TIGA UJIAN INTEGRITAS MANUSIA

Ilustrasi tiga ujian integritas manusia — kedekatan dengan penguasa, memegang jabatan, dan mendadak kaya — digambarkan dengan tiga sosok laki-laki berjas dan berlatar warna hangat.
Ilustrasi simbolik tiga ujian besar manusia: kekuasaan, jabatan, dan harta. Hanya mereka yang berakhlak lurus yang mampu melewatinya tanpa berubah.

Oleh: Ki Pekathik

Sabilulhuda, Yogyakarta: tiga ujian integritas manusia – Ada sebuah ungkapan bijak yang sarat makna dan relevan sepanjang zaman:

“Ada tiga keadaan yang dapat mengubah tabiat manusia: ketika ia dekat dengan penguasa, ketika ia memegang jabatan, dan ketika ia mendadak kaya raya. Barang siapa melalui ketiganya namun tetap tidak berubah, maka sungguh ia memiliki akal yang kuat dan akhlak yang lurus.”

Ini sebuah ungkapan yang menyingkap wajah sejati manusia ketika diuji oleh kekuasaan, kedudukan, dan harta — tiga hal yang kerap menggoda nurani dan menyingkap lapisan terdalam dari kepribadian seseorang.

Hubungan sosial dan ekonomi semakin kompleks, banyak orang yang tampak rendah hati di awal perjalanan hidupnya, namun berubah seiring naiknya kedudukan atau melimpahnya rezeki. Ada pula yang awalnya jujur dan sederhana, namun kehilangan arah ketika bersentuhan dengan lingkar kekuasaan.

Maka, tiga keadaan ini sesungguhnya adalah tiga ujian terbesar dalam perjalanan manusia menuju kematangan jiwa.

1. Dekat dengan Penguasa Ujian Integritas dan Kejujuran

Kedekatan dengan penguasa baik itu pejabat, pemimpin, atau orang berpengaruh sering kali menjadi medan ujian bagi kejujuran dan prinsip seseorang. Dalam posisi itu, manusia dihadapkan pada dua jalan: menjadi penegak kebenaran atau penjilat kekuasaan.

Bila seseorang dekat dengan penguasa tetapi tetap berani berkata benar, tidak mencari muka, tidak menjual kebenaran demi kepentingan pribadi, maka ia telah lulus dari ujian integritas. Sebaliknya, bila ia memanfaatkan kedekatan itu untuk kepentingan duniawi, maka hatinya telah terjerat oleh tipu daya kekuasaan.

Baca Juga:

Rasulullah ﷺ bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

“Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan bahwa keberanian untuk tetap jujur di hadapan kekuasaan adalah puncak keimanan. Sebab kekuasaan cenderung menakutkan, dan manusia mudah tergoda untuk mencari aman dengan diam atau berpura-pura setuju.

Ujian ini muncul dalam berbagai bentuk ketika seseorang punya kedekatan dengan atasan, pejabat, atau figur publik. Di sana, godaan untuk menggunakan koneksi demi keuntungan pribadi sangat besar.

Tapi orang berakal akan menjaga jarak moral, bukan jarak fisik. Ia mungkin dekat secara sosial, namun tetap menjaga kebenaran dan prinsip sebagai batas yang suci.

Integritas seperti ini adalah mahkota yang tak semua orang sanggup memakainya.

2. Memegang Jabatan Ujian Keadilan dan Tanggung Jawab

Kekuasaan adalah cermin sejati dari karakter manusia. Dalam posisi pemimpin sekecil apa pun skala kepemimpinannya  seseorang diuji dalam hal keadilan, tanggung jawab, dan keikhlasan melayani.

Rasulullah ﷺ bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Jabatan, betapapun kecilnya, adalah amanah. Namun nafsu sering kali memelintir amanah menjadi kesempatan untuk memuaskan diri. Tidak sedikit orang yang tadinya lembut dan sederhana, berubah menjadi angkuh ketika memegang kekuasaan. Bahkan jabatan yang diniatkan untuk mengabdi bisa berubah menjadi alat menguasai.

Kekuasaan membuat seseorang mudah merasa lebih tinggi dari yang lain. Ia bisa lupa bahwa jabatan hanyalah titipan sementara, bukan kemuliaan hakiki. Dalam pandangan spiritual, jabatan bukanlah kemegahan, melainkan beban berat di hadapan Allah.

Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan dengan tegas:

إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ، وَإِنَّهَا سَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Kalian akan sangat berambisi terhadap jabatan, padahal jabatan itu kelak akan menjadi penyesalan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari)

Betapa tajam peringatan ini. Jabatan yang tidak dijalankan dengan amanah akan menjadi penyesalan kelak, sebab ia bukan sekadar kehormatan sosial, tapi tanggung jawab yang akan ditimbang satu per satu di hadapan Allah.

