Qorin (Cerbung Misteri Bab 39): Ritual Malam Purnomo Sidi

Qorin (Cerbung Misteri)
Qorin (Cerbung Misteri)

Sore itu langit berwarna jingga tembaga. Bayangan pepohonan jatuh panjang di halaman pesantren kecil milik Kyai Rasyid. Suara burung prenjak terdengar lirih di kejauhan, seperti ikut menyampaikan kabar buruk yang akan datang. Hanan datang dengan wajah serius, membawa kabar dari Alisa dan keluarga Bayu. Ia menundukkan kepala, memberi salam, dan langsung duduk di hadapan Kyai Rasyid yang sedang menata kitab kuning di meja kayu jati tua.

“Kyai, tadi malam saya mendapat bisikan dari roh Anisa. Ia bilang, ada sekelompok orang yang akan mengadakan ritual sesat pada malam purnama nanti. Mereka menggunakan tanah kuburan bekas makam Anisa,” lapor Hanan, nadanya tegas tapi wajahnya tampak cemas.

Kyai Rasyid menatapnya lama. “Malam purnama itu… yang kau maksud malam Purnomo Sidi, Hanan?”

Hanan mengangguk. “Betul, Kyai. Tapi saya belum mengerti sepenuhnya apa makna malam itu.”

Kyai Rasyid tersenyum samar, lalu menatap langit yang mulai keunguan. “Dengarlah baik-baik, Nak. Malam Purnomo Sidi dalam tradisi Jawa adalah malam di mana bulan mencapai puncak sinarnya — malam tanggal lima belas dalam penanggalan Jawa.

Malam itu dianggap suci, penuh energi spiritual, tempat di mana batas antara alam kasatmata dan alam halus menipis. Biasanya, masyarakat melakukan tirakat, syukuran, atau sekadar memanjatkan doa kepada Tuhan.”

Beliau berhenti sejenak, menghela napas panjang. “Namun… selalu ada yang menyelewengkan makna itu. Mereka yang rakus akan kekuatan, yang tidak puas dengan kodrat, memanfaatkan malam tersebut untuk tujuan gelap.”

“Menyalahgunakan malam yang seharusnya untuk ibadah?” tanya Hanan.

“Ya,” jawab Kyai Rasyid pelan namun dalam. “Bukan malamnya yang sesat, tapi perbuatan manusianya. Di beberapa tempat, malam Purnomo Sidi digunakan untuk ritual pemanggilan arwah, pengikat khodam, bahkan tumbal hidup. Dan yang lebih berbahaya, ada sekte yang percaya bahwa sinar purnama bisa ‘menghidupkan kembali’ jiwa yang terkurung antara dua alam.”

Baca Juga:

“Seperti yang mereka lakukan pada jasad Anisa…” bisik Hanan.

Kyai Rasyid mengangguk. “Mereka mungkin ingin memanfaatkan energi dari sisa jasad itu sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Ini sangat berbahaya, Hanan. Jika mereka berhasil, bisa terjadi gangguan besar—roh-roh tersesat akan berkeliaran, bahkan bisa menimpa siapa pun yang masih punya ikatan darah dengan Anisa.”

Hanan menggenggam tangannya erat. “Apa perintah Kyai?”

“Selidiki. Cari tahu siapa yang memimpin kelompok itu dan di mana mereka melakukan ritualnya. Tapi ingat, jangan bertindak gegabah. Kelompok ini bukan sekadar pengikut sesat biasa. Mereka punya kekuatan batin hitam. Mereka percaya tumbal akan menghidupkan kejayaan masa lalu mereka.”

“Siap, Kyai,” jawab Hanan mantap.

Awal Penyelidikan

Malam itu, Hanan berangkat seorang diri menuju desa Wonosri, wilayah yang dikenal masih kental dengan tradisi kejawen. Di perjalanan, ia melewati hutan kecil yang gelap. Sinar bulan separuh muncul di langit, memberi cahaya samar di antara kabut yang bergelayut rendah. Di ujung jalan setapak, tampak sebuah gubuk tua dengan lampu minyak menyala redup.

