
Sutan Sjahrir Bapak Bangsa yang Terlupakan – Ketika kita berbicara tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, nama Soekarno dan Hatta selalu terukir jelas dalam ingatan kolektif. Namun, di balik dua tokoh sentral ini, ada seorang pemikir brilian dan pejuang gigih yang perannya tak kalah vital, meski seringkali terpinggirkan dari narasi arus utama: Sutan Sjahrir.
Lahir di Padangpanjang pada 5 Maret 1909, Sjahrir adalah seorang sosialis demokrat, intelektual ulung, dan diplomat ulung yang mewarnai lanskap politik Indonesia sejak era pergerakan hingga masa-masa awal kemerdekaan.
Jejak Awal dan Pendidikan Sutan Sjahrir
Sjahrir berasal dari keluarga bangsawan Minangkabau yang progresif. Ayahnya, Sultan Leman Alamsyah, adalah Kepala Jaksa di Medan. Lingkungan keluarga yang terpelajar menumbuhkan minatnya pada ilmu pengetahuan dan pemikiran kritis sejak dini.
Pendidikan formalnya dimulai di ELS (Europeesche Lagere School) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Medan, lalu melanjutkan ke AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung. Di sinilah ia mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan kebangsaan dan pergerakan.
Semangatnya untuk perubahan tak berhenti di situ. Sjahrir kemudian melanjutkan studi hukum di Universitas Amsterdam, Belanda. Di negeri kincir angin inilah cakrawalanya terbuka lebih luas. Ia aktif dalam organisasi mahasiswa Indonesia, seperti Perhimpunan Indonesia (PI), yang saat itu menjadi sarang pemikiran anti-kolonial.
Baca Juga:

Perjuangan Ki Hajar Dewantara Hingga Akhir Hayat https://sabilulhuda.org/perjuangan-ki-hajar-dewantara-hingga-akhir-hayat/
Di PI, ia bertemu dengan Mohammad Hatta dan mulai mendalami ideologi sosialisme demokrat. Pemikirannya dipengaruhi oleh tokoh-tokoh seperti Harold Laski dan John Maynard Keynes, yang membentuk fondasi pandangannya tentang negara kesejahteraan dan keadilan sosial.
Pergulatan Politik di Masa Kolonial
Sekembalinya ke tanah air pada tahun 1931, Sjahrir langsung terjun ke kancah pergerakan nasional. Bersama Hatta, ia mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), sebuah organisasi yang menekankan pentingnya pendidikan politik bagi rakyat untuk mencapai kemerdekaan.
Berbeda dengan pendekatan Soekarno yang menekankan massa aksi, Sjahrir dan Hatta lebih memilih jalur pendidikan dan kaderisasi, meyakini bahwa kemerdekaan haruslah didasari oleh kesadaran dan pemahaman yang mendalam dari rakyat.
Aktivitas politik Sjahrir yang kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda tak luput dari pengawasan. Pada tahun 1934, ia ditangkap bersama Hatta dan diasingkan ke Boven Digoel, Papua, dan kemudian ke Banda Neira. Masa pengasingan ini, meskipun sulit, justru menjadi ajang pendalaman intelektual bagi Sjahrir.
Ia banyak membaca, menulis, dan berdiskusi dengan Hatta, mengasah pemikiran-pemikirannya tentang masa depan Indonesia. Di Banda Neira, ia juga aktif mengajar anak-anak setempat, menunjukkan komitmennya terhadap pendidikan.
Peran Sentral Menjelang Proklamasi
Saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Sjahrir di bebaskan. Ia memilih jalur “bawah tanah” (illegal) untuk melanjutkan perjuangannya, berbeda dengan Soekarno dan Hatta yang menjalin kerja sama dengan Jepang.
Sjahrir memanfaatkan jaringan bawah tanahnya untuk menyebarkan berita tentang kekalahan Jepang dan mendorong para pemuda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Ia adalah salah satu tokoh yang paling gigih mendesak Soekarno dan Hatta untuk tidak menunggu janji kemerdekaan dari Jepang, melainkan mengambil inisiatif sendiri.
Momen Rengasdengklok adalah bukti nyata peran Sjahrir. Ketika para pemuda “menculik” Soekarno dan Hatta, salah satu tujuannya adalah agar kedua proklamator tersebut mendengarkan desakan Sjahrir dan golongan muda.
Sjahrir memahami betul bahwa momentum pasca-menyerahnya Jepang adalah kesempatan emas yang tidak boleh di lewatkan. Ia visioner, mampu membaca situasi geopolitik dengan jeli, dan melihat bahwa kemerdekaan harus direbut, bukan diberikan.
Perdana Menteri Pertama dan Arsitek Diplomasi
Setelah proklamasi kemerdekaan, Sjahrir di percaya menduduki jabatan yang sangat krusial: Perdana Menteri pertama Republik Indonesia pada November 1945.
Di tengah situasi revolusi yang bergejolak dan ancaman kembalinya Belanda, Sjahrir menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa. Ia menyadari bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya bisa di lakukan melalui jalur militer, tetapi juga harus melalui jalur diplomasi internasional.
Sebagai diplomat ulung, Sjahrir memainkan peran sentral dalam membawa masalah Indonesia ke forum internasional. Ia adalah arsitek di balik berbagai perundingan dengan Belanda, termasuk Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville.
Meskipun perundingan-perundingan ini seringkali kontroversial dan menimbulkan kritik di dalam negeri, Sjahrir tetap berpegang pada keyakinannya bahwa diplomasi adalah jalan terbaik untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dan menghindari lebih banyak pertumpahan darah.
Ia berusaha meyakinkan dunia bahwa Indonesia adalah negara merdeka yang berhak menentukan nasibnya sendiri.
Pandangan politiknya yang sosialis demokrat juga tercermin dalam kebijakan-kebijakan pemerintahannya. Ia menekankan pentingnya pembangunan ekonomi yang berkeadilan, pendidikan, dan hak-hak asasi manusia.
Sjahrir juga di kenal sebagai tokoh yang sangat anti-fasisme dan pro-demokrasi, sebuah sikap yang ia pegang teguh sepanjang hidupnya.
Akhir Hayat dan Warisan yang Abadi
Kiprah politik Sjahrir tidak selalu mulus. Ia seringkali berbenturan pandangan dengan kelompok-kelompok lain, termasuk militer, karena pendekatannya yang lebih moderat dan diplomatik. Pada tahun 1947, ia mengundurkan diri dari jabatan Perdana Menteri. Meskipun begitu, ia tetap aktif dalam politik dan terus menyuarakan gagasan-gagasannya.
Sayangnya, di masa Demokrasi Terpimpin, Sjahrir mengalami masa sulit. Ia di tangkap pada tahun 1962 atas tuduhan terlibat dalam Permesta dan dianggap anti-pemerintah. Penahanan ini sangat memengaruhi kesehatannya.
Pada tahun 1965, ia di izinkan berobat ke Swiss, namun kondisinya sudah sangat parah. Sutan Sjahrir meninggal dunia di Zürich pada 9 April 1966, dalam status sebagai tahanan politik.
Kematiannya menyisakan duka mendalam bagi para pengikut dan sahabatnya. Meskipun di akhir hayatnya ia terpinggirkan, warisan Sutan Sjahrir tetap abadi. Ia adalah simbol kecerdasan, integritas, dan keberanian.
Pemikirannya tentang demokrasi, keadilan sosial, dan pentingnya diplomasi tetap relevan hingga kini. Sjahrir adalah seorang bapak bangsa yang melampaui zamannya, seorang intelektual yang pemikirannya mencerahkan.
Dan seorang pejuang yang gigih memperjuangkan kemerdekaan dan martabat bangsanya, bahkan ketika harus menghadapi jalan terjal.
Mengenang Sutan Sjahrir berarti mengakui bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia adalah tapestry kaya yang di tenun oleh berbagai benang perjuangan, dan salah satu benang terkuat itu adalah benang dari seorang Bapak Bangsa yang kerap terlupakan.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia













