Oleh: Ki Pekathik
Luka yang Menggerogoti Jiwa
Sabilulhuda, Yogyakarta: Renungan Diri untuk Para Suami – Ada sebuah ungkapan yang membutuhkan konnsentrasi dan kesabaran yang tinggi untuk memahaminya yaitu “Istri Depresi dan Mental Hancur Itu Nyata Adanya”.
Di balik senyum seorang istri yang terlihat tegar, ada kemungkinan tersimpan badai yang tak semua orang bisa rasakan. Ia menyiapkan sarapan dengan tangan gemetar, menyapu rumah sambil menahan air mata, dan menjawab sapaan anak dengan senyum palsu agar tak ketahuan bahwa jiwanya sedang runtuh pelan-pelan.
Depresi seorang istri itu nyata adanya bukan karangan, bukan kelemahan, bukan pula tanda kurang iman atau kurang doa. Justru sering kali, ia berdoa setiap malam dengan linangan air mata, berharap suaminya yang dulu ia sebut “imam”, pelindung, tempat bersandar dapat kembali menjadi rumah bagi jiwanya.
Namun bagaimana jika rumah yang ia tinggali ternyata menjadi sumber luka itu sendiri?
1. Ketika Imam Menjadi Sumber Luka
Pernikahan semestinya menjadi ruang aman, tempat dua jiwa saling menenangkan. Namun banyak istri yang justru menemukan dirinya hidup dalam rumah yang dingin — bukan karena kurang cinta, tetapi karena kehangatan itu direnggut oleh suami yang kehilangan kesadaran akan perannya.
Ada suami yang kasar dengan kata-kata:
- “Dasar kamu nggak becus!”
- “Udah aku nikahi aja harusnya bersyukur!”
- “Cuma di rumah doang kerjaannya, masih aja ngeluh!”
Dan setiap kalimat itu, tanpa disadari, menyalak seperti cambuk yang menggores batin seorang perempuan yang tadinya lembut. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri:
- Apakah aku tidak pantas dicintai?
- Apakah semua ini salahku?
- Ataukah aku terlalu banyak menuntut?
Padahal ia hanya ingin diperlakukan dengan kasih. Ia ingin suaminya mendengarkan tanpa menghakimi, memeluk tanpa menuntut, menenangkan tanpa menyalahkan.
Namun yang datang justru kemarahan, bentakan, atau keheningan yang dingin. Lama-lama, jiwanya pun lelah.
Baca Juga:
2. Depresi Itu Tidak Selalu Berteriak
Depresi tidak selalu berbentuk tangisan keras atau amukan. Ia bisa hadir dalam diam yang panjang, dalam senyum yang hambar, dalam mata kosong seorang istri yang dulu penuh cahaya.
Ia tetap memasak, tetap mencuci, tetap mengurus anak. Tapi di dalam dirinya ada jiwa yang retak. Ia merasa sendirian meski tinggal satu atap dengan seseorang yang seharusnya menjadi pendampingnya.
Banyak orang, termasuk sebagian masyarakat, menganggap perempuan yang depresi berarti “kurang iman”.
- “Coba lebih banyak dzikir.”
- “Jangan baper, nanti dosa.”
- “Kalau kamu sabar, pasti kuat.”
Padahal, iman tidak selalu menghilangkan rasa sakit, sebagaimana obat tidak selalu menghapus seluruh penyakit.
Seorang istri bisa tetap shalat lima waktu, berdoa setiap malam, bersedekah, menutup aurat dengan sempurna namun tetap merasakan kehancuran batin karena luka yang ditimbulkan oleh perilaku pasangannya.
Agama tidak menyalahkan perasaan itu. Rasulullah ﷺ sendiri bersabda:
“Salinglah berbuat baiklah kepada istri-istri kalian, karena sesungguhnya mereka adalah amanah di sisi kalian.” (HR. Tirmidzi)
Amanah itu bukan pelayan, bukan boneka emosi, bukan penampung amarah.
3. Luka dari Orang yang Diharapkan Menjadi Obat
Yang paling menyakitkan dari depresi istri bukan karena luka yang diterima, tetapi siapa yang membuatnya. Sebab luka yang datang dari orang asing mudah diabaikan, tapi luka dari orang yang dicintai bisa mengikis identitas diri.
Ketika seorang istri merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri ketika setiap pendapatnya dianggap remeh, setiap perasaannya disepelekan, setiap air matanya diabaikan maka mulai kehilangan makna dirinya.
Dan kehilangan makna adalah pintu menuju kehancuran jiwa. Ia mungkin mencoba bertahan karena anak-anak. Ia berkata dalam hati: “Aku harus kuat demi mereka.”
Namun kekuatan itu lama-lama menjadi topeng, bukan keteguhan. Dan di balik topeng itu, perlahan kewarasannya terkikis sedikit demi sedikit.
4. Kewarasan Terkuras Perlahan
Depresi bukan hanya soal kesedihan. Ia adalah kelelahan jiwa yang berulang, akibat tekanan batin yang tak berhenti. Seorang istri bisa tampak “baik-baik saja”, tapi di dalam dirinya, ia mungkin sudah menyerah. Ia tak lagi ingin bicara, tak lagi ingin marah, bahkan tak lagi ingin berharap.
Suami yang terus-menerus mengabaikan atau melukai istri tanpa disadari sedang merusak sistem pertahanan mental keluarganya sendiri. Sebab seorang istri adalah pusat emosi rumah tangga. Ketika ia sakit secara mental, anak-anak pun akan menyerap energinya.
Rumah kehilangan cahayanya.
Banyak perempuan yang berkata lirih dalam tangis:
- “Aku nggak marah sama suamiku, aku cuma capek.”
- “Aku pengen tenang, tapi rumahku sendiri nggak memberi ketenangan.”
- “Aku berdoa tiap malam, tapi rasanya Tuhan diam saja.”
Padahal bukan Tuhan yang diam melainkan manusia yang lupa menjalankan perintah-Nya untuk saling menenangkan.
Baca Juga:
5. Iman Tidak Meniadakan Rasa
Menjadi beriman bukan berarti tak pernah terluka. Menjadi taat bukan berarti kebal terhadap rasa lelah. Bahkan Maryam ‘alaihassalām wanita suci pilihan Allah pernah berkata di tengah derita:
“Wahai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 23)
Itu adalah ungkapan rasa sakit batin, bukan tanda kurang iman. Allah tidak mencela perasaannya, justru menguatkannya dengan wahyu dan ketenangan. Maka ketika seorang istri depresi, yang ia butuhkan bukan ceramah tentang sabar, tapi pelukan dan pengertian.
Ia tidak butuh dihakimi, tapi didengarkan. Ia tidak butuh disuruh kuat, tapi diajak berpegangan bersama agar kuat bersama.
6. Suami semestinya menjadi Imam yang Menyembuhkan
Tugas seorang suami bukan hanya mencari nafkah, tapi juga menjadi penuntun batin bagi keluarganya. Ia adalah imam di atas sajadah dalam keseharian:
menenangkan, melindungi, menegakkan kasih. Imam penuntun menuju keselamatan bukan berarti penguasa. Rasulullah ﷺ tidak pernah membentak istri-istrinya. Beliau lembut, bahkan ketika berbeda pendapat.
Dalam satu hadis disebutkan:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi)
Maka jika seorang suami menyakiti hati istrinya, mengabaikan emosinya, dan menekan jiwanya, bagaimana mungkin ia layak disebut baik? Sebab tidak ada kebaikan yang lahir dari kekerasan.
7. Beranilah Meminta Tolong
Tidak ada dosa dalam mengakui bahwa kita tidak baik-baik saja. Seorang istri yang merasa depresi berhak untuk meminta pertolongan entah pada sahabat, keluarga, atau tenaga profesional.
Berbicara tentang kesehatan mental bukan tanda lemah, tapi tanda bahwa kita ingin sembuh. Begitu pula bagi para suami: beranilah bercermin pada diri sendiri.
Tanyakan dengan jujur:
- Apakah aku membuat istriku merasa aman atau justru tertekan?
- Apakah aku menjadi sumber tenang atau sumber tangis?
- Apakah aku sudah menjadi rumah baginya, atau hanya tempat ia menahan perih?
Sebab, tidak ada cinta yang bisa tumbuh di tanah luka. Dan tidak ada doa yang bisa menembus langit jika manusia di bumi saling menyakiti tanpa penyesalan.
Baca Juga:
8. Menyembuhkan Bersama
Menyembuhkan luka batin dalam rumah tangga tidak bisa dilakukan sepihak. Istri mungkin butuh waktu untuk pulih, tapi suami pun harus belajar untuk berubah.
Mulailah dengan hal sederhana:
- Mendengarkan tanpa memotong.
- Memeluk tanpa alasan.
- Mengucap terima kasih atas hal kecil.
- Meminta maaf tanpa gengsi.
Karena kadang, penyembuhan dimulai dari satu kalimat lembut: “Aku sadar selama ini aku salah. Maafkan aku, aku ingin memperbaikinya.” Kalimat itu bisa menjadi awal bagi kebangkitan sebuah keluarga.
9. Kewarasan Istri Adalah tanggung jawab Keimaman Suami
Jangan remehkan air mata seorang istri. Mereka sering menangis bukan karena lemah, tapi karena telah menahan terlalu banyak luka yang tidak bisa diceritakan. Ketika seorang istri depresi, itu bukan karena ia kurang beriman.
Justru ia mungkin terlalu beriman hingga terus bertahan di rumah yang membuatnya menderita, berharap keajaiban akan datang. Namun Tuhan juga mengajarkan bahwa kasih harus disertai keadilan.
Wahai para suami, sadarilah:
Kewarasan istri adalah cermin dari keimamanmu. Jika ia tenang, berarti engkau menuntunnya dengan kasih. Jika ia hancur, berarti engkau lalai menjaga amanahnya.
Istri yang depresi bukan musuh. Ia bukan pembangkang. Ia adalah jiwa yang sedang terluka, yang membutuhkan uluran tangan dari orang yang dulu ia pilih untuk hidup bersama selamanya.
Maka jangan tunggu hingga ia benar-benar kehilangan arah. Peluklah dia hari ini. Minta maaflah dengan tulus. Jadilah rumah yang kembali hangat sebelum kewarasannya benar-benar sirna.
Baca Juga: Wujudkan Sikap Terbaik Kala Menghadapi Musibah Yang Menimpa di Sekitar Kita
















