Sabilulhuda, Yogyakarta: Rahasia di Balik Kabut Lereng Wuru – Suara jangkrik bersahut-sahutan di tengah malam yang masih diselimuti kabut tipis. Dari celah dedaunan, terlihat tubuh Hanan terbaring lemah di tepi hutan. Nafasnya tersengal, darah mengering di pelipisnya, dan tangan kanannya masih menggenggam erat potongan kayu cendana yang kini retak di ujungnya.
Samar-samar, di antara dengung angin, terdengar bisikan suara.
Suara itu dalam dan menyeramkan, seolah datang dari dasar bumi.
“Pertarungan ini belum selesai, Hanan…”
Mata Hanan yang setengah terbuka menatap langit yang pudar ditelan kabut. Ia ingin bangkit, tapi tubuhnya seolah tak bisa digerakkan. Pandangannya mulai buram, lalu semuanya menjadi gelap.
Namun, sebelum kesadarannya benar-benar hilang, ia sempat melihat sosok berjubah putih berjalan pelan mendekatinya. Di balik siluet kabut, wajah itu tampak teduh — dan seolah memancarkan cahaya lembut.
“Kyai… Rasyid…” gumamnya lemah sebelum dunia menelan kesadarannya.
…
Ketika Hanan membuka mata kembali, yang pertama ia lihat adalah atap anyaman bambu. Udara di sekitarnya dingin lembab, dan bau obat tradisional bercampur dengan asap dupa memenuhi ruangan. Ia menyadari dirinya sedang berbaring di atas tikar pandan di dalam sebuah gubuk kecil.
Di luar jendela, terdengar suara air sungai mengalir dan burung hutan bernyanyi. Suasana begitu tenang, nyaris kontras dengan pertarungan yang baru saja ia alami.
Hanan berusaha bangkit perlahan, namun rasa nyeri di dada membuatnya meringis. Ia menatap sekeliling — hanya ada meja kecil dari kayu dan sebuah kendi air di pojok ruangan. Kyai Rasyid tidak tampak di mana pun.
“Dimana Kyai Rasyid…? Dan… apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
Ia mencoba mengingat kejadian terakhir. Suara Ki Langendra yang berubah menjadi parau dan mengerikan, tanah yang berguncang, cahaya putih dari kayu cendana… lalu bayangan hitam yang menelan dirinya.
Namun, yang paling jelas di benaknya hanyalah suara terakhir itu — suara yang mengancamnya, mengatakan bahwa pertarungan belum selesai.
Baca Juga:
Tiba-tiba terdengar suara pintu bambu berderit pelan. Kyai Rasyid masuk, membawa sebuah mangkuk berisi ramuan hangat berwarna coklat kehitaman. Wajahnya tampak lelah, tapi matanya tetap memancarkan keteduhan.
“Ah, kamu sudah sadar, Hanan,” katanya sambil tersenyum tipis. “Lebih cepat dari perkiraanku. Artinya kamu punya daya tahan yang sangat bagus.”
Hanan menatap Kyai Rasyid dengan bingung. Ucapan itu terasa seperti memiliki makna lain, sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami.
“Daya tahan, Kyai? Maksudnya?” tanyanya dengan suara serak.
Kyai Rasyid duduk di sebelahnya, meletakkan mangkuk itu di meja kecil.
“Kamu terkena serangan spiritual tingkat tinggi, Hanan. Biasanya orang biasa tidak akan selamat. Tapi kamu bukan orang biasa. Darah seorang santri dan keturunan ulama mengalir di tubuhmu. Itu yang melindungimu.”
Hanan hanya diam. Ia masih mencoba memproses semua yang terjadi.
“Saya… saya mengalami mimpi yang aneh, Kyai,” katanya pelan. “Saat saya tidak sadar… saya melihat sosok Anisa. Dia datang, bicara sesuatu yang sulit saya pahami.”
Kyai Rasyid memandangnya tenang, namun di matanya ada sorot mengetahui.
