Dugaan Hanan
Burhan menatap makam kosong itu dengan mata nanar. “Apa mereka mencuri jasad anakku, Hanan? Untuk apa?!”
Hanan menatap lelaki tua itu dalam-dalam. “Saya belum bisa memastikan, Pak. Tapi… saya curiga ini berhubungan dengan orang-orang yang dulu berurusan dengan Hanggara. Jasad Anisa pasti sudah menjadi tanah.”
“Orang-orang itu? Maksudmu… dukun itu?” tanya Bayu cepat.
Hanan mengangguk. “Kemungkinan besar. Meski Karta sudah meninggal, tapi pengikutnya masih ada. Di wilayah ini, masih banyak orang menganut kepercayaan lama. Mereka mencari jasad yang memiliki ‘hari lahir dan mati’ tertentu untuk dijadikan media ritual.”
Arsyita menutup mulutnya dengan tangan, ngeri. “Kau maksud… jasad Anisa digunakan untuk…?”
Hanan menatap kosong ke liang makam yang kini hanya berisi kabut tipis. “Entah. Tapi biasanya, mereka mencari jasad anak kecil atau perempuan muda yang meninggal tragis. Jiwa mereka dipercaya punya energi kuat untuk peralihan kekuatan.”
Maisaroh kembali menangis, memeluk Burhan erat-erat.
“Kenapa tidak dibiarkan tenang? Dia sudah meninggal, masih juga diganggu…”
Burhan mengepalkan tangan. “Aku tidak akan diam, Hanan. Tolong bantu kami. Temukan siapa yang melakukan ini!”
Hanan menunduk hormat. “Saya akan berusaha, Pak. Tapi mohon bersiap… mungkin yang kita hadapi bukan manusia biasa.”
Baca Juga:

Qorin (Cerbung Misteri Bab 35) https://sabilulhuda.org/qorin-cerbung-misteri-bab-35/
Malam yang Gelap Kembali
Menjelang malam, Hanan duduk di serambi rumahnya. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya. Ia menatap langit gelap tanpa bintang, memutar kembali kejadian di pemakaman.
Dalam benaknya, bayangan wajah Dewi—ibu kandung Alisa—muncul samar. Ia ingat saat terakhir sosok itu muncul, mengisyaratkan akan pergi dengan tenang setelah Hanggara dijatuhi hukuman. Tapi jika makam Anisa benar-benar diganggu, berarti arwah mereka belum tenang sepenuhnya.
“Ada sesuatu yang belum selesai…” gumam Hanan pelan.
Tiba-tiba, dari arah jalan setapak terdengar suara langkah pelan—teratur tapi tidak wajar. Hanan menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Hanya kabut yang semakin menebal.
Suara itu berhenti di depan pagar rumah. Lalu terdengar suara seperti seseorang memanggil namanya dengan bisikan serak:
“Hanan…”
Tubuh Hanan menegang. Suara itu bukan suara manusia biasa. Terlalu halus, terlalu dingin. Ia berdiri, memegang tasbihnya erat-erat.
“Siapa di sana?” serunya pelan namun tegas.
Tidak ada jawaban. Hanya bisikan angin yang membawa aroma tanah basah dan bunga kamboja.
Hanan menatap lurus ke arah kabut itu, dan sesaat sebelum hilang, ia melihat bayangan perempuan muda berpakaian putih berdiri di antara pohon beringin—wajahnya mirip sekali dengan Anisa.
…
“Ya Allah… Anisa?” suara Hanan nyaris tak terdengar. Tapi sosok itu hanya menatapnya diam—lalu menghilang ditelan kabut, meninggalkan keheningan yang mematikan.
Bab: Tiga Bayi yang Tertukar
Malam itu udara lembab menelusup sampai ke sela-sela kain sarung yang dipakai Hanan. Langit tampak redup, seolah ikut menyimpan rahasia besar yang akan terbuka sebentar lagi. Di depan rumah kayu peninggalan almarhum Kyai Rasyid, Hanan duduk bersila, menunduk dalam renungan panjang.
