Qorin (Cerbung Misteri Bab 42): Api Dari Alam Ghaib

Qorin (Cerbung Misteri)
Qorin (Cerbung Misteri)

Udara malam tiba-tiba berubah sangat panas. Hanan yang duduk di sisi pintu gubuk merasakan hawa ganjil itu datang begitu cepat — seperti ada sesuatu yang sedang membakar udara dari dalam tanah. Angin berhenti berhembus, jangkrik tak lagi berbunyi, dan api lampu minyak bergetar tanpa arah.

Kyai Rasyid yang sedang menunduk membaca wirid tiba-tiba menghentikan bacaannya. Beliau mengangkat wajahnya perlahan, menatap ke arah luar gubuk.

“Dia datang…” bisik Kyai Rasyid pelan.

Belum sempat Hanan bertanya, cahaya merah keunguan muncul dari balik pepohonan. Dari dalam kabut, sosok tinggi berbalut jubah hitam melangkah perlahan mendekat. Langkahnya tak bersuara, tapi tanah di bawahnya tampak berasap setiap kali kakinya menyentuh bumi. Wajahnya samar-samar seperti manusia, tapi matanya… berkilau merah seperti bara api.

Ketika jaraknya hanya beberapa meter, sosok itu berhenti dan menundukkan kepala. Dengan suara berat namun tenang, ia berkata,

“Assalamu’alaikum, Kyai…”

Nada suaranya lembut, namun dingin dan bergema, seolah berasal dari dua arah sekaligus. Hanan spontan berdiri, tubuhnya tegang, tapi Kyai Rasyid menahan tangannya.

“Wa’alaikumussalam…” jawab Kyai Rasyid tenang. “Tapi salam yang keluar dari lidahmu bukanlah salam seorang mukmin, wahai makhluk yang terbuat dari api.”

Sosok itu terkekeh pelan. Tawanya menggema panjang dan menggetarkan dada Hanan.

“Wahahaha… ternyata engkau cukup waskito, Kyai. Bisa tahu siapa aku sebelum aku memperkenalkan diri.”

“Tak perlu diperkenalkan. Aku bisa mencium aroma asalmu dari jarak seribu langkah,” jawab Kyai Rasyid datar. “Katakan, apa tujuanmu datang malam ini?”

Sosok itu perlahan menegakkan tubuhnya. Wajahnya berubah perlahan — dari manusia menjadi wujud lain. Lehernya memanjang seperti ular, kulitnya bersisik hitam, dan dari kepalanya tumbuh dua tanduk yang berkilat merah. Matanya menyala lebih terang, dan lidah bercabangnya menjulur keluar setiap kali ia berbicara.

Baca Juga:

“Aku datang bukan untuk berperang, Kyai. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu,” ucapnya dengan suara bergemuruh. “Aku adalah penguasa dari golongan yang telah lama menunggu. Aku berkuasa atas banyak manusia yang kini menyembahku dengan sukarela. Mereka menyebutku dengan berbagai nama — penguasa malam, penuntun cahaya, roh penjaga harta, dan sebagainya. Tapi sejatinya, aku adalah pembisik yang paling setia pada hawa nafsu mereka.”

Hanan mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang. Nafasnya berat seolah udara di sekitarnya ditarik keluar. Tapi Kyai Rasyid tetap duduk dengan wajah tenang, menatap sosok itu tanpa gentar.

“Semua makhluk diciptakan untuk beribadah kepada Allah,” kata Kyai Rasyid. “Kenapa engkau memilih menyesatkan manusia?”

Sosok itu tersenyum, tapi senyumannya tampak mengerikan. “Aku abadi di dunia ini, sementara kalian manusia akan mati pada waktunya. Ketahuilah, Kyai, apa yang aku lakukan sudah diizinkan oleh Sang Pencipta. Aku hanya menjalankan tugas yang diberikan: menggoda anak cucu Adam dari depan, belakang, kiri, dan kanan mereka. Lihatlah, banyak yang telah datang padaku. Mereka datang bukan karena aku memaksa, tapi karena mereka menginginkan apa yang aku janjikan.”

Tawa panjangnya bergema lagi, hingga burung-burung malam beterbangan dari pepohonan. Hanan menunduk, membaca ayat kursi dalam hati, tapi lidahnya kelu karena takut.

Kyai Rasyid tetap menatap lurus ke arah sosok itu. “Kau boleh menggoda manusia dari depan, belakang, kiri, dan kanan mereka,” katanya tenang, “tapi masih ada dua arah yang tak bisa kau sentuh.”

Sosok itu berhenti tertawa, menatap dengan mata menyala. “Dua arah?”

“Ya,” lanjut Kyai Rasyid. “Atas dan bawah. Atas berarti mengingat Allah, dan bawah berarti rendah hati. Selama manusia masih mengingat Tuhannya dan merendahkan diri di hadapan-Nya, kau tak akan bisa menguasai mereka, wahai makhluk terkutuk.”

Sosok jin itu mendesis marah. “Kau berani menantangku dengan kata-kata, orang tua?”

“Bukan aku yang menantangmu,” balas Kyai Rasyid. “Tapi kebenaran yang tak akan pernah tunduk pada kebohongan.”

Seketika ruangan gubuk itu bergetar. Tanah berderak seperti retak dari dalam. Sosok jin itu mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dari telapak tangannya muncul cambuk panjang berapi, lidah apinya berputar-putar seperti naga.

“Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang lebih kuat! Rasakan api yang membakar jiwa manusia, wahai Kyai tua!”

Baca Juga:

Dalam sekejap cambuk itu menyambar, menyemburkan api yang membara ke arah Kyai Rasyid. Hanan menjerit dan menutup wajah dengan kedua tangan, tapi Kyai Rasyid hanya mengangkat tongkat kayu di tangannya. Tongkat itu tampak biasa — hanya sebatang kayu tua yang ujungnya retak — namun begitu Kyai Rasyid mengucap “Bismillahilladzi la yadurru…”, cahaya putih membungkus tubuhnya.

Api yang menyambar seketika padam sebelum menyentuhnya. Asap tebal mengepul, tapi tidak meninggalkan bekas sedikitpun.

Sosok jin itu mendengus marah. “Kau menggunakan perlindungan dari langit!”

“Itu bukan perlindunganku, tapi perlindungan dari Allah Yang Maha Melindungi,” jawab Kyai Rasyid mantap.

Jin itu meraung, tubuhnya membesar hingga memenuhi ruang gubuk. Tanduknya berkilau merah menyala, lidah apinya memercik ke mana-mana. Ia berusaha menakut-nakuti, tapi Kyai Rasyid tetap duduk, bibirnya terus melantunkan dzikir.

Tiba-tiba dari arah Hanan terdengar suara keras. Pintu gubuk terbuka dengan sendirinya, dan angin kencang menerpa ke dalam. Suara gemuruh menggema, dan di tengah cahaya putih yang tiba-tiba muncul, tubuh jin itu mendadak terlempar ke belakang, menjerit kesakitan.

Jeritannya panjang, melengking, dan disertai kilatan api yang perlahan padam.

“Arghhh… belum selesai, Kyai! Belum selesai!”

Suara itu makin lama makin jauh, lalu menghilang bersama hawa panas yang menyesakkan.

Beberapa saat kemudian, hanya keheningan yang tersisa.

Hanan masih terduduk, tubuhnya gemetar hebat. Ia menatap Kyai Rasyid yang menunduk, memejamkan mata sambil berzikir. Setelah beberapa menit, Kyai Rasyid membuka mata dan menatap Hanan dengan sorot teduh.

“Sudah berlalu, Hanan. Tapi ingat… ini baru awal. Jin itu tak datang sendirian. Ia memiliki banyak pengikut — manusia dan makhluk sejenisnya.”

Hanan menelan ludah. “Kyai… siapa sebenarnya makhluk itu?”

Kyai Rasyid menarik napas dalam. “Dia adalah khodam yang dulu diikat oleh leluhur dari masa lalu — makhluk yang dulu dipuja oleh mereka yang tamak akan kekuasaan dan harta. Kini dia bebas karena manusia zaman ini kembali memanggilnya lewat keserakahan.”

Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA

Sunyi.

Hanan menatap keluar, melihat bulan purnama yang mulai redup.

“Kalau begitu… malam purnomo sidi itu bukan akhir, ya, Kyai?”

“Bukan,” jawab Kyai Rasyid pelan. “Itu hanya pembuka. Pertarungan antara cahaya dan kegelapan baru saja dimulai.”

Di kejauhan, dari balik kabut yang mulai menipis, terdengar gema tawa halus — suara yang sama, tapi kini lebih jauh, lebih dingin, dan lebih berbahaya.

“Belum selesai, Kyai… belum selesai…”

Suara itu terus bergema, seakan merupakan sebuah ancaman atau tantangan bagi Kyai Rasyid dan Hanan. Namun, kedua orang itu tidak gentar. Mereka yakin, jika kebenaran datang kebatilan akan musnah.

Hanya saja Kyai Rasyid heran, siapa yang telah membangkitkan atau membebaskan sosok itu dari penjara masa lalu. Padahal sudah dibelenggu puluhan bahkan ratusan tahun oleh para murid kanjeng sunan Bonang ketika itu.