“Sosok Anisa datang kepadamu, dan meminta agar kamu memberitahukan sesuatu kepada orang tua kandungnya,” katanya datar.
Hanan spontan terbelalak. “Kyai… bagaimana Kyai tahu itu? Saya belum sempat bercerita!”
Kyai Rasyid tersenyum samar, kemudian berkata,
“Ketika aku datang menyelamatkanmu, aku melihat cahaya putih yang turun dari arah utara. Itu pertanda ada ruh yang berkomunikasi denganmu. Aku tahu hanya Anisa yang memiliki ikatan itu denganmu. Dia datang membawa pesan dari alam yang berbeda.”
Hanan terdiam. Ia tak tahu harus merasa takjub atau takut.
“Betul, Kyai. Tapi… pesan itu terasa ganjil. Dia bilang orang tua kandungnya bukan Burhan dan Maisaroh. Saya masih bingung, apa mungkin roh bisa keliru mengatakan hal seperti itu?”
Kyai Rasyid menghela napas panjang.
“Roh yang belum tenang seringkali membawa kebenaran yang tertahan di antara dua dunia. Ia tidak berbohong, hanya berbicara dengan cara yang sulit dimengerti manusia. Ada rahasia besar di balik kelahiran tiga anak yang terlibat dalam kasus ini, Hanan.”
Baca Juga:
“Rahasia besar?” Hanan menatap tajam. “Apa Kyai sudah tahu sesuatu?”
“Belum sepenuhnya,” jawab Kyai Rasyid. “Tapi aku sudah menemukan arah. Dan yang lebih penting sekarang… kita harus menyelesaikan urusan dengan kelompok sesat itu. Mereka bukan orang sembarangan, Hanan. Ada tokoh besar yang melindungi mereka, dan dia bukan orang asing bagi kita.”
Kyai Rasyid menatap tajam ke arah pintu gubuk, seolah seseorang bisa mendengarkan dari luar.
“Dalang di balik ritual itu… orang yang dulu dekat dengan Hanggara, bahkan ikut membiayai tindakannya. Orang itu masih bebas berkeliaran. Dan kemungkinan besar… ia ingin menggantikan posisi Hanggara di dunia kelam.”
Hanan menegakkan tubuhnya, rasa sakit di dadanya seolah tak lagi penting.
“Siapa orang itu, Kyai?” tanyanya cepat.
Kyai Rasyid tidak langsung menjawab. Ia mengambil kendi air, menuangkan ke mangkuk, lalu menyerahkan pada Hanan.
“Minum dulu. Kamu butuh tenagamu kembali. Kita akan membicarakan semuanya nanti.”
“Tapi Kyai…”
“Sudah,” potong Kyai Rasyid dengan nada lembut namun tegas. “Kamu belum cukup kuat untuk mendengar semuanya sekarang.”
Hanan menatap gurunya, mencoba mencari makna di balik wajah teduh itu. Ia tahu Kyai Rasyid tidak akan berkata sejauh itu jika bukan sesuatu yang sangat serius.
Setelah beberapa saat, Kyai Rasyid berdiri. “Aku harus keluar sebentar. Ada hal yang harus kupastikan.”
“Kyai mau ke mana?” tanya Hanan, agak cemas.
Kyai Rasyid hanya tersenyum. “Tenang saja, tidak jauh. Istirahatlah. Kalau aku terlambat kembali, jangan panik. Bacalah Yasin tiga kali sebelum subuh. Itu akan melindungimu dari gangguan mereka.”
Tanpa menunggu jawaban, Kyai Rasyid melangkah keluar, meninggalkan Hanan sendirian di dalam gubuk.
…
Beberapa jam berlalu. Angin malam bertiup lembut, tapi di luar gubuk suara aneh mulai terdengar. Seperti langkah kaki yang berat, disusul dengan desir lembut, seolah kain panjang diseret di tanah.
Hanan terbangun, tubuhnya masih lemah namun naluri kewaspadaannya tinggi. Ia menatap ke pintu.
Bayangan hitam melintas sekilas di sela cahaya bulan yang menembus anyaman bambu.
“Siapa di luar?” serunya pelan.
Tak ada jawaban. Hanya suara daun bambu bergesekan.
Ia menelan ludah, lalu menggenggam kayu cendana yang kini sudah retak di ujungnya. Ia tahu Kyai Rasyid pasti sudah menyiapkan pelindung di sekitar gubuk, tapi tetap saja hatinya was-was.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara lirih… suara perempuan.
“Hanan…”
Hanan membeku. Itu suara yang ia kenal — suara Anisa.
“Jangan takut… aku datang bukan untuk mengganggumu…” lanjut suara itu.
Hanan menatap pintu bambu yang kini perlahan bergetar.
“Anisa…?” bisiknya ragu.
“Ya… aku. Aku datang membawa pesan terakhir, Hanan. Kau harus segera memberitahu mereka… rahasia itu sudah hampir terkuak. Tapi berhati-hatilah, karena dalang yang sebenarnya masih hidup… dan kini dia tahu kamu masih bernyawa.”
“Siapa dia, Anisa?”
“Dia orang yang dulu menyuruh Hanggara mencariku… dia yang membuat pertukaran itu terjadi.”
Sebelum Hanan sempat bertanya lagi, suara itu perlahan menghilang bersama embusan angin dingin.
Hanan menatap ke luar, tapi hanya kabut yang terlihat menari di antara pepohonan. Jantungnya berdebar kencang. Ia sadar, ini bukan sekadar gangguan — ini peringatan.
Baca Juga:
Menjelang subuh, Kyai Rasyid akhirnya kembali. Jubahnya sedikit kotor oleh lumpur, wajahnya tampak serius.
“Kyai… ada yang datang tadi malam,” kata Hanan cepat. “Sosok Anisa. Dia bilang dalang pertukaran itu masih hidup.”
Kyai Rasyid mengangguk pelan, tidak tampak terkejut.
“Aku tahu. Aku baru saja memastikan hal itu. Dan firasatmu benar, Hanan. Dalang di balik semua tragedi ini bukan hanya Hanggara… tapi seseorang yang selama ini menyamar dibalik wajah alim.”
“Siapa, Kyai?”
Kyai Rasyid menatap Hanan lama, lalu berkata dengan suara rendah namun tegas:
“Orang itu adalah Surya.”
Hanan terpaku.
“Surya…? Tapi dia sudah mengaku tentang pertukaran bayi itu, Kyai!”
“Ya,” sahut Kyai Rasyid. “Tapi yang diakui hanya sebagian. Pertukaran itu bukan kecelakaan, melainkan rencana. Dan Surya bukan pelaku kecil — dia otak di balik semuanya.”
Hanan terdiam lama, otaknya berputar cepat.
“Jadi, maksud Kyai… semua tragedi ini — dari kematian Anisa, penderitaan Alisa, sampai fitnah terhadap Hanggara — semua berawal dari Surya?”
“Benar.”
Kyai Rasyid menatap jauh ke luar jendela. Cahaya fajar mulai muncul, menembus kabut tipis yang menggantung di lereng Gunung Wuru.
“Dan sekarang, Hanan…” katanya dengan nada berat, “kau harus bersiap. Karena sebelum matahari terbenam nanti, Surya akan memulai ritual baru. Ritual penukaran terakhir. Dan kali ini, yang dijadikan tumbal… bukan sembarang jiwa.”
Hanan menatap Kyai Rasyid dengan mata melebar.
“Siapa, Kyai? Siapa yang akan jadi tumbal kali ini?”
Kyai Rasyid menatapnya tajam.
“Arsyita.”
Hanan membeku, darahnya seperti berhenti mengalir. Nama itu menggema di kepalanya berulang-ulang.
Arsyita — gadis yang selama ini berada di tengah badai nasib, yang baru saja diketahui sebagai anak kandung Burhan dan Maisaroh.
Kini, dia menjadi target terakhir dari ritual sesat yang akan dilakukan oleh orang yang tak pernah mereka duga sebelumnya — Surya.
Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA





