
Sajadah Sahabat! Kisah Persahabatan Dua Anak Santri – Di sebuah pesantren kecil di kaki gunung, tinggallah dua anak santri bernama Hasbi dan Fahri. Keduanya baru berusia sebelas tahun, sama-sama kurus, berkulit gelap karena sering bermain di bawah matahari, dan berasal dari keluarga yang sangat sederhana.
Hasbi anak pemulung dari kota kecil. Ayahnya sakit-sakitan, ibunya sendirian memulung. Fahri, yatim piatu sejak usia lima tahun, tinggal bersama neneknya yang buta huruf dan menjual gorengan di pasar.
Meski sama-sama miskin, Hasbi dan Fahri tidak pernah mengeluh. Mereka selalu berbagi: berbagi roti, berbagi sabun mandi, bahkan berbagi sajadah yang sudah robek di ujungnya. “Yang penting masih bisa buat sujud, Bi,” kata Fahri sambil tertawa ringan.
Setiap habis subuh, mereka berdua duduk berdua di bawah pohon mangga sambil menghafal Al-Qur’an. Kadang Hasbi membetulkan bacaan Fahri, kadang Fahri yang mengingatkan Hasbi agar tidak lupa tajwid.
“Kalau kamu sudah hafal Qur’an nanti, mau jadi apa, Ri?” tanya Hasbi suatu pagi.
Fahri tersenyum. “Aku mau jadi guru ngaji di kampung. Biar anak-anak miskin kayak kita bisa belajar Qur’an juga.”
“Kalau aku,” kata Hasbi, “mau ngasih becak baru buat Bapak. Becaknya udah keropos, ditambal plastik semua.”
Mereka lalu tertawa kecil, seperti dua anak kecil yang bermimpi besar di tengah kehidupan sederhana.
Baca Juga:

Payung Dari Hati Mbah Suyati https://sabilulhuda.org/payung-dari-hati-mbah-suyati/
Ujian Saat Harga Diri Diuji Sajadah
Namun hidup di pesantren bukan tanpa cobaan. Suatu hari, ketika mereka sedang menyapu halaman, seorang santri jail Tama menjadikan kain pel sajadah robek yang mereka gunakan untuk shalat.
“Pakai sajadah begitu? Kalian ini malu-maluin santri!” ejek Tama sambil tertawa bersama dua temannya.
Hasbi menunduk, tangannya menggenggam gagang sapu dengan erat. Tapi Fahri maju, wajahnya tenang tapi matanya menyala.
“Sajadah robek itu yang kami punya,” ucap Fahri lantang. “Yang penting kami masih bisa sujud dengan ikhlas. Bukan sajadahnya yang Allah lihat, tapi hati kami.”
Tama melotot, lalu mendorong Fahri sampai jatuh ke tanah. Hasbi spontan menolong Fahri bangkit dan menatap Tama dengan mata yang mulai berkaca.
“Jangan hina kami cuma karena kami miskin,” gumam Hasbi lirih.
Ustaz datang saat itu juga dan melerai. Setelah memeriksa kejadian, Tama akhirnya diminta minta maaf di depan semua santri. Tapi sejak hari itu, banyak santri jadi tahu tentang persahabatan Hasbi dan Fahri dan diam-diam mereka mulai menghargai keduanya.
Malam-malam mereka isi dengan shalat tahajud bersama. Sajadah robek itu mereka cuci bergantian. Dan ketika ada donatur pesantren datang membawa baju-baju baru, Hasbi dapat jubah bagus berwarna putih.
Tapi tanpa ragu, jubah itu ia berikan pada Fahri.
“Kamu lebih butuh jubah ini buat jadi imam, Ri,” kata Hasbi.
Fahri menolak. Tapi Hasbi memaksa. “Bapak bilang, kalau bisa membahagiakan orang lain, bahagiakanlah. Biar Allah yang bahagiakan kita nanti.”
Fahri pun menerimanya dengan mata berkaca-kaca.
Saat Sakit, Persahabatan Diuji
Suatu hari di bulan Ramadhan, Fahri jatuh sakit. Badannya demam tinggi, batuk keras, dan matanya sayu. Ustaz membawa Fahri ke klinik kecil, dan Hasbi ikut menemani sepanjang malam.
Sambil menggenggam tangan Fahri yang lemah, Hasbi membaca ayat demi ayat dari Qur’an yang biasa mereka hafal bersama.
“Kamu nggak boleh sakit, Ri. Kita belum nyelesaiin juz 30 bareng,” bisik Hasbi, menahan tangis.
Fahri menatap Hasbi, tersenyum lemah.
“Kalau aku nggak kuat… terusin hafalannya, ya. Hafalin juga buat aku,” katanya.
Hasbi menggeleng cepat. “Jangan ngomong gitu. Allah pasti sembuhin kamu.”
Dan benar, beberapa hari kemudian, Fahri mulai membaik. Tapi ia masih lemah. Maka Hasbi memutuskan untuk berpuasa dua hari berturut-turut dan berdoa semalaman agar Fahri cepat pulih.
Saat wisuda santri di akhir tahun, Fahri berdiri di depan dengan suara serak tapi mantap, melantunkan surah Ar-Rahman. Di barisan belakang, Hasbi meneteskan air mata haru.
Malam itu, mereka duduk berdua seperti biasa, di bawah pohon mangga.
“Aku nggak tahu kalau bukan karena kamu, Bi… aku bisa kuat sejauh ini,” ucap Fahri.
“Kita berdua kuat karena kita saling jagain, Ri,” jawab Hasbi.
Dan sajadah robek itu, kini terlipat rapi di lemari asrama, tetap mereka simpan. Bukan karena nilainya, tapi karena kenangannya.
Karena di balik robeknya kain itu, tersimpan ikatan persahabatan yang tumbuh dari kesederhanaan, kasih sayang, dan iman.
Baca Juga: Buku Dongeng Gratis Tersedia di Situs Kemdikbud
Persahabatan sejati tidak memandang harta atau status. Di dalam ketulusan dan cinta karena Allah, dua anak miskin bisa saling menguatkan, saling menjaga, dan menjadi semangat satu sama lain.
Oleh: Izzayumna