Qorin Bab 56: Rumah yang Menyimpan Sejarah dan Ketakutan

Qorin (Cerbung Misteri)
Qorin (Cerbung Misteri)

Sabilulhuda, Yogyakarta – Malam itu rumah Burhan terasa seperti menampung terlalu banyak sejarah, luka, dan doa yang belum selesai. Lampu-lampu dibiarkan menyala, bukan sekadar mengusir gelap, melainkan mencoba menghalau sisa-sisa ketakutan yang masih menggantung di udara. Setelah teror mereda, keheningan justru terasa lebih berat daripada hiruk-pikuk sebelumnya.

Kyai Rasyid duduk bersila di ruang tengah, memejamkan mata sejenak. Napasnya teratur, seolah menata ulang keseimbangan yang sempat porak-poranda. Hanan berdiri tak jauh darinya, sigap, matanya awas mengamati setiap sudut rumah. Ia tahu, meski serangan telah dihentikan, bayangan bahaya belum sepenuhnya pergi.

Burhan dan Maisaroh duduk bersebelahan. Wajah mereka tampak lelah, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi karena beban kenyataan yang bertubi-tubi menghantam hati. Maisaroh memegangi dadanya, napasnya masih tersengal. Sesekali ia menatap Arsyita, lalu memalingkan wajah, seakan takut jika tatapan itu justru membuka kembali luka yang belum kering.

Baca Juga: Qorin Bab 55: Cinta, Darah, dan Kegilaan

Kebisuan Arsyita dan Hati yang Mulai Terikat

Arsyita sendiri duduk terpaku. Tatapannya kosong, seolah jiwanya belum sepenuhnya kembali dari tempat yang jauh. Bayu berdiri di dekatnya, ragu antara ingin memeluk atau menjaga jarak. Ia takut salah langkah. Kata-kata Kyai Rasyid masih terngiang di kepalanya—bahwa yang barusan berteriak lewat tubuh Arsyita bukan sepenuhnya dirinya.

“Sebenarnya aku juga lelah dengan semua ini. Namun, saat ini perasaanku pada Arsyita justru semakin dalam,” kata Bayu dalam hati.

Di tengah ujian hidup yang dahsyat beberapa waktu terakhir, Bayu justru mendapatkan perasaan cinta pada Arsyita. Tidak lagi sekadar pelarian karena Alisa yang dicintai adalah adik kandungnya sendiri.

Baca Juga: Qorin Bab 54: SERANGAN GHAIB PADA HANAN

Alisa dan Keraguan yang Menghantui

Alisa berdiri di sisi lain ruangan, dekat jendela. Angin malam menyelinap masuk, mengibaskan tirai tipis. Ia memeluk dirinya sendiri, mencoba menguatkan hati. Pandangan matanya sesekali tertuju pada Hanan. Ada rasa aman yang tak bisa ia jelaskan, meski keraguan juga ikut menyelinap. Setelah semua yang terjadi, Alisa takut mempercayai perasaannya sendiri.

Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA

Peringatan dari Alam Gaib

Kyai Rasyid membuka mata.

“Anak-anakku,” ucapnya pelan namun tegas, “yang terjadi malam ini adalah sisa gelombang dari kejahatan besar. Mereka belum sepenuhnya menyerah, tapi kekuatan mereka sudah terpatahkan.”

Hanan mengangguk. “Narpati tidak muncul secara fisik, Kyai. Tapi suaranya… itu jelas peringatan.”

“Bukan hanya peringatan,” jawab Kyai Rasyid. “Itu juga pengakuan. Mereka menyebut ‘calon wadal’ bukan tanpa alasan.”

Burhan menelan ludah. “Maksud Kyai… Arsyita?”

Kyai Rasyid menatap Burhan lama, lalu mengangguk perlahan.

“Dan juga Alisa. Keduanya masih berada dalam lingkar incaran. Karena itu, kalian semua harus tetap bersama. Jangan terpisah.”

Ucapan itu membuat jantung Hanan berdegup lebih kencang. Nama Alisa kembali disebut. Seketika muncul dorongan kuat dalam dirinya—bukan hanya sebagai santri yang mengemban amanah, tapi sebagai lelaki yang tak ingin melihat gadis itu kembali terluka.

“Aku tidak akan biarkan Alisa terkena masalah lagi. Gadis itu sudah cukup menderita lahir batin,” kata Hanan dalam hati. Amarahnya kepada Narpati kembali membara. Selain bahaya kembali bangkitnya aliran sesat, juga karena gadis pujaan hatinya akan dijadikan wadal.

Baca Juga: Qorin Bab 53: Arsyita Kerasukan & Rahasia Besar Terbongkar

Suara dari Dunia Lain

Sebelum siapa pun sempat berbicara lagi, suara lirih terdengar, seperti hembusan angin yang membawa bisikan dari alam lain.

“Semua akan terungkap…”

Semua yang ada di ruangan terdiam. Lampu bergoyang pelan, udara mendadak terasa dingin. Hanan berdiri tegak, bulu kuduknya meremang. Ia mengenali suara itu.

“Anisa…” gumamnya.

Suara itu kembali terdengar, lebih jelas, seolah berasal dari sudut rumah yang tak tersentuh cahaya.

“Jangan saling menyalahkan. Yang terjadi bukan kehendak kalian. Alisa… Arsyita… kalian adalah saudaraku, bukan hanya karena darah, tapi karena takdir.”

Maisaroh menutup mulutnya, air mata mengalir tanpa suara. Burhan memejamkan mata, dadanya naik turun menahan isak. Bayu menunduk, merasakan perih yang sulit dijelaskan—kehilangan, penyesalan, dan syukur bercampur menjadi satu.

“Perjuangan kalian belum selesai,” lanjut suara Anisa, kini terdengar seperti menahan tangis. “Masih ada yang ingin merebut apa yang bukan haknya. Tapi jangan takut. Kebenaran selalu menemukan jalannya.”

Perlahan, suara itu menghilang. Udara kembali normal, lampu berhenti bergoyang. Namun jejak kehadiran Anisa tertinggal di hati setiap orang.

Kyai Rasyid menghela napas panjang. “Itu pesan perpisahan… sekaligus pengingat.”

Baca Juga: Qorin Bab 52: TEROR DI RUMAH BURHAN PINTU GAIB TERBUKA

Janji Setia dan Hati yang Berdebar

Hanan mengepalkan tangan. “Saya akan melakukan apa pun yang Kyai perintahkan. Narpati dan kelompoknya tidak boleh dibiarkan.”

Kyai Rasyid menatap Hanan dengan sorot penuh keyakinan. “Aku tahu. Tapi ingat, perjuangan ini bukan hanya soal mengalahkan musuh. Ini juga tentang menjaga hati agar tidak dikuasai dendam.”

Pandangan Hanan tanpa sadar kembali ke arah Alisa. Gadis itu kini menatapnya juga. Tatapan mereka bertemu sesaat—cukup lama untuk menyampaikan sesuatu yang tak terucap. Ada harapan, tapi juga ketakutan.

Alisa cepat-cepat menunduk. “Aku… aku hanya ingin semuanya berakhir,” bisiknya perlahan.

Keraguan Masa Depan dan Harapan Baru

Di sisi lain, Arsyita menggigil. Bayu mendekat, memegang bahunya dengan hati-hati.

“Tenang, Syita. Aku di sini.”

Arsyita mengangkat wajahnya perlahan. Matanya berkaca-kaca.

“Mas… kalau nanti aku benar-benar jadi istrimu… apakah masa lalu ini akan terus menghantui kita?”

Bayu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Masa lalu memang tak bisa dihapus. Tapi kita bisa memilih bagaimana menjalaninya ke depan.”

Baca Juga: Qorin (Cerbung Misteri Bab 51)

Rencana Baru

Kyai Rasyid berdiri. “Malam ini cukup. Kalian semua perlu istirahat. Besok, kita susun langkah berikutnya.”

Namun, jauh di dalam hati Hanan, ia tahu: perjalanan ini belum mendekati akhir. Nama Narpati masih menggema. Ritual sesat belum sepenuhnya dihentikan.

Bahkan di antara semua itu, ada satu pertanyaan yang terus berputar di kepalanya—Apakah Alisa akan aman… dan apakah sudah saatnya ia mengungkapkan perasaannya, sebelum kegelapan kembali mencoba merebut segalanya?

Bersambung…