Qorin (Cerbung Misteri Bab 41): Musang Berbulu Domba “Munafik”

Qorin (Cerbung Misteri)
Qorin (Cerbung Misteri)

Samar samar, Hanan mengingat apa yang telah terjadi padanya. Sesaat dia lupa apa yang telah terjadi sampai berada di pinggiran hutan tersebut. Dia menyelidiki tentan ritual sesat yang mengatas namakan malam purnomo sidi. Namun, tidak menduga ternyata yang dia temui justru orang yang sudah dikenal dan dianggap orang biasa biasa saja.

Kejadian Beberapa Saat Sebelumnya

“Sungguh tidak kuduga sama sekali,” kata hanan pelan.

Dia ingat saat melangkah perlahan menyusuri jalan setapak menuju rumah Surya. Malam itu udara terasa berat, seakan ikut menyimpan rahasia besar yang siap meledak kapan saja. Di kejauhan, suara jangkrik terdengar nyaring bersahut-sahutan, mengiringi langkahnya yang penuh kehati-hatian. Rumah Surya tampak redup, hanya diterangi lampu minyak yang tergantung di teras.

Namun, hati Hanan berdesir tak enak — hawa di sekitar rumah itu berbeda. Dingin menusuk, lembab, dan seperti dipenuhi aura kelam yang tak kasat mata.

“Pandai sekali dia menyembunyikan diri dan berpura-pura bodoh,” gumam Hanan dalam hati, mengingat kembali kata-kata Kyai Rasyid.

Ia mengetuk pintu kayu itu perlahan.

Tok… tok… tok…

“Assalamu’alaikum… Surya, ini aku, Hanan. Aku ingin bicara sebentar.”

Tak ada jawaban.

Hanan menunggu beberapa detik, tapi rumah itu tetap hening. Hanya terdengar angin menggesek dedaunan. Ia mengetuk sekali lagi, kali ini sedikit lebih keras.

Tok! Tok! Tok!

“Surya… aku hanya ingin meluruskan beberapa hal. Aku tidak datang untuk mencari masalah.”

Tiba-tiba dari dalam terdengar suara gesekan benda berat, seperti lemari yang digeser. Lalu suara langkah pelan mendekat. Pintu berderit terbuka sedikit. Dari balik celah itu, muncul wajah Surya — tampak tenang, bahkan tersenyum.

Namun senyumnya tidak seperti biasanya. Ada sesuatu yang lain di balik senyum itu: dingin, menghujam, dan penuh perhitungan.

Baca Juga:

“Oh, Hanan… malam-malam begini masih sempat mampir?” ucapnya dengan nada ramah, tapi matanya tajam seperti pisau.

“Aku cuma ingin memastikan sesuatu. Aku dengar beberapa hal yang membuatku curiga. Aku ingin dengar langsung darimu.”

“Ah, gosip lagi, ya? Orang-orang memang suka berprasangka. Masuk saja, biar ngobrolnya enak.”

Hanan sempat ragu, tapi akhirnya melangkah masuk. Ruangan itu terasa pengap, dan aroma dupa samar memenuhi udara. Di atas meja tampak beberapa benda aneh — sesajen, botol kecil berisi cairan gelap, dan kain hitam dengan simbol-simbol tak dikenal.

“Masih suka ngumpulin barang-barang aneh ya, Surya?” sindir Hanan.

Surya terkekeh pelan. “Ah, hanya peninggalan orang tua dulu. Katanya buat tolak bala.”

Namun Hanan tahu betul, benda-benda itu bukan sekadar tolak bala. Ia pernah melihat simbol yang sama di tempat ritual kelompok sesat yang nyaris merenggut nyawanya beberapa malam lalu.

Mata Hanan menyipit. “Kau tak perlu berpura-pura lagi, Surya. Aku tahu semuanya. Aku tahu tentang bayi-bayi yang kau tukar, tentang aliran yang kau sembunyikan, bahkan tentang jasad Anisa yang kau jadikan medium ritual!”

Wajah Surya berubah. Senyum ramahnya lenyap. Yang tersisa hanya tatapan tajam penuh kebencian. “Kau terlalu banyak tahu, Hanan.”

“Aku tahu cukup untuk memastikan kau dipenjara.”

“Penjara?” Surya tertawa, suaranya nyaring dan menggema. “Kau pikir hukum manusia bisa menyentuhku? Aku dilindungi oleh kekuatan yang tak bisa kau pahami!”

Ia mendadak menepukkan tangannya ke meja. Api dari dupa menyala membesar, seolah menyambar udara di sekitarnya. Hanan mundur selangkah, waspada. Ia bisa merasakan hawa panas yang tiba-tiba menyeruak dari lantai.

