Qorin (Cerbung Misteri Bab 34)

Qorin (Cerbung Misteri)
Qorin (Cerbung Misteri)

Suasana Keluarga Bayu

Sore itu, rumah keluarga Bayu kembali terasa hangat. Aroma masakan Ibu mereka menyambut siapa pun yang masuk ke dalam. Di ruang tengah, Alisa duduk bersandar di sofa dengan napas lega. Matanya masih tampak sembab—bukan karena sedih, melainkan karena rasa syukur yang meluap-luap.

Di sampingnya, Arsyita duduk dengan raut wajah campur aduk: bahagia, canggung, haru, dan sedikit rasa sungkan. Sementara Bayu berdiri di dekat jendela, memandang keluar seakan masih merenungkan semua yang telah terjadi.

“Kamu gak usah sungkan, Arsyita,” kata Alisa tiba-tiba, memecah keheningan. “Kamu akan jadi kakak iparku. Aku ikhlas… bahkan sangat bersyukur. Tabir terbuka sebelum pernikahan terlarang itu terjadi!”

Arsyita menoleh cepat, matanya membesar. “Alisa… aku…” suaranya bergetar. Ia menunduk, menahan air mata. “Aku tahu perasaanmu pasti hancur. Kamu pasti sakit menerima kenyataan ini. Tapi… kamu masih bisa bicara selembut itu kepadaku…”

Alisa tersenyum lembut, meski hatinya pernah hancur berkeping. “Aku sempat terpukul, iya. Tapi setelah semuanya terbuka… aku sadar, ini semua jalan terbaik. Allah masih melindungi aku dan Bayu dari kesalahan besar. Sekarang aku justru bahagia… karena kakakku akan menikah dengan sahabat terbaikku.”

Qorin (Cerbung Misteri)
Qorin (Cerbung Misteri)

Air mata Arsyita menetes pelan. Ia menggenggam tangan Alisa erat-erat.

“Semoga Kamu mendapatkan pasangan yang baik nanti, Alisa,” kata Arsyita lirih.

“Sudahlah, gak usah dipikirkan begitu,” jawab Alisa cepat, seakan ingin menghapus rasa bersalah sahabatnya. “Justru aku ingin kalian bahagia. Besok kamu ikut aku menemui orang tua asuhku selama ini, ya.”

“Ke rumah Pak Burhan?” tanya Arsyita.

“Iya,” jawab Alisa mantap. “Bagaimanapun beliau juga orang tuaku. Aku ingin kamu dan Mas Bayu menemani aku kesana besok.”

Bayu yang sedari tadi diam hanya mengangguk pelan. “Tentu. Sudah saatnya kita menghadapi ini bersama.”

Di Rumah Hanan

Sementara itu, jauh dari hiruk pikuk kota, Hanan telah kembali ke rumahnya di pinggiran desa. Pagi dan sore ia membantu sang ayah, Kyai Rasyid, memimpin kegiatan pesantren kecil mereka. Setelah semua kejadian supranatural dan pertarungan hidup-mati melawan dukun sewaan Hanggara, kehidupan sunyi pesantren terasa seperti anugerah besar.

Hanan duduk di serambi rumah, menatap langit sore yang perlahan berubah jingga. Tasbih kayu cendana yang diberikan Kyai Rasyid ia putar pelan di tangannya. Dalam diam, wajah Alisa melintas di pikirannya. Ia sadar perasaannya masih ada—tenang, dalam, dan tidak terburu-buru.

“Hanan,” suara Kyai Rasyid memanggil dari dalam rumah. “Perjalananmu kemarin sudah sangat berat. Tapi ingat, perjuangan bukan hanya di medan pertempuran. Kadang, medan yang lebih berat adalah menjaga hati dan niat.”

Hanan tersenyum kecil, mengangguk paham. “Iya, Kyai. Saya paham sekarang.”

“Alisa perempuan baik. Tapi jika jodohmu bukan dia, maka yakinlah Allah akan mempertemukan dengan yang lebih baik, atau dengan cara yang lebih indah,” lanjut Kyai Rasyid dengan lembut.

Hanan tak membantah. Ia hanya menatap ufuk barat, membiarkan kalimat itu meresap dalam hati. Dalam kesunyian sore itu, ia memilih bersabar.

Baca Juga:

Pertemuan Kembali dengan Keluarga Burhan

Keesokan harinya, Alisa, Bayu, dan Arsyita bersiap menuju rumah keluarga Burhan—keluarga asuh Alisa sejak kecil. Perjalanan itu sunyi di awal, namun di tengah jalan Arsyita mulai bercerita ringan untuk mencairkan suasana. Bayu sesekali menimpali, dan Alisa tersenyum.

Ada perasaan aneh tapi hangat di dalam mobil: mereka seperti keluarga baru yang sedang belajar menyatu.

Sesampainya di rumah Burhan, suasana menjadi haru. Burhan dan istrinya, Maisaroh, langsung memeluk Alisa erat. Tangis pecah, bukan karena duka, tapi karena rasa sayang dan penerimaan yang dalam.

“Kamu tetap anak kami, Nak,” ujar Burhan dengan suara bergetar. “Meskipun darahmu bukan dari kami, kasih sayang ini tidak akan pernah berubah.”

“Iya, Pak… Bu… terima kasih…” balas Alisa sambil terisak.

Arsyita yang menyaksikan adegan itu ikut terharu. Bayu berdiri di samping Alisa, memegang bahunya, memberi kekuatan.

Maisaroh kemudian menatap Arsyita dengan lembut. “Kamu ini sahabat Alisa yang sering diceritakan itu, ya? Alisa sering sekali memuji kamu…”

Arsyita tersipu. “Iya, Bu. Saya Arsyita.”

Burhan tertawa kecil, “Sekarang kalian benar-benar akan menjadi keluarga besar… Allah memang menulis takdir dengan cara-Nya sendiri.”

Ikatan Baru

Sore itu menjadi penanda babak baru bagi semuanya. Alisa tidak lagi menyimpan duka sebagai luka, melainkan sebagai pelajaran hidup. Bayu dan Arsyita kini bisa melangkah maju tanpa beban, dengan restu dan keikhlasan dari Alisa sendiri.

Hanan, meski jauh, tetap menjadi bagian penting dari lingkaran ini—sebagai sahabat yang tulus, pelindung diam-diam, dan saksi kebenaran.

Langit senja perlahan berubah keemasan. Di teras rumah Burhan, mereka bertiga duduk bersama, menatap jalan desa yang sunyi. Masa depan masih panjang, tapi untuk pertama kalinya setelah semua badai berlalu, kedamaian mulai bertumbuh perlahan.

Arsyita mengikuti ajakan Alisa mengunjungi rumah Burhan dan Maisaroh. Di rumah itu sedang berbincang Burhan dan Maisaroh. Kedunya tampak murung menghadapi anak kandung merek ternyata sudah wafat. Bahkan mereka tidak pernah mengasuh sejak bayi.

Kedatangan Alisa membuat keduanya tak dapat membendung air mata. Suasana haru terjadi, pecah tangis antara Burhan, Maisaroh dan Alisa.

“Bapak, Ibu… Alisa tetap anakmu. Anggap Alisa adalah Anisa yang telah tiada,” ucap Alisa.

Bayu pun ikut meleleh air matanya. Bukan Hanya karena ucapan Alisa saja. Melainkan dia ingat kebersamaan dengan Anisa. Gadis yang dianggap adik kandungnya selama ini.

“Aku juga akan selalu menganggapmu anak kandungku, Alisa!” seru Maisaroh di sela isak tangisnya.

Di tengah keharuan itu, datanglah Hanan. Dia memberi support kepada keluarga Burhan. Sejak terkuaknya siapa Alisa. Arsyita yang melihat kedatangan Hanan spontan terpikir untuk mendekatkan Alisa dengan Hanan.

Namun, belum sempat berpikir jauh. Hanan, mengatakan jika dia mendapat kabar bahwa makam Anisa gadis yang tertukar dengan Alisa waktu bayi dibongkar seseorang.

Berita itu sangat mengejutkan Burhan dan Maisaroh. Belumlah kering air mata kepedihan sudah datang lagu satu masalah baru yang menyedihkan.

Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA