Qorin (Cerbung Misteri Bab 37)

Qorin (Cerbung Misteri)
Qorin (Cerbung Misteri)

Pertukaran Tiga Bayi

Sabilulhuda, Yogyakarta – Malam itu Hanan duduk termenung di beranda rumahnya. Angin berhembus perlahan, membawa aroma tanah lembab sisa hujan sore. Tapi bukan udara dingin yang membuat tubuhnya menggigil, melainkan kalimat terakhir yang diucapkan oleh sosok Anisa dalam penampakan terakhirnya.

“Ayah dan ibuku bukan Burhan dan Maisaroh… mereka orang lain, Hanan.”

Kalimat itu terngiang berulang kali, menembus pikirannya seperti mantra yang tak mau berhenti. Hanan sudah terbiasa menghadapi hal-hal di luar nalar, tapi malam ini pikirannya kacau. Jika Anisa bukan anak kandung Burhan dan Maisaroh, lalu siapa? Siapa sebenarnya anak kandung sejati mereka?

Kyai Rasyid sudah memperingatkannya agar berhati-hati.

“Jangan langsung percaya dengan setiap penampakan, Nak. Kadang ruh yang tersesat bisa menebar kebingungan.”

Namun Hanan merasa kali ini berbeda. Nada suara Anisa bukan nada kebencian atau amarah, tapi seperti rintihan seorang anak yang ingin menunjukkan kebenaran.

Keesokan paginya, Hanan berangkat ke kota kecil tempat rumah sakit tempat kelahiran Alisa dan Anisa dulu berada. Rumah sakit itu kini sudah setengah terbengkalai, hanya tersisa satu ruangan administrasi yang masih berfungsi sebagai gudang arsip. Di sana, Hanan bertemu dengan seorang pria tua yang menjadi penjaga arsip lama bernama Pak Sanuri.

“Kalau data kelahiran dua puluh tahun lalu, sebagian besar sudah rusak, Nak. Tapi coba lihat di lemari besi paling ujung itu. Kadang ada catatan duplikat,” ujar Pak Sanuri sambil menyalakan lampu redup di ruangan berdebu itu.

Hanan membuka satu per satu map coklat yang sudah menguning. Di antara tumpukan nama-nama bayi yang lahir hari itu, ia menemukan tiga nama yang menarik perhatiannya:

Bayi A – lahir pukul 01.15, nama ibu: Dewi R

Bayi B – lahir pukul 01.40, nama ibu: Maisaroh.

Bayi C – lahir pukul 02.10, nama ibu: Siti Rahmah.

Ketiganya lahir di tanggal dan bulan yang sama. Tapi yang membuat Hanan curiga adalah catatan kecil di pojok formulir—“perawatan dipindah karena kerusakan inkubator.” Catatan itu ditulis dengan tulisan tangan yang khas. Ia mengenali gaya huruf itu—miring dan tebal.

Baca Juga:

Tulisan Surya.

“Surya…” gumam Hanan lirih. Dadanya bergetar antara marah dan takut. Ia tahu Surya bekerja di bagian administrasi rumah sakit saat itu, dan ia juga orang yang dulu pertama kali menyebut soal pertukaran dua bayi. Tapi kini Hanan mulai menduga: mungkin pertukarannya bukan dua… melainkan tiga.

Sore itu Hanan mendatangi rumah Surya. Lelaki paruh baya itu tampak pucat saat melihat Hanan datang membawa map arsip.

“Apa lagi yang kau mau, Hanan?” tanyanya gemetar.

“Aku hanya mau kau jujur,” jawab Hanan tegas. “Selama ini kau hanya mengakui ada dua bayi yang tertukar. Tapi ternyata ada tiga, bukan begitu?”

Surya menelan ludah. Ia menatap lantai, lalu menutup wajah dengan kedua tangan.

“Aku tidak punya pilihan waktu itu,” katanya lirih. “Semuanya kacau, Hanan. Malam itu ada tiga kelahiran hampir bersamaan. Keluargaku dalam ancaman besar Hanggara. Aku hanya staf jaga, bidan utama sedang menangani operasi darurat. Aku… aku hanya ingin menyelamatkan mereka.”

“Tapi kenapa sampai menyimpan rapat semua itu?” desak Hanan.

Surya menghela napas panjang, matanya mulai basah.

“Salah satu bayi lahir bukan dari pasien rumah sakit, Hanan. Hanggara membawa bayi dari luar, kemudian dengan ancaman dia memaksaku melakukan pertukaran itu!” seru Surya.

Hanan terpaku. Dunia seperti berputar pelan di sekelilingnya. “Lalu bagaimana kau memutuskan penyerahan bayi-bayi itu?”

“Aku tak ada pilihan, anak istriku dalam ancaman. aku tukar anak Bu Maisaroh dengan anak pasangan luar kota, anak Bu dewi dengan anak Bu Maisaroh, sedangkan anak pasangan luar kota itu aku tikar dengan anak Bu Dewi,” kata Surya.

“Jadi pasangan luar kota itu bawa anak siapa ?”

Surya terdiam lama.

“Burhan dan Maisaroh,” bisiknya akhirnya.

Darah Hanan seolah berhenti mengalir. Ia memandang wajah Surya tak percaya.

“Jadi… Arsyita…?”

Surya mengangguk pelan, air matanya menetes.

“Ya. Bayi yang dibawa perempuan asing itu… sebenarnya anak kandung Burhan dan Maisaroh. Tapi karena kebingungan malam itu, aku menukar semuanya. Aku berdosa, Hanan… berdosa besar dan semua itu karena tekanan dan ancaman Hanggra.”

Surya menjelaskan jika Hanggara melakukan semua itu karena iri dan dengki kepada keluarga Dewi. terutama kepada suami Dewi yang sukses dan mendapatkan istri secantik Dewi. kecantikan yang justru menjadi musibah bagi keluarganya.

“Apakah Hanggara ada waktu itu?” tanya Hanan.

“Tidak, tapi salah seorang anak buahnya mengawasiku bahkan dia ikut mengancamku saat itu,” jawab Surya.

Hanan berdiri lemas. Kakinya hampir tak sanggup menahan tubuh. Semua yang terjadi—pembunuhan, fitnah, kesedihan dua keluarga—berakar dari satu malam kelam di rumah sakit ini.

Namun, satu hal masih belum masuk akal baginya.

“Siapa perempuan yang membawa bayi itu, Surya?”

Surya menatap jauh ke luar jendela, ke arah pepohonan yang tertiup angin. “Aku tak tahu pasti namanya. Tapi di gelang bayi tertulis inisial S.R. … aku baru sadar sekarang, mungkin itu singkatan dari Sulastri Ramlan.”

Nama itu membuat Hanan tersentak. Sulastri adalah nenek dari Dewi—nenek dari Alisa.

Berarti bayi yang dibawa malam itu masih memiliki hubungan darah dengan keluarga Dewi.

Hanan memegang kepalanya yang mendadak pusing.

“Jadi selama ini… semua ini berputar dalam satu lingkaran darah yang sama,” gumamnya.

Arsyita masih anak kerabat dari Sulastri Nenek Bayu dan Alisa. namun, siapa dan kenapa justru Nenek Lastri ikut membawa bayi itu ke rumah sakit. sementara saat itu Dewi anak kandungnya juga sedang melahirkan cucu kandungnya. pertanyaan besar lagi bagi Hanan.

Malam menjelang ketika Hanan berjalan pulang melewati jalan setapak menuju rumah Kyai Rasyid. Ia merasa harus segera menceritakan semuanya kepada sang guru. Di tengah perjalanan, angin tiba-tiba berhenti. Hening. Bahkan jangkrik pun tak bersuara. Dari balik kabut tipis yang menggantung, muncul sosok samar berwujud cahaya lembut—Anisa.

Wajahnya tak lagi murung seperti sebelumnya, kini tampak tenang.

“Terima kasih, Hanan,” ucapnya pelan. “Kini aku tau siapa diriku sebenarnya.”

Hanan menatap dengan mata berkaca-kaca. “Jadi benar… kau bukan anak kandung Burhan dan Maisaroh?”