“Aku tahu kau akan mencoba ini,” kata Hanan pelan, lalu menarik sesuatu dari sakunya — sebuah cincin kecil berukir kalimat basmalah.

Cincin itu pemberian Kyai Rasyid, pelindung dari ilmu hitam yang paling kuat.

Surya menatap benda itu dengan geram. “Kyai tua itu… masih ikut campur rupanya. Tapi percuma, Hanan! Kekuatan malam purnomo sidi masih tersisa di tubuhku!”

Ia mengangkat tangannya. Seketika, bayangan hitam muncul di dinding — sosok perempuan berambut panjang dengan mata kosong. Hanan tercekat. Sosok itu… mirip Anisa. Tapi wajahnya penuh luka dan darah.

“Anisa…” bisiknya.

“Dia adalah jembatan antara dunia kita dan dunia mereka!” teriak Surya. “Melalui dirinya, kekuatan itu abadi! Dan kau… akan jadi korban berikutnya!”

Hanan segera melafalkan ayat yang diajarkan Kyai Rasyid. Suara ayat suci menggema, membuat Surya meringis kesakitan. Bayangan hitam itu berteriak melengking lalu memudar perlahan. Namun, belum sempat Hanan selesai, Surya menjerit dan menaburkan serbuk hitam ke udara. Asap pekat menyelimuti ruangan.

Tubuh Hanan terasa berat. Matanya mulai kabur.

“Selamat tinggal, penyelidik sok suci…” suara Surya terdengar samar.

Lalu segalanya gelap.

Baca Juga:

Ketika Hanan membuka mata, ia sudah berada di tepi hutan. Kepalanya berdenyut hebat, dan tubuhnya terasa kaku. Di telinganya terdengar suara yang amat pelan, seolah berasal dari balik kabut.

“Pertarungan ini belum selesai… Hanan…”

Suara itu dingin dan misterius. Hanan mencoba menoleh, tapi tak melihat siapa pun. Hanya pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin malam.

Beberapa saat kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Seseorang membopong tubuh Hanan dan membawanya pergi. Dalam setengah sadar, Hanan masih bisa mengenali aroma dupa wangi yang khas — aroma Kyai Rasyid.

Saat Hanan sadar penuh, ia sudah berada di sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Dindingnya dari anyaman bambu, dengan lampu minyak menggantung di langit-langit. Suara jangkrik dan burung malam terdengar sayup-sayup. Ia mencoba bangkit, tapi kepalanya masih berputar.

“Dimana… Kyai Rasyid?” gumamnya.

Tak lama kemudian, pintu gubuk berderit terbuka. Kyai Rasyid masuk membawa semangkuk air putih dan beberapa lembar daun obat.

“Kamu sudah sadar, lebih cepat dari perkiraanku,” ucapnya tenang. “Artinya daya tahanmu luar biasa, Hanan.”

Hanan menatapnya bingung. “Apa maksud Kyai?”

Kyai Rasyid duduk di sampingnya. “Tak semua orang bisa selamat dari serangan ilmu hitam seperti yang dilancarkan Surya. Dia sudah melangkah terlalu jauh. Ilmunya bukan lagi sekadar sihir, tapi pengorbanan jiwa.”

Hanan menelan ludah. “Saya… melihat sosok Anisa, Kyai. Dia muncul lagi. Tapi entah kenapa… wajahnya seperti menahan kesedihan.”

Kyai Rasyid mengangguk pelan. “Itu bukan hanya mimpi. Roh Anisa masih terperangkap dalam lingkaran sihir Surya. Tapi tenanglah, dia tidak marah. Dia justru ingin menuntunmu ke kebenaran terakhir.”

“Kebenaran terakhir?”

Kyai Rasyid menatap lurus ke arah lampu minyak yang bergetar pelan. “Ya, tentang siapa sebenarnya yang menjadi dalang dari semua ini. Surya hanyalah salah satunya. Di antara sekian orang yang melakukan persengkongkolan masih ada sosok yang lebih berbahaya.”

Hanan menegang. “Siapa orang itu, Kyai?”

“Besok malam, kita akan tahu. Tapi ingat, pertarungan ini belum selesai.”

Di luar gubuk, angin malam berhembus kencang. Di kejauhan, cahaya bulan purnama menyorot pepohonan yang bergetar pelan. Dan di antara bayang-bayang itu, sesosok hitam berdiri diam, memperhatikan gubuk kecil tempat Hanan dan Kyai Rasyid berada — dengan mata merah menyala. Pertarungan belum selesai dan malam “Purnomo Sidi” baru saja meninggalkan jejaknya.

Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA