Jerat Sukma
Langkah Hanan terhuyung, nafasnya berat, dadanya naik turun seperti habis berlari puluhan meter. Ia baru saja lolos dari cengkeraman Karta, dukun kepercayaan Hanggara yang menjerat sukma Dewi. Bukan karena kalah, melainkan karena ia tahu sendirian ia takkan mampu melepaskan jeratan itu.
Di balik kegelapan jalan tanah yang lengang, Hanan masih bisa mendengar gema suara tawa Karta yang mengerikan. “Hahaha… Lari saja, bocah santri! Aku sudah punya sandera yang membuatmu bertekuk lutut!”
Senter kecil di tangannya redup. Hanan menoleh ke kanan kiri, keringat dingin bercucuran di pelipis. “Ya Allah… kuatkan aku. Aku harus menyelamatkan Bu Dewi. Aku tak bisa biarkan dia ditahan lebih lama.”
Ia berlari semakin cepat, berharap segera tiba di rumah. Namun, belum jauh ia melangkah, cahaya lampu petromaks dari kejauhan menyilaukan matanya. Sosok lelaki berjubah putih berdiri tegak menunggu di tengah jalan.
“Hanan.” Suara berat tapi teduh itu terdengar jelas.
Hanan terperangah, langkahnya terhenti. “Kyai… Kyai Rasyid?”
Kyai Rasyid menatapnya lekat-lekat. “Kenapa engkau lari seperti orang yang kehilangan akal?”

Dengan terengah-engah, Hanan menjawab terbata-bata, “Dukun itu, Kyai… dia menahan sukma Bu Dewi… aku tak sanggup melawannya sendirian. Dia memakai ajian jerat sukma… aku tak tega melihat Bu Dewi tersiksa dalam ikatan gaib itu…”
Kyai Rasyid mengangguk pelan, matanya berkilat. “Aku memang sudah merasakan ada getaran ilmu hitam yang sangat kuat malam ini. Karena itulah aku menyusulmu.”
“Kyai… siapa sebenarnya dukun itu?” tanya Hanan sambil menunduk, masih ngos-ngosan.
Kyai Rasyid menarik nafas panjang. “Sepertinya aku mengenalnya. Nama aslinya Karta. Puluhan tahun lalu dia seorang sahabat, tapi kemudian tenggelam dalam kebencian. Ceritanya panjang, dan semua itu ternyata berkaitan dengan kisah keluarga Dewi.”
Hanan tertegun. “Jadi… semua saling terkait?”
“Benar. Bahkan sejak masa Ramlan dan Sulastri—kakek dan nenek Bayu—takdir sudah menuliskan perselisihan yang kini berbuah malapetaka!” seru Kyai Rasyid.
Tanpa menunggu lebih lama, Kyai Rasyid menggenggam bahu Hanan. “Ayo kita kembali. Kalau sendirian, engkau pasti celaka. Tapi malam ini, biarlah kita hadapi bersama. Karta memang bukan lawanmu, tapi dia harus berhenti di tanganku,” kata Kyai Rasyid.
…
Rahasia Lama Yang Terkuak
Mereka kembali ke lokasi pertempuran. Asap pekat masih menyelimuti hutan kecil itu. Bau kemenyan terbakar menusuk hidung. Suara jeritan samar-samar terdengar dari jerat gaib yang menahan sukma Dewi.
Karta berdiri di tengah lingkaran tanah yang dipenuhi rajah merah. Tatapannya liar, tangannya terus menggenggam kain hitam yang bergetar, seakan berisi energi aneh.
Saat melihat kedatangan Kyai Rasyid, mata Karta melebar. “Rasyid… rupanya kau ada di balik semua ini! Sudah puluhan tahun, kita bertemu lagi!”
“Karta…” suara Kyai Rasyid berat tapi tegas, “Engkau masih sama seperti dulu. Ilmumu tak pernah kau pakai untuk kebaikan. Kau menjerumuskan dirimu sendiri hanya karena sakit hati!” seru Kyai Rasyid.
Baca juga:

Qorin (Cerbung Misteri Bab 32) https://sabilulhuda.org/qorin-cerbung-misteri-bab-32/
Karta tertawa terbahak-bahak. “Jangan bicara soal kebaikan di hadapanku! Aku lebih paham arti kesetiaan dibanding kau. Aku kehilangan segalanya karena Ramlan merampas Sulastri dariku!”
Kyai Rasyid menatapnya penuh iba. “Sampai hari ini kau masih menyimpan dendam asmara itu? Padahal Sulastri memilih Ramlan dengan kehendaknya sendiri. Bukan karena dirampas, tapi karena hatinya memang untuk Ramlan.”
“Diam!” Karta meraung, matanya menyala merah. “Jangan sebut nama itu! Karena Sulastri, aku membenci Ramlan. Karena Ramlan, aku kini ikut menuntaskan dendam Hanggara!”
Hanan yang berdiri di samping Kyai Rasyid tertegun. Dari percakapan itu ia bisa menyimpulkan banyak hal. “Jadi… permusuhan ini berawal dari perebutan cinta masa lalu…” gumamnya dalam hati.
Namun, pikirannya langsung beralih pada jerat yang menahan Dewi. Sosok samar itu terus meronta, seakan meminta pertolongan.
Pertarungan Ilmu Hitam vs Doa
Kyai Rasyid maju satu langkah, suaranya lantang, “Sadarlah, Karta! Urusan asmara bukan alasan untuk merusak hidup banyak orang. Bukankah jodoh dan mati ada di tangan Tuhan?”
Karta menggeram. “Aku tidak butuh khotbahmu, Rasyid! Malam ini aku akan menuntaskan semuanya!”
Dengan cepat, Karta melompat, mengerahkan seluruh tenaganya. Dari telapak tangannya keluar semburan api membara. Udara mendesis, pohon-pohon kecil ikut bergetar.
Namun, Kyai Rasyid hanya mengangkat tangannya, membaca ayat-ayat dengan khusyuk. Sebuah cahaya putih menyelimuti tubuhnya, menahan semburan itu dan memantulkannya kembali.
Karta terpelanting beberapa langkah ke belakang, tapi ia segera bangkit. “Jangan senang dulu, Rasyid! Aku belum kalah!”
Mereka kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Mantra melawan doa, api merah membara melawan cahaya putih. Bumi seakan menjadi saksi pertarungan lama dua kekuatan yang berseberangan.
Hanan menatap dengan campuran kagum dan cemas. Ia tahu ilmunya tak cukup tinggi untuk ikut serta. Namun, ia tidak tinggal diam—mulutnya terus melafalkan doa, menambah kekuatan batin Kyai Rasyid.
Dendam yang Buta dan Cinta yang Tersakiti
Pertarungan berlangsung lama hingga akhirnya Kyai Rasyid berteriak lantang, “Karta! Engkau buta karena dendam! Ketahuilah, sosok Dewi yang kau sandera itu adalah anak dari Ramlan dan Sulastri, sahabatmu sendiri dulu! Apakah kau tega menghancurkan darah daging sahabatmu?”
Kata-kata itu menghentak jiwa Karta. Tubuhnya bergetar, mantranya terputus. Ia melompat mundur, wajahnya pucat.
“Apa… Dewi… cucu Ramlan?!” suaranya parau, antara tak percaya dan terguncang.
Jerat yang menahan sukma Dewi melemah. Sosok gaib itu bergetar, seakan akan bebas kapan saja.
Hanan merasakan inilah saat penting. “Ya Allah, inilah kuncinya… kebenaran masa lalu yang disembunyikan akhirnya muncul ke permukaan.”
Namun, ia juga tahu—meski Karta terguncang, pertarungan ini belum berakhir. Meski Karta sudah mulai mengendurkan serangan kepada Kyai Rasyid. Masih ada setitik kebaikan di hati Karta. Dia ingat masa masa saat bersahabat dengan Ramlan dan Sulastri. Meski akhirnya berseberangan karena Sulastri lebih memilih Ramlan.
Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA
Pertarungan Terakhir: Antara Dendam dan Penyesalan
Cinta Karta bertepuk sebelah tangan dan sayangnya yang menjadi pilihan Sulastri adalah Ramlan sahabatnya sendiri. Sementara Ramlan juga tidak tahu jika Karta menaruh hati pada Sulastri. Semua mengalir begitu saja.
Ramlan baru tahu setelah resmi menjadi suami Sulastri. Saat menikah, Karta tidak hadir barulah Ramlan mendengar jika Karta juga menaruh hati pada Sulastri. Kesadaran yang terlambat dan berakibat Karta menjauh. Bahkan menjauh dari ajaran agama yang mereka pelajari bersama. Sampai akhirnya menjadi pengikut dukun sesat demi membalas dendam.
“Bukan salahku … meskipun sosok Dewi adalah anak dari Ramlan dan Sulastri. Malah sebuah kebetulan untuk membalas sakit hatiku selama ini!” seru Karta.
“Jaga ucapanmu, Karta!” seru Kyai Rasyid.
Kali ini Kyai Rasyid terpancing emosinya. Ramlan adalah sahabatnya termasuk juga Karta yang dulu. Sebenarnya Kyai Rasyid ingin mengajak Karta kembali ke jalan yang benar. Apalagi sudah sama-sama tua dan tak pantas merasa dendam karena asmara di masa muda.
Namun, agaknya Karta sudah gelap mata. Dia lebih mengikuti bisikan iblis yang sudah bersarang pada dirinya. Pertarungan pun kembali terjadi.
…