Anisa tersenyum tipis. “Tidak, tapi aku mencintai mereka seperti orang tuaku sendiri. Aku datang bukan untuk menuntut, tapi untuk memulihkan yang salah. Katakan kepada mereka, anak kandung sejatinya masih hidup. Namanya… Arsyita.”

Cahaya itu perlahan memudar, menyisakan aroma melati yang samar.

Keesokan harinya Hanan datang ke rumah Kyai Rasyid membawa kabar besar itu.

Kyai tua itu mendengarkan tanpa menyela, lalu menghela napas panjang.

“Takdir memang punya jalannya sendiri, Hanan. Kesalahan manusia bisa membuat simpul kehidupan saling terikat tak tentu arah. Tapi jika Allah berkehendak, kebenaran pasti menemukan jalannya.”

Hanan hanya mengangguk. “Tapi bagaimana aku bisa mengatakan kebenaran ini kepada Burhan, Maisaroh, dan terutama Arsyita? Bukankah ini akan mengguncang mereka semua?”

Kyai Rasyid menatap Hanan dalam-dalam. “Kau harus sabar. Kebenaran tidak selalu harus diungkap sekaligus. Tunggulah waktu yang tepat. Doakan agar hati mereka dipersiapkan.”

Namun dalam hati kecilnya, Hanan tahu rahasia ini tak bisa lama disimpan. Karena di sisi lain, bayangan Surya masih menghantuinya. Lelaki itu ketakutan luar biasa—tak hanya karena dosa masa lalunya, tapi karena seseorang tahu rahasianya.

Sebelum Hanan pergi, Surya sempat berbisik lirih:

“Malam itu… ada satu orang lagi yang tahu semua. Seseorang yang kini mencari aku. Kalau aku menghilang, berarti dia sudah datang…”

Kalimat itu membuat Hanan resah sepanjang malam.

Malam berikutnya, suasana desa mendadak mencekam. Dari arah utara terdengar suara sirine ambulans melintas cepat. Hanan yang tengah membaca doa di serambi masjid segera berlari keluar. Ia mendengar kabar dari warga: Surya ditemukan tewas di pinggir sungai, dengan luka aneh di lehernya seperti bekas jeratan tali.

Hanan terdiam di tempat. Ia tahu, ini bukan kebetulan.

Seseorang ingin menutup mulut Surya… seseorang yang masih menyimpan rahasia lebih besar dari sekadar pertukaran bayi.

Di malam yang sama, jauh di rumah keluarga Burhan, Arsyita terbangun dari tidurnya. Ia merasa mimpinya aneh—melihat seorang perempuan yang mirip dirinya sendiri, menatapnya lembut sambil berkata:

“Kamu tidak salah, Nak… Kamu hanya tertukar oleh waktu.”

Air mata mengalir di pipinya. Ia tak tahu kenapa kalimat itu membuat dadanya sesak.

Di kejauhan, Hanan menatap langit malam. Ia tahu, perjalanan mencari kebenaran belum selesai. Masih ada satu simpul terakhir yang harus diurai—siapa orang yang membunuh Surya dan apa hubungannya dengan masa lalu keluarga Ramlan dan Sulastri.

Namun untuk malam itu, ia hanya bisa menatap ke arah rumah keluarga Burhan, berdoa dalam hati:

“Ya Allah, kuatkan mereka menghadapi kebenaran yang sebentar lagi akan terbuka…”

Dan dari kejauhan, terdengar sayup-sayup suara adzan subuh, memecah keheningan malam yang menyimpan seribu rahasia.

Kebenaran baru telah terungkap — Arsyita adalah anak kandung Burhan dan Maisaroh, tapi kematian misterius Surya membuka pintu ke rahasia yang lebih gelap.

Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA

Siapa yang ingin menutupi semuanya. Bagaimana reaksi keluarga BUrhan dan Maisaroh ketika kebenaran itu akhirnya disampaikan. Hanan hanya pasrah dengan keadaan, dia hanya bisa mengatakan apa hasil temuan yang didapat. Pahit ataupun manis itulah fakta yang harus disampaikan.

 …