Sabilulhuda, Yogyakarta – Angin malam menyapu keras sepanjang jalan desa. Hanan melaju di atas motornya, napasnya memburu. Fatwa Kyai Rasyid terus terngiang, “Kita harus melindungi Arsyita dan Alisa. Keduanya masih dalam bahaya.”
Setelah energi ritual Maithuna modern berhasil digagalkan oleh doa Kyai Rasyid, keduanya bergegas menuju rumah Burhan. Namun, Kyai Rasyid memilih langsung berangkat menuju padepokan untuk mengambil sesuatu, sementara Hanan disuruh lebih dulu memastikan kondisi keluarga Burhan.
Motor Hanan membelah kegelapan malam.
Namun, baru menempuh setengah perjalanan…
Whooosshhh…!!
Angin dingin melintas begitu cepat — bukan angin biasa, tapi seperti sesuatu sedang bergerak mendahuluinya. Motor Hanan oleng sesaat.
“Bismillahi tawakaltu ‘alallah…” gumam Hanan.
Ia merasakan ada yang mengawasinya dari balik pepohonan kiri-kanan jalan. Samar-samar terlihat bayangan hitam bergerak mengikuti lajunya.
Lalu suara berat terdengar di belakang kepalanya:
“Hanan… kamu tidak akan sampai ke rumah itu.”
Hanan langsung menoleh — tidak ada siapa-siapa.
Namun, ketika menatap ke depan, BRAAAK! sesosok hitam tinggi berdiri di tengah jalan. Wujudnya seperti manusia, namun terlalu kurus, terlalu panjang, dan lehernya berputar 180 derajat.
Motor Hanan berhenti mendadak.
Sosok itu melangkah perlahan… krek… krek… krek… setiap langkahnya seperti tulang bergesekan.
Hanan mundur sambil membaca ayat kursi dalam hati.
“Siapa kamu?” teriak Hanan, meski tubuhnya bergetar.
Tak ada jawaban. Hanya suara tawa melengking — HA… HA… HAAA..!
Kemudian diikuti bisikan lirih:
“Kau menghalangi kebangkitan kami…
Saat malam purṇama berulang… darah harus tertumpah…”
Hanan Mengangkat Tangannya, Bersiap
Baca Juga: Qorin Bab 53: Arsyita Kerasukan & Rahasia Besar Terbongkar
Hanan menegakkan tubuhnya, berusaha tak terpancing oleh rasa takut. Ia menutup mata sejenak, mengatur napas, lalu membuka mata dengan mantap.
“Aku bukan lawanmu. Pergilah! Ini bukan urusanmu.”
Sosok itu berhenti.
Lalu wajahnya mendekat — hanya sejengkal dari wajah Hanan — dan berbisik:
“Akulah utusan Narpati.”
Kata-kata itu membuat Hanan refleks memukul dengan dzikir keras:
“ALLAAHU AKBAR!”
Sosok itu terlempar ke belakang seperti dihantam kekuatan tak terlihat. Tubuhnya terjerembab ke tanah, meledak menjadi kepulan asap hitam — dan berubah menjadi ratusan serangga gaib yang beterbangan lalu menghilang.
Namun, sebelum benar-benar lenyap, sosok itