Oleh: Ki Pekathik
Sabilulhuda, Yogyakarta: Tidak Sepatutnya Meninggalkan Amal Yang Disyariatkan Karena Takut Riya – Dalam perjalanan batin manusia menuju Allah, sering kali muncul pergulatan halus di dalam hati. Tatkala seseorang hendak melakukan amal saleh —salat berjamaah, membaca Al-Qur’an, berzikir, atau bersedekah tiba-tiba hadir bisikan lembut di dalam diri:
“Jangan-jangan aku riya’. Jangan-jangan aku ingin dipuji orang.” Lalu sebagian orang memilih berhenti beramal karena takut hatinya tidak ikhlas.
Padahal, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama besar, meninggalkan amal karena takut riya adalah salah satu bentuk tipu daya setan. Ia menghalangi seorang hamba dari kebaikan dengan membungkusnya dalam selimut kehati-hatian yang tampak saleh.
1. Amal Tidak Boleh Ditinggalkan Karena Takut Riya
Imam an-Nawawi رحمه الله membuka bab ini dalam Riyāḍuṣ Ṣāliḥīn dengan kalimat yang tegas:
لَا يَنْبَغِي تَرْكُ الْعَمَلِ الْمَشْرُوعِ خَوْفَ الرِّيَاءِ
“Tidak sepatutnya meninggalkan amal yang disyariatkan karena takut riya.”
Manusia, katanya, sering dihadapkan pada keraguan batin. Ia ingin berbuat taat, namun muncul rasa takut bahwa amalnya akan tercampur dengan niat buruk. Dalam keadaan seperti itu, Imam Nawawi menasihati agar tidak memperhatikan bisikan tersebut.
Melainkan tetap melaksanakan amal karena Allah Ta‘ala, memohon pertolongan dan bertawakal agar amalnya diterima dengan cara yang benar.
Inilah pelajaran penting: jangan biarkan ketakutan terhadap pandangan manusia menghalangi jalan ketaatan kepada Allah.
2. Imam Nawawi: Zikir Harus Tetap Dilakukan
Dalam kitab Al-Adzkar, Imam Nawawi memberikan contoh yang sangat indah:
لَا يَنْبَغِي أَنْ يَتْرُكَ الذِّكْرَ بِاللِّسَانِ مَعَ الْقَلْبِ خَوْفًا مِنْ أَنْ يُظَنَّ بِهِ الرِّيَاءُ، بَلْ يَذْكُرُهُمَا جَمِيعًا، وَيَنْوِي بِذٰلِكَ وَجْهَ اللهِ تَعَالَى.
“Tidak sepatutnya seseorang meninggalkan zikir dengan lisannya bersamaan dengan hatinya karena takut dikira riya’. Bahkan hendaklah ia tetap berzikir dengan keduanya dan meniatkannya untuk mencari wajah Allah semata.”
Zikir adalah nyawa ruhani, pengingat abadi antara hamba dan Tuhannya. Jika seseorang berhenti berzikir karena takut dikira pamer, sesungguhnya ia telah mengorbankan hubungan spiritualnya demi menuruti prasangka manusia.
Keikhlasan tidak berarti menyembunyikan semua amal; yang penting adalah menyucikan niat di dalam hati, bukan menghapus amal yang baik.
Baca Juga:
3. Al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ: Dua Ujung Bahaya Riya dan Syirik
Imam Nawawi menukil perkataan emas dari al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ رحمه الله:
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ.
“Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan melakukan amal karena manusia adalah syirik.”
Kata-kata ini seperti cermin yang menelanjangi batin.
Jika kita berhenti beramal karena takut dilihat manusia, kita sebenarnya telah menjadikan manusia sebagai ukuran — itu pun termasuk riya’.
Jika kita beramal justru demi manusia, maka itu syirik. Keduanya berakar dari satu sumber: menjadikan manusia pusat perhatian, bukan Allah.
Al-Fuḍail lalu menegaskan:
مَنْ كَانَ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ فِي أَعْمَالِهِ، وَيَخَافُ ظَنَّهُمْ، حُجِبَ عَنْهُ كَثِيرٌ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ.
“Siapa yang selalu memperhatikan pandangan manusia dalam amalnya dan takut terhadap dugaan mereka, maka tertutuplah darinya banyak pintu kebaikan.”
Sungguh, betapa banyak amal kebaikan yang gugur karena ketakutan ini. Orang yang seharusnya bisa mengajar Al-Qur’an, enggan. Yang bisa menolong sesama, ragu. Yang bisa menasihati, diam. Semua karena takut dianggap riya’.
Padahal Allah tidak menilai dari penilaian manusia, tetapi dari niat yang tersembunyi di dalam dada.
4. Ibn al-Jauzi: Bisikan Setan yang Menghalangi Amal
Abu al-Faraj Ibn al-Jauzi رحمه الله menjelaskan dalam Talbīs Iblīs bahwa meninggalkan amal karena takut riya’ bisa dibedakan menjadi dua keadaan:
- Jika dorongan amal bukan karena agama, melainkan karena ingin dipuji, maka memang sebaiknya ditinggalkan — karena itu maksiat.
- Namun jika dorongan amal datang dari agama dan dilakukan karena Allah, maka tidak sepatutnya ditinggalkan, meskipun muncul rasa takut riya.
Lalu beliau menegaskan dengan kalimat tajam:
تَرْكُ الْعَمَلِ خَوْفًا مِنَ الرِّيَاءِ خُدْعَةٌ مِنَ الشَّيْطَانِ.
“Meninggalkan amal karena takut disebut riya’ adalah tipu daya setan.”
Beliau menjelaskan dua keadaan:
- Jika dorongan amal karena dunia dan ingin dipuji, maka tinggalkan. Jika dorongan amal karena agama dan untuk Allah, maka jangan ditinggalkan.
- Setan tidak selalu menggoda dengan cara kasar. Ia bisa datang dalam bentuk “nasihat lembut”: “Hati-hati, nanti kamu dipuji orang.”
Padahal niat seseorang bisa tetap ikhlas meski dilihat banyak orang, selama hatinya tidak mencari pujian itu.
5. Ibrahim at-Taimi: Lawan Bisikan Itu dengan Amal
Seorang ulama salaf, Ibrahim at-Taimi, memberi nasihat yang menggugah:
إِذَا جَاءَكَ الشَّيْطَانُ وَأَنْتَ تُصَلِّي فَقَالَ: إِنَّكَ تُرَائِي، فَأَطِلِ الصَّلَاةَ.
“Jika setan datang kepadamu saat engkau salat dan berkata: ‘Engkau sedang riya’,’ maka panjangkanlah salatmu.”
Lihatlah betapa tegas beliau dalam melawan tipu daya setan. Bukan dengan berhenti, tetapi dengan memperpanjang ketaatan.
Karena cara terbaik melawan riya adalah memperdalam hubungan dengan Allah, bukan menghentikan ibadah.
Ketika bisikan itu datang, katakan dalam hati:
“Aku tidak melakukannya untuk siapa pun, hanya untuk-Mu, ya Allah.” Lalu lanjutkan amal dengan penuh kekhusyukan.
Baca Juga:
6. Keteladanan Salaf dalam Menjaga Hati
Ada riwayat bahwa sebagian salaf menahan diri dari amal ketika takut riya. Namun Ibn al-Jauzi menjelaskan bahwa maksudnya bukan mereka takut dilihat orang, tetapi takut hati mereka terpengaruh oleh rasa bangga.
Mereka berhenti bukan karena pandangan manusia, tapi karena sedang menjaga kemurnian niat.
Ini adalah maqam (tingkatan) batin yang tinggi — bukan alasan bagi kita untuk meninggalkan amal kebaikan secara umum.
Dari Ibrahim an-Nakha‘i, dikisahkan:
كَانَ يَقْرَأُ الْمُصْحَفَ، فَدَخَلَ عَلَيْهِ رَجُلٌ، فَأَغْلَقَ الْمُصْحَفَ، وَقَالَ: لَا أُحِبُّ أَنْ يُرَانِي أَحَدٌ عَلَى شَيْءٍ مِنَ الطَّاعَةِ أَخَافُ أَنْ يَكُونَ رِيَاءً.
“Ketika ia sedang membaca mushaf, datang seorang lelaki. Maka ia menutup mushaf dan berkata: ‘Aku tidak suka terlihat sedang membaca karena khawatir dianggap riya’.”
Inilah bentuk wara’ kehati-hatian pribadi dalam menjaga hati. Namun, bagi kebanyakan orang, menutup mushaf bukanlah solusi. Yang benar adalah terus membaca, tapi menjaga niat agar tetap murni untuk Allah.
7. Riya: Penyakit Hati yang Dihapus dengan Ikhlas
Riya bukan masalah pada perbuatan, tapi pada niat yang bergeser dari Allah kepada makhluk.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ.
قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللهِ؟
قَالَ: الرِّيَاءُ.
(رواه أحمد)
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya: “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya’.” (HR. Ahmad)
Maka, obatnya bukan dengan berhenti beramal, tetapi menyembuhkan niat dengan ikhlas. Setiap kali muncul rasa ingin dipuji, segera ingat bahwa semua pujian fana, sedangkan pahala di sisi Allah kekal.
8. Menyucikan Niat di Tengah Pandangan Manusia
Dalam kehidupan modern, menjaga niat menjadi semakin sulit. Segala amal kini bisa dilihat, difoto, dipublikasikan.
Orang beramal saleh di media sosial, lalu dihantui pertanyaan: “Apakah aku melakukannya untuk Allah atau untuk disukai orang?”
Namun sekali lagi, tidak boleh amal ditinggalkan karena takut riya. Yang harus dilakukan adalah memperkuat niat, memperbaiki tujuan, dan memohon penjagaan Allah. Jika niat seseorang lurus, bahkan amal yang terlihat oleh banyak orang pun tetap diterima Allah.
Baca Juga:
Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
(متفق عليه)
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih — HR. al-Bukhārī dan Muslim)
9. Lawan Bisikan Setan dengan Amal yang Ikhlas
Setan akan selalu berusaha menutup jalan kebaikan. Ia tahu, jika manusia takut riya lalu berhenti beramal, maka ia telah menang dua kali:
- Pertama, manusia kehilangan pahala amalnya.
- Kedua, manusia terjebak dalam kelumpuhan batin yang membuatnya malas taat.
Karena itu, jangan berhenti beramal karena takut riya. Yang perlu dilakukan adalah beramal sambil terus memperbaiki niat.
Katakan pada diri sendiri:
- “Aku berzikir bukan untuk dipuji, tapi karena Allah memerintahkannya.”
- “Aku bersedekah bukan untuk dilihat, tapi karena Allah menyukai orang yang menolong.”
- “Aku salat bukan karena ingin dianggap saleh, tapi karena aku rindu berbicara dengan Tuhanku.”
Semakin kuat niat itu diteguhkan, semakin lemah godaan riya.
Penutup
Imam Nawawi, al-Fuḍail bin ‘Iyāḍ, Ibn al-Jauzi, dan para ulama lainnya telah membuka rahasia besar: bahwa ketulusan bukanlah ketiadaan pandangan manusia, melainkan kehadiran Allah di dalam hati.
- Jika engkau beramal, maka lakukanlah semata-mata karena Allah.
- Jika engkau tergoda riya, lawan dengan mengingat kebesaran-Nya.
- Jika engkau takut salah niat, mohonlah kepada-Nya agar hatimu dijaga.
Sebab yang menilai bukan manusia, bukan pula pandangan dunia melainkan Dia yang Maha Mengetahui isi hati.
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى ۗ وَإِلَى اللَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ
“Dan barang siapa menyerahkan wajahnya kepada Allah sedang ia berbuat ihsan, maka sungguh ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman: 22)
Maka jangan berhenti berbuat baik hanya karena takut dinilai manusia. Lakukanlah amalmu, serahkan niatmu kepada Allah, dan biarlah Dia yang menilai keikhlasanmu.
Baca Juga: Saat Riya Merasuki Jiwa dengan Lembut
Sumber:
- Riyāḍuṣ Ṣāliḥīn, Imam an-Nawawi, Bab: لَا يَنْبَغِي تَرْكُ الْعَمَلِ الْمَشْرُوعِ خَوْفَ الرِّيَاءِ
- Al-Adzkar, Imam an-Nawawi
- Talbīs Iblīs, Ibn al-Jauzi
