Dari dalam terdengar alunan tembang macapat Dhandhanggula, suara serak seorang tua mengalun sendu:

“…yen eling marang kang Maha Kuwasa, pepadhang ngancik ing ati…”

Hanan menunduk hormat ketika seorang lelaki tua keluar dari gubuk itu. “Eee… Hanan to? Putune Kyai Rasyid?” sapa lelaki itu dengan logat Jawa halus.

“Iya, Mbah Parto. Kyai Rasyid nyuruh saya kemari. Katanya, Mbah tahu soal ritual yang akan digelar besok malam.”

Mbah Parto menatapnya lama, matanya seperti menembus batin. “Kowe telat setitik, Nak. Wong-wong iku wes wiwit nyiapke kabeh saka wingi sore. Ubo rampe’e wis diklumpukne—kembang setaman, dupa, lan tanah saka kuburan sing wis direwangi arwah bocah ayu iku…”

“Tanah kuburan Anisa?” Hanan langsung menegakkan badan.

Mbah Parto mengangguk. “Iya. Wong-wong kuwi percaya yen tanah saka kuburan bocah suci bisa dadi pengikat roh panggilane. Padahal iku jebakan. Roh sing diundang ora bakal nurut, malah bakal ngamuk.”

“Di mana mereka akan melakukannya, Mbah?”

“Ing alas pinggir kali Gumitir. Tengah-tengah hutan bambu sing ora tau dilewati wong. Wektune pas Malam Purnomo Sidi—bulan purnama sepisan sawise wulan besar. Jam loro bengi, sinare rembulan lagi nyegor-nyegore bumi.”

Hanan mencatat cepat dalam buku kecilnya. “Baik, Mbah. Terima kasih atas informasinya.”

Mbah Parto menatapnya penuh kekhawatiran. “Ati-ati, Nak. Sing nyekel ritual kuwi dukun tua jenenge Ki Darmo Jagat. Dheweke murid sesat saka padepokan Karta. Sak durunge Kyai Rasyid nundung Karta, wong iki sing dadi tangan kanane. Yen saiki muncul maneh, tegese dheweke arep neruske ajaran gurune.”

Nama itu membuat darah Hanan berdesir dingin. “Berarti masih ada kesinambungan dari dukun Karta…”

“Benar,” gumam Mbah Parto. “Lan Ki Darmo luwih licik. Ora mung kuasai rapal, nanging uga nduwe pamit saka kelompok sing pengin nguasai harta keluarga Bayu.”

Hanan mengangguk. “Saya akan berhati-hati, Mbah. Doakan saya.”

Baca Juga:

Menuju Malam Purnama

Keesokan harinya, desa Wonosri terasa aneh. Udara panas, tapi angin terasa dingin. Ayam-ayam berkokok tidak pada waktunya, dan anjing-anjing menggonggong tanpa sebab. Penduduk banyak yang memilih menutup pintu sejak sore, seolah tahu ada sesuatu yang tidak wajar akan terjadi malam itu.

Hanan menyiapkan diri. Ia membawa tas kecil berisi air zam-zam, segenggam garam, dan selembar kain putih bertuliskan ayat-ayat suci yang diberikan Kyai Rasyid. “Ini bukan untuk menyerang,” pesan Kyai Rasyid tadi pagi. “Tapi untuk melindungi dirimu dan menutup jalur gaib yang mereka buka nanti.”

Menjelang tengah malam, bulan purnama mulai muncul di langit timur. Sinar putihnya menembus pepohonan bambu, menciptakan bayangan panjang di tanah lembab. Dari kejauhan, Hanan mendengar suara gamelan samar—ritmis tapi tidak harmonis, seperti nyanyian roh yang kehilangan nada.

Ia merayap mendekat dari balik semak. Di sebuah tanah lapang kecil di tengah hutan, tampak sekelompok orang berpakaian hitam duduk melingkar. Di tengah lingkaran, terdapat sesaji: kepala kambing, kendi berisi darah, dan segumpal tanah kecokelatan yang dibungkus kain putih — tanah bekas makam Anisa.

Hanan menahan napas.

Salah satu dari mereka, lelaki tua dengan jubah merah dan kalung tengkorak kecil di lehernya, berdiri sambil mengangkat tongkat. “Wahai cahya bulan Purnomo Sidi, bukalah gerbang antara dunia langit dan bumi! Izinkan kami menyatukan kekuatan arwah suci dengan darah hidup!”

Ia menaburkan dupa, dan bau menyengat menyeruak ke udara. Asap hitam berputar membentuk pusaran di atas tanah sesaji. Dari dalam pusaran itu terdengar suara samar—tangisan anak kecil, lemah tapi memilukan.

“Ibu… Ibu…”

Hanan langsung menggenggam kain putih di tangannya. “Ya Tuhan… mereka benar-benar mencoba memanggil roh Anisa!”

Namun sebelum ia sempat bertindak, salah satu anggota ritual menoleh. “Ada orang di sana!”

Seketika suasana ricuh. Ki Darmo menatap tajam ke arah Hanan. “Hahaha… rupanya murid Rasyid datang juga! Sudah kuduga, anak itu tak akan tinggal diam.”

Hanan melangkah keluar dari persembunyian, berdiri tegak meski keringat dingin menetes. “Hentikan ritual ini, Ki Darmo! Kau tak tahu apa yang kau panggil. Roh itu bukan untuk dijadikan alat kekuasaan!”

Ki Darmo tertawa keras. “Kau pikir aku tak tahu siapa gadis itu? Roh suci anak kecil yang mati tidak wajar punya daya luar biasa. Dengan mengikatnya, aku bisa menguasai seluruh ilmu peninggalan Karta! Dunia akan tunduk padaku!”

“Kesombonganmu akan menghancurkanmu sendiri,” balas Hanan.

Ki Darmo menepuk tongkatnya ke tanah. Api kecil menyala di sekitar lingkaran, membentuk pagar nyala merah. “Kau datang tepat waktu untuk jadi saksi kebangkitanku… atau mungkin, jadi tumbalnya!”

Udara tiba-tiba bergetar. Hanan merasakan hawa panas bercampur dingin, seperti dua dunia bersinggungan. Dari dalam pusaran asap, muncul bayangan kecil yang perlahan menyerupai sosok Anisa—tapi matanya hitam pekat, dan wajahnya tampak menderita.

“Tidak… itu bukan Anisa yang sebenarnya…” desis Hanan pelan.

Ki Darmo tertawa puas. “Lihatlah! Gerbang telah terbuka!”

Hanan menutup matanya sejenak, merapalkan doa pelindung yang diajarkan Kyai Rasyid. Cahaya putih mulai muncul di telapak tangannya, beradu dengan nyala merah ritual itu. Tapi pusaran energi semakin kuat, membuat dedaunan berguguran dan tanah bergetar.

Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA

Suara Ki Darmo menggema keras:

“Purnomo Sidi, satukan kami dengan kekuatan gaib!”

Dan tepat ketika bulan purnama mencapai puncaknya, sinarnya memantul di tanah sesaji, menembus gumpalan tanah bekas kubur Anisa.

Sebuah ledakan cahaya hitam menyala di langit, membuat semua orang menjerit. Hanan terhempas ke belakang, sementara Ki Darmo berdiri dengan tawa keras—namun tiba-tiba wajahnya berubah ngeri saat asap hitam itu melilit tubuhnya sendiri.

“T-tidak… ini bukan kekuatan yang kuminta…!”

Hanan berusaha bangkit, tapi pandangannya kabur. Dari dalam pusaran itu terdengar suara lembut namun tegas—suara Anisa yang asli.

“Jangan ganggu kedamaian kami…”

Lalu semuanya meledak dalam cahaya putih menyilaukan.

Hanan terbaring di tepi hutan, tubuhnya lemah menahan luka. Di tangannya masih menggenggam kain putih pemberian Kyai Rasyid yang kini hangus di ujungnya. Dari kejauhan, bayangan seseorang berjalan mendekat perlahan di bawah cahaya bulan purnama — bukan manusia, bukan pula roh… sesuatu di antara keduanya.

“Pertarungan ini belum berakhir, Hanan…” suara itu berbisik di telinganya.

Antara sadar dan tidak Hanan mendengar suara. Namun, dia tak mampu berbuat apa apa.