Makam yang Kosong
Pagi itu suasana di kampung masih berkabut tipis. Ayam-ayam baru saja berkokok, dan matahari belum menampakkan sinarnya dengan utuh. Namun, ketenangan pagi mendadak pecah oleh suara tergesa-gesa dari arah jalan desa.
Hanan yang baru saja selesai shalat Subuh di langgar kecil pesantren tiba-tiba didatangi seorang warga. Nafasnya memburu, wajahnya pucat seperti baru melihat sesuatu yang tidak masuk akal.
“Hanan… makam Anisa… makam itu… dibongkar orang!” katanya terbata-bata.
“Dibongkar?” Hanan menatap tajam, keningnya berkerut. “Kapan kejadiannya?”
“Entahlah. Ronda semalam dua kali lewat sekitar makam. Jam sebelas dan jam setengah dua, tidak ada yang aneh. Tapi subuh tadi, pas salah satu warga mau ziarah, makamnya sudah… kosong.”
Mendengar kabar itu, dada Hanan berdegup kencang. Ia tahu betul, di wilayah itu memang masih ada kelompok kecil penganut aliran tertentu yang kadang menggunakan kuburan lama untuk tujuan tak lazim.
Tapi menggali makam sedalam itu hanya dalam waktu beberapa jam, tanpa suara, tanpa ketahuan siapa pun—itu bukan pekerjaan sembarangan.
“Kita harus laporkan ke Pak Burhan secepatnya,” kata Hanan sigap.

Kabar yang Menggetarkan
Di rumah Burhan, suasana pagi berubah drastis. Maisaroh yang baru saja menyiapkan sarapan langsung menjatuhkan piring ketika mendengar kabar itu. Suaranya gemetar, wajahnya memucat.
“Cepat kita tengok makam Anisa, anak kita Pak,” seru Maisaroh, kali ini dengan nada sangat berbeda.
Burhan menoleh cepat ke arah istrinya. Kalimat “anak kita” membuat hatinya sesak. Untuk pertama kalinya sejak kebenaran terungkap, Maisaroh menyebut Anisa dengan penuh pengakuan. Ia memeluk istrinya pelan, menenangkan, meski dalam dadanya juga berkecamuk rasa tak percaya.
Hanan yang turut hadir menimpali, “Betul Pak, nasab Anisa bersambung ke Bapak. Dan sekarang saatnya kita tengok makamnya.”
Alisa yang sedang duduk di kursi ruang tengah segera berdiri. “Alisa ikut Pak, Bu… bersama Mas Bayu dan Arsyita juga!” serunya mantap.
Burhan menghela napas panjang. “Baiklah, kita berangkat sekarang.”
…
Perjalanan ke Makam
Mereka berangkat dalam satu rombongan. Mobil Burhan melaju perlahan melewati jalan tanah yang membentang ke arah kompleks pemakaman desa. Hanan duduk di kursi depan, matanya terus menyapu kanan-kiri jalan, seakan mengantisipasi sesuatu.
Alisa duduk di tengah bersama Maisaroh, menggenggam tangan ibu angkatnya erat. Bayu dan Arsyita duduk di kursi belakang, saling berpandangan dengan rasa was-was.
Setibanya di area pemakaman, mereka disambut kerumunan warga yang sudah lebih dulu datang. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, sebagian lain tampak menunjuk ke arah makam Anisa yang kini… kosong.
Tanahnya berantakan. Batu nisan miring ke samping. Galian cukup dalam, seolah dilakukan oleh orang yang sangat terlatih—atau memiliki kekuatan luar biasa.
Maisaroh langsung menjerit histeris. “ANISA!!! Siapa yang tega melakukan ini!!!”
Burhan berusaha menenangkan istrinya, meski wajahnya sendiri kaku seperti batu. Matanya memandang lubang makam itu dengan tatapan kosong—antara marah, sedih, dan bingung.
Baca Juga:

Qorin (Cerbung Misteri Bab 34) https://sabilulhuda.org/qorin-cerbung-misteri-bab-34/
Misteri yang Mencekam
Hanan melangkah mendekati galian makam. Ia jongkok, mengamati dengan teliti bekas tanah dan jejak di sekitar. Tidak ada tanda-tanda alat berat, tidak ada bekas roda, bahkan jejak kaki pun sangat minim. Seolah-olah penggalian itu dilakukan dengan sangat bersih dan cepat.
“Mustahil,” gumam Hanan dalam hati. “Dalam waktu singkat, tanpa suara… ini bukan pekerjaan orang biasa.”
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba merasakan getaran spiritual di sekitar makam. Sejak kecil ia dilatih oleh Kyai Rasyid untuk peka terhadap energi metafisik. Dan benar saja—ada hawa aneh. Dingin menusuk, seperti sisa jejak kekuatan gaib.
“Jangan-jangan ada yang menggali untuk kepentingan ilmu sesat,” kata Hanan dalam hati.
Ia tahu di wilayah tersebut masih ada kelompok yang mencari jenazah dengan kelahiran atau kematian tertentu—biasanya Selasa atau Jumat Kliwon—untuk ritual hitam. Mayat atau bagian tubuh tertentu kadang dijadikan “syarat” dalam ilmu kejawen sesat.
Namun, Hanan belum berani memastikan. Ia perlu tahu terlebih dahulu tanggal lahir dan wafat Anisa. Kalau cocok dengan pola incaran kelompok itu, maka ini bisa mengarah ke kemungkinan pertama. Tapi jika tidak, maka kemungkinan lain: ada pihak yang sengaja menggali untuk menghapus jejak, mungkin terkait kasus besar Hanggara.
…
Kecurigaan Baru
Salah seorang warga maju, suaranya gugup. “Tadi malam sebenarnya… ada suara aneh, Mas Hanan. Seperti suara angin keras berputar. Kami kira cuma angin gunung. Gak lama setelah itu, ayam-ayam pada berkokok bersahutan, padahal belum Subuh…”
Hanan menatapnya tajam. “Kapan tepatnya?”
“Sekitar jam dua lewat sedikit.”
Jam dua dini hari—jarak antara waktu ronda terakhir dan Subuh. Waktu paling sunyi di desa. Kalau ada kekuatan supranatural, biasanya saat itu yang paling aktif.
“Ini bukan kebetulan,” batin Hanan. “Jam dua… itu waktu ideal bagi para pelaku ilmu hitam untuk bergerak. Atau… waktu ketika mereka ingin mengambil sesuatu tanpa gangguan manusia.”
Hanan berdiri dan menoleh ke Burhan. “Pak, saya minta izin menyelidiki ini lebih dalam. Ini bukan sekadar pencurian makam. Saya curiga ada kaitan dengan kasus lama… atau kelompok tertentu.”
Burhan mengangguk mantap, meski wajahnya masih diliputi duka. “Lakukan, Nak Hanan. Kami serahkan padamu. Tapi hati-hati… kalau ini ulah orang-orang aliran sesat, mereka berbahaya.”
…
Titik Awal Penyelidikan Masalah Baru
Saat matahari mulai naik, warga perlahan meninggalkan area makam. Hanya keluarga Burhan, Bayu, Alisa, Arsyita, dan Hanan yang masih berdiri di sana. Suasana sunyi, hanya terdengar suara dedaunan tertiup angin pelan.
Maisaroh duduk di tanah, menatap galian makam kosong itu dengan mata basah. “Anisa… bahkan setelah meninggal pun, kamu belum tenang, Nak…”
Alisa berjongkok di sampingnya, memeluk pelan bahu ibu angkatnya. Bayu berdiri di belakang mereka, mengepalkan tangan, marah dan tak berdaya.
Sementara itu, Hanan berdiri tegak di depan lubang makam, sorot matanya tajam. Dalam benaknya, semua kemungkinan mulai disusun satu per satu.
Kemungkinan aliran sesat.
Atau ada pihak yang ingin mengambil jasad untuk kepentingan ritual.
Kemungkinan ada sisa kelompok Hanggara yang belum tertangkap.
Atau… kemungkinan ada misteri lebih dalam dari kematian Anisa yang belum terungkap sepenuhnya.
“Siapa pun pelakunya,” batin Hanan, “aku akan temukan.”
Angin tiba-tiba berhembus lebih kencang, dedaunan berguguran, dan sekelebat bayangan hitam tampak jauh di antara pepohonan makam—cepat, hampir tak terlihat. Hanan spontan menatap ke arah itu.
Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA
“Perburuan baru… dimulai lagi,” gumamnya pelan.
Orang banyak berkumpul dan berbisik membicarakan hal tersebut. Terjadi perdebatan kecil diantara warga. Ada yang yakin itu sebuah ritual ada juga yang yakin jika itu hanya sebuah sabotase atas apa yang menimpa Hanggara. Bagaimanapun juga Hanggar punya anak buah dan selama ini dikagumi.
…