Dalam konteks modern, seseorang mungkin tidak menjadi pemimpin negara, tetapi bisa jadi pemimpin di lingkup kecil  seperti atasan di tempat kerja, ketua organisasi, atau kepala keluarga. Dalam setiap lingkup itu, keadilan dan tanggung jawab adalah fondasi utama.

Mereka yang tetap rendah hati, tidak memperalat jabatan untuk menindas atau memperkaya diri, adalah manusia yang telah menundukkan egonya. Ia memahami bahwa kekuasaan sejati bukanlah menguasai orang lain, melainkan menguasai diri sendiri.

3. Mendadak Kaya Raya Ujian Kerendahan Hati dan Syukur

Ujian ketiga mendadak kaya sering kali tampak lebih lembut, namun justru paling berbahaya. Kekuasaan mungkin hanya dimiliki segelintir orang, tapi harta bisa datang kepada siapa saja. Banyak orang yang ketika miskin tampak tawadhu dan saleh, namun ketika rezeki melimpah, mulai kehilangan arah.

Allah ﷻ berfirman:

كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَىٰ أَن رَّآهُ اسْتَغْنَىٰ

“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-‘Alaq [96]: 6–7)

Harta memberi rasa cukup, namun juga dapat menumbuhkan kesombongan halus dalam jiwa. Orang yang mendadak kaya sering kali diuji dalam dua hal: apakah ia tetap sederhana, dan apakah ia tetap ingat kepada Sang Pemberi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ… وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ

“Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara… tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan.” (HR. Tirmidzi)

Kaya bukanlah dosa, tetapi lupa diri karena kaya adalah bencana. Orang yang benar-benar berakal tidak sombong karena kekayaannya, sebab ia tahu harta hanyalah alat untuk kebaikan, bukan sumber kemuliaan.

Baca Juga:

Ia menafkahkan sebagian rezekinya dengan lapang dada, menolong sesama tanpa pamrih, dan tetap hidup sederhana karena hatinya tidak terikat pada dunia.

Mereka inilah yang disebut Rasulullah ﷺ sebagai orang yang benar-benar kuat:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kaya raya juga bisa menimbulkan “amarah halus” — yaitu kemarahan terhadap ketidakcukupan orang lain, rasa superior, dan keinginan untuk dihormati. Hanya orang yang menundukkan hawa nafsu dan menyadari kefanaan dunia yang bisa melewati ujian ini dengan selamat.

4. Melewati Tiga Ujian  Menuju Jiwa yang Merdeka

Mereka yang tetap tidak berubah setelah melewati tiga keadaan  dekat dengan penguasa, memegang jabatan, dan mendadak kaya  adalah manusia langka. Ia telah menaklukkan tiga nafsu terbesar: cinta kekuasaan, cinta kemegahan, dan cinta harta.

Orang seperti ini bukan hanya berakal kuat, tapi juga memiliki jiwa yang merdeka. Ia tidak diperbudak oleh posisi, tidak diperdaya oleh pujian, dan tidak diperbudak oleh dunia.

Inilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah ﷺ:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)

Orang yang berhasil mensucikan jiwanya mampu menjaga kejujuran ketika dekat dengan kekuasaan, adil ketika berkuasa, dan bersyukur ketika kaya. Ia memahami bahwa kemuliaan sejati bukan terletak pada pangkat, jabatan, atau harta, melainkan pada kejernihan hati dan keteguhan akhlak.

Dalam dunia modern, di mana pencitraan dan status sering lebih dihargai daripada ketulusan, manusia semacam ini menjadi oase moral yang menyejukkan. Ia mungkin tidak menonjol di panggung dunia, tetapi namanya harum di sisi Tuhan.

Menjadi Manusia yang Tak Mudah Berubah

Hidup adalah perjalanan panjang penuh ujian. Kadang kita diuji dengan kekurangan, di lain waktu diuji dengan kelebihan. Namun yang paling berat adalah tetap menjadi diri yang jujur dan lurus di tengah perubahan.

Tiga keadaan dekat dengan penguasa, memegang jabatan, dan mendadak kaya  adalah tiga cermin yang menampakkan siapa diri kita sebenarnya.

Mereka yang tetap sederhana ketika diberi kelimpahan, tetap rendah hati ketika dipuji, dan tetap adil ketika berkuasa itulah manusia yang telah menemukan kemuliaan sejati.

Baca Juga: Integritas: Fondasi Kinerja di Kementerian Keuangan

Ia tidak berubah karena ia tahu:

bahwa kehormatan sejati bukan yang datang dari luar,

melainkan yang tumbuh dari dalam

dari hati yang selalu tunduk kepada Allah,

dan akhlak yang tetap indah meski dunia berubah rupa.