mencuri kayu. Sedangkan para koruptor, mereka dapat terbebaskan dari segala tuntutan dan hukuman. Sebab mereka bisa membeli hukum dengan mudahnya.

Lalu, apa yang dapat kita lakukan untuk ikut serta mencegah maraknya kasus tersebut?. Bukan dengan cara demo besar-besaran, bukan juga dengan mencaci-maki ulah mereka. Biarlah cukup petugas KPK saja yang memeriksa dan mengurusnya. Sedangkan kita, cukup memperbaiki pendidikan moral bagi calon-calon pemimpin negara, bagi calon-calon petugas yang akan duduk di kursi-kursi milik negara. Ya, kita harus mulai merubah pola pikir anak bangsa sedini mungkin. Disamping itu, kita gencarkan semangat pembasmian para koruptor dengan melakukan seminar atau suatu kegiatan perkumpulan untuk membahas penanganan yang tepat demi kemajuan Indonesia kedepannya.

Intinya, dalam pembasmian tikus negara terlebih dahulu kita siapkan generasi penerus yang bersih dan bertanggung jawab atas segala sesuatnya untuk kita posisikan di dalam tugas bernegara. Selain itu kita juga harus perkuat hukum keadilan yang rata untuk semua masyarakat Indonesia. Terlebih bagi para koruptor yang dapat terlepas dari hukuman dengan mudahnya.***

(Isnawati)

Artikel yang Direkomendasikan