Kalimat yang diucapkan sosok arwah Anisa tadi sore masih berputar di kepalanya, berulang-ulang seperti gema azan yang tak kunjung reda.
“Aku ingin bertemu dengan orang tua kandungku yang sebenarnya… Bukan mereka, bukan Pak Burhan dan Bu Maisaroh. Aku bukan anak mereka…”
Suara lirih itu bergema di telinga Hanan, membuat bulu kuduknya berdiri. Tak ada yang lebih menggetarkan hati seorang penyelidik spiritual sepertinya selain mendengar pengakuan arwah yang mengguncang kebenaran yang diyakininya selama ini.
Hanan mengusap wajah, berusaha menenangkan diri. Namun logikanya berontak.
“Kalau Anisa bukan anak kandung Burhan dan Maisaroh… lalu siapa? Siapa orang tuanya yang sebenarnya? Dan ke mana anak Burhan dan Maisaroh yang asli?” gumamnya dalam hati.
Malam itu Hanan memutuskan menemui Surya — pria yang dulu bekerja di bagian administrasi rumah sakit tempat Alisa dan Anisa dilahirkan. Surya sudah lama berhenti dari pekerjaannya dan hidup tertutup di pinggiran kota, setelah beberapa kasus kelalaian rumah sakit terungkap. Hanan mencurigai Surya tahu sesuatu.

Qorin (Cerbung Misteri Bab 34) https://sabilulhuda.org/qorin-cerbung-misteri-bab-34/
Pertemuan dengan Surya
Rumah Surya berdiri di antara ladang singkong yang sunyi. Lampunya redup, hanya pijar kuning temaram dari bohlam lima watt yang menggantung di serambi. Ketika Hanan mengetuk pintu tiga kali, suara batuk tua terdengar dari dalam, lalu pintu dibuka pelan.
“Pak Surya?” tanya Hanan pelan.
Surya menatapnya tajam. Matanya cekung, napasnya berat seperti orang yang menanggung beban lama. “Kau… Hanan, ya? Anak Kyai Rasyid?”
“Iya, Pak. Saya ingin bicara tentang bayi yang tertukar di rumah sakit dua puluh tahun lalu,” jawab Hanan tenang, meski jantungnya berdebar cepat.
Surya menelan ludah, wajahnya memucat. Ia melirik ke kiri-kanan, seolah takut ada yang mendengarkan. “Sudah… sudah kubilang pada banyak orang, aku tak tahu menahu soal itu!”
“Tapi saya tahu, Pak,” potong Hanan lembut tapi tegas. “Saya tahu ada tiga bayi malam itu. Dan dua di antaranya dari rumah sakit tempat Bapak bekerja.”
Surya terdiam. Tangannya gemetar, dan suaranya nyaris seperti bisikan. “Tiga bayi… kau tahu dari mana?”
“Dari seseorang yang tak lagi hidup di dunia ini,” jawab Hanan pelan. “Anisa sendiri yang mengatakan.”
Surya mendadak pucat pasi. Ia memegang dadanya, gemetar hebat. “A-apa kau bilang… arwah Anisa…?”
“Benar, Pak. Ia bilang orang tua kandungnya bukan Pak Burhan dan Bu Maisaroh. Jadi siapa sebenarnya yang menukar mereka?”
Surya menatap lantai. Suara jangkrik di luar seperti berhenti. Lalu perlahan, pria tua itu membuka mulutnya.
“Malam itu… benar ada tiga bayi. Dua lahir di rumah sakit kami, satu lagi lahir di rumah bidan dekat sana. Semuanya perempuan… dan lahir hampir bersamaan.”
Hanan mencondongkan tubuh. “Tiga bayi… lalu kenapa ditukar?”
Surya menarik napas berat, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Itu semua karena permintaan orang-orang berkuasa waktu itu… dan karena uang, Hanan. Aku… aku hanya pegawai kecil.”
…
Pengakuan Kelam
Surya kemudian menceritakan dengan terbata-bata. Malam itu, dua bayi lahir di ruang bersalin — satu dari keluarga Burhan, dan satu lagi dari seorang perempuan muda yang bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan besar. Perempuan itu tak menikah, dan keluarganya ingin menutup aib.
Sementara bayi ketiga lahir di rumah bidan kampung, milik keluarga miskin. Karena kondisi medis, bidan menitipkan bayi itu ke rumah sakit untuk perawatan tambahan.
Namun, seseorang datang membawa surat perintah palsu, mengatur pertukaran bayi.
“Aku tak tahu siapa yang mengatur… tapi aku yakin Hanggara terlibat. Dia datang malam itu, membawa amplop besar. Katanya hanya menukar label identitas. Aku tak tahu niatnya sebesar itu…”
Hanan mengepalkan tangan. “Jadi bukan hanya dua bayi yang tertukar, tapi tiga?!”
Surya mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Anisa adalah bayi dari perempuan muda yang bekerja di perusahaan Hanggara. Sementara bayi Burhan dan Maisaroh… bukan Alisa, bukan pula Anisa. Bayi mereka adalah yang lahir di rumah bidan itu. Tapi aku… aku tak tahu di mana anak itu sekarang.”
Hanan membeku. Suara Surya seperti bergema jauh di kepalanya.
“Bayi ketiga… hilang.”
“Kemana… bayi itu, Pak?”
Surya menggeleng. “Setelah pertukaran itu, aku disuruh diam. Beberapa tahun kemudian, rumah bidan itu terbakar. Semua catatan lenyap.”
Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA
Pertanda dari Dunia Lain
Setelah mendengar pengakuan itu, Hanan pamit. Langkahnya gontai, pikirannya berputar hebat. Malam semakin larut, kabut turun menutupi jalan desa. Namun di tengah perjalanan pulang, angin tiba-tiba berhenti berhembus. Udara jadi dingin menggigit.
Hanan tahu — itu pertanda kehadiran sesuatu.
Benar saja, di tikungan jalan dekat kebun bambu, sesosok perempuan bergaun putih muncul perlahan. Rambutnya terurai, wajahnya sayu namun bersinar. Hanan menahan napas. Itu Anisa.
“Hanan…” suaranya lembut, tapi mengguncang hati. “Terima kasih sudah mencari kebenaran. Tapi belum semuanya selesai…”
Hanan menatapnya penuh tanya. “Apa maksudmu belum selesai, Anisa? Bukankah aku sudah tahu kalau kau bukan anak mereka?”
Anisa tersenyum samar, matanya berkilau sedih. “Masih ada satu lagi… anak yang tertukar. Anak sejati Burhan dan Maisaroh masih hidup. Dan seseorang menyembunyikannya.”
“Siapa orang itu, Anisa?”
Namun sosoknya mulai memudar, suaranya semakin lemah.
“Dia… ada di dekatmu, Hanan… lebih dekat dari yang kau kira…”
Hanan melangkah maju, mencoba memanggilnya, tapi angin kencang tiba-tiba berhembus, membuat daun-daun beterbangan. Saat kabut menipis, sosok Anisa telah menghilang.
Hanan berdiri diam, wajahnya pucat.
“Dekatku?” gumamnya pelan. “Apa maksudnya… dekatku?”
Ia tak tahu — apakah maksud Anisa adalah seseorang yang selama ini membantunya, atau bahkan seseorang di lingkaran keluarganya sendiri.
Satu hal pasti: rahasia ini belum selesai. Dan kali ini, yang disembunyikan bukan sekadar kesalahan masa lalu… melainkan dosa yang masih hidup di antara mereka.
…








