Sabilulhuda, Yogyakarta: Qorin (Cerbung Misteri Bab 38): Pesan dari Dunia Tak Terlihat – Sejak siang itu, suasana rumah Burhan berubah muram. Tirai jendela dibiarkan tertutup rapat. Udara di dalam ruangan terasa berat dan lembab. Di kamar tengah, Maisaroh terbaring lemah. Wajahnya pucat pasi, tatapan matanya kosong seperti kehilangan arah hidup. Sesekali tubuhnya menggigil tanpa sebab.
Sudah tiga hari sejak kebenaran itu terungkap—bahwa anak kandungnya bukanlah Anisa, melainkan Arsyita. Tapi di benaknya, bayangan kecil Anisa yang pernah ia peluk di usia dua tahun terus menghantui. “Anakku… kenapa semua bisa begini…” bisiknya setiap kali malam datang.
Burhan duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. “Sabar, Maisaroh. Ini ujian. Kita tak bisa melawan takdir,” katanya lirih.
Namun Maisaroh hanya menatap kosong. “Burhan… aku tidak tahu siapa diriku lagi. Selama ini aku hidup dengan kebohongan. Aku menyusui anak orang lain, aku membesarkan bukan darah dagingku… Sementara anakku sendiri… entah dimana, entah bagaimana dia meninggal…”
Air mata Burhan menetes. “Anisa tetap bagian dari kita, meski darahnya bukan darah kita. Dia tumbuh karena kasih sayangmu. Dia tetap anakmu, di dunia maupun di akhirat.”
Maisaroh menutup wajahnya, menahan tangis yang tak kunjung reda. Hanan yang duduk di pojok ruangan hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu luka batin itu bukan sesuatu yang bisa disembuhkan dengan kata-kata. Kadang kebenaran justru lebih menyakitkan daripada kebohongan.
…
Arsyita dan Luka yang Sama
Di kamar lain, Arsyita duduk di tepi jendela, menatap hujan yang turun pelan. Di tangannya tergenggam foto lama—foto dirinya saat masih kecil bersama Burhan dan Maisaroh. Wajahnya di foto itu tampak bahagia, senyum lebar dengan kedua orang tuanya di belakang. Kini, setiap kali melihat foto itu, dadanya terasa sesak.
“Aku dulu kasihan sama Mbak Alisa,” gumamnya pelan. “Kupikir hanya dia yang kehilangan tempatnya di dunia ini. Tapi ternyata… aku juga sama.”
Air matanya jatuh tanpa suara. Ia merasa seolah hidupnya diambil alih oleh takdir yang tak bisa ditolak. Selama ini ia percaya Burhan dan Maisaroh adalah orang tuanya yang sah. Ia menganggap Anisa kakaknya, dan Alisa teman sekaligus saudara. Kini semua itu berubah menjadi teka-teki yang menyakitkan.
Pintu kamar diketuk pelan. “Boleh aku masuk?” suara Alisa terdengar lembut.
Arsyita menoleh dan mengangguk. Alisa masuk sambil membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Arsyita, lalu berkata pelan, “Aku tahu rasanya, Syi. Saat tahu aku bukan anak kandung Bapak dan Ibu, aku merasa kosong. Tapi aku belajar satu hal…”
Baca Juga:

Qorin (Cerbung Misteri Bab 37) https://sabilulhuda.org/qorin-cerbung-misteri-bab-37/
Arsyita menatapnya, menunggu.
“Orang tua kandung memang penting,” lanjut Alisa. “Tapi kasih sayang yang mereka berikan selama ini… itu tidak bisa dibohongi. Kamu tetap tumbuh karena cinta mereka. Itu yang membuatmu jadi Arsyita yang sekarang.”
Kata-kata itu membuat dada Arsyita bergetar. Ia menunduk, menggenggam cangkir hangat di tangannya. “Aku takut, Lis. Aku takut melihat wajah mereka sekarang. Aku takut mereka menatapku dengan rasa bersalah.”
Alisa tersenyum lembut. “Mereka tidak akan begitu. Mereka mencintaimu, sama seperti dulu mereka mencintai Anisa. Hanya saja… mereka masih butuh waktu untuk menerima semuanya.”
Keheningan menyelimuti kamar itu beberapa saat. Hanya suara hujan yang menetes di luar jendela. Arsyita menatap keluar, seolah berbicara kepada seseorang yang tak terlihat. “Andai Anisa masih hidup, aku ingin minta maaf padanya. Karena aku menggantikan tempatnya tanpa tahu apa-apa.”
Alisa menggenggam tangan Arsyita. “Kau tidak menggantikannya, Syi. Mungkin justru dia yang ingin kau tahu kebenaran ini.”
Arsyita menatap Alisa penuh tanda tanya, tapi sebelum sempat bertanya, suara petir menggema di kejauhan—dan lampu tiba-tiba padam.
…
Cahaya dari Dunia Lain
Hanan yang sedang menulis catatan di ruang depan mendadak tersentak saat lampu mati. Ia menatap keluar jendela, langit masih diselimuti hujan tipis. Namun, di antara kegelapan itu, ada cahaya redup berpendar di halaman belakang rumah Burhan. Bukan cahaya lampu, melainkan seperti sinar biru lembut yang berdenyut pelan.
Naluri penyelidiknya segera aktif. Ia mengambil senter dan melangkah pelan ke halaman. Rumput basah menempel di kakinya, udara dingin menusuk kulit. Tapi langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu di bawah pohon mangga tua—sosok gadis kecil bergaun putih berdiri dengan wajah tenang. Rambutnya sedikit basah, dan sorot matanya lembut seperti malam yang damai.
“Anisa…” bisik Hanan.
Sosok itu menatapnya sambil tersenyum. Suara lembutnya bergema tanpa perlu mulutnya bergerak.
“Pak Hanan, jangan takut. Aku datang bukan untuk menakut-nakuti.”
“Kenapa kau muncul lagi, Nak? Bukankah kau sudah tenang?” tanya Hanan dengan hati-hati.
“Aku datang untuk terakhir kalinya. Bukan untuk diriku… tapi untuk mereka semua.”
Baca Juga:

Qorin (Cerbung Misteri Bab 36) https://sabilulhuda.org/qorin-cerbung-misteri-bab-36/
Cahaya di sekitar tubuhnya berpendar lebih terang.
“Ibu… sudah lemah. Tolong bantu dia untuk menerima. Katakan padanya, aku tidak marah. Aku tidak menyalahkan siapa pun. Semua ini sudah ditulis Tuhan sejak awal. Aku bahagia di sini… Aku sabar, dan aku ingin Ibu juga sabar.”
Air mata menggenang di mata Hanan. “Maisaroh masih belum kuat, Nak. Dia belum bisa menerima kenyataan itu.”
“Aku tahu. Tapi waktu akan menolongnya. Katakan, Anisa tidak hilang. Aku hanya berpindah tempat. Raga boleh tiada, tapi kasih antara anak dan ibu tak akan lenyap.”
Senyumnya begitu tenang, menembus dinginnya malam. Tapi sebelum cahaya itu memudar, Anisa menoleh lagi, kali ini dengan raut serius.
“Pak Hanan… ada hal lain yang harus Bapak tahu. Mereka akan datang lagi.”
“Siapa?” Hanan mendekat, menahan napas.
“Orang-orang yang masih percaya kekuatan hitam. Mereka mengincar keluarga Bayu. Aset peninggalan keluarga Bayu masih dikuasai orang serakah yang dulu bekerja sama dengan kelompok Hanggara. Mereka akan memakai cara apapun, bahkan ritual keji, untuk mengambilnya kembali.”
Hanan mengepalkan tangan. “Kapan mereka bergerak?”
“Segera. Malam Jumat ini, mereka akan melakukan pemanggilan arwah dan tumbal. Bapak harus cegah itu. Jangan biarkan mereka mencelakai siapa pun dari keluarga Bayu.”
Cahaya di sekeliling Anisa mulai redup, suaranya semakin samar.
“Aku titip pesan terakhirku, Pak Hanan. Maafkan semua yang terjadi. Maafkan kesalahan orang-orang yang terjebak dalam kebohongan. Dan tolong jaga mereka… Ibu, Bapak, Kak Alisa, Arsyita, dan keluarga Bayu…”
“Anisa! Tunggu—!” seru Hanan sambil melangkah maju, tapi sosok itu sudah memudar menjadi kabut tipis yang terbawa angin malam.
Hanya suara hujan yang tersisa, bersama desiran daun yang bergesekan lembut.
Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA
…
Fajar dan Tekad Baru
Keesokan harinya, Hanan duduk di serambi sambil menatap matahari yang baru terbit. Ia menulis sesuatu di buku catatannya:
“Malam Jumat. Mereka akan bergerak. Tujuan: keluarga Bayu. Motif: harta dan kekuasaan. Metode: ritual hitam. Tindakan: pencegahan secepatnya.”
Langkah Arsyita terdengar dari belakang. Wajahnya masih sembab, tapi ada keteguhan baru di matanya. “Pak Hanan… aku dengar semalam Bapak keluar rumah. Ada sesuatu, ya?”
Hanan menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. “Ada. Seseorang datang, menyampaikan pesan.”
“Dari siapa?”
Hanan memandang langit yang mulai terang. “Dari Anisa. Ia ingin kita semua berdamai dengan masa lalu. Dan dia minta kita berjaga.”
Arsyita menunduk. “Dia… masih memikirkan kami?”
“Ya,” jawab Hanan pelan. “Dia tidak pernah pergi, Nak. Hanya berpindah ke tempat yang lebih damai.”
Di dalam kamar, Maisaroh perlahan membuka mata. Cahaya pagi menyentuh wajahnya yang lelah. Untuk pertama kalinya, bibirnya bergerak, berbisik nyaris tak terdengar.
“Anisa… Ibu akan belajar ikhlas…”
Burhan yang duduk di sampingnya menggenggam tangan istrinya erat-erat, matanya berkaca. “Itu yang Anisa mau, Maisaroh. Ikhlas.”
Dan di luar rumah, Hanan menatap matahari yang meninggi. Di hatinya, ia tahu: setelah badai kebenaran, kini datang badai lain—ancaman nyata dari manusia-manusia yang masih dikuasai nafsu dan keserakahan.
Ia menatap ke arah jalan desa, seolah melihat bayangan masa depan yang tak kalah kelam.
“Baiklah, Anisa,” gumamnya. “Aku akan pastikan pesan terakhirmu tidak sia-sia.”
To be continued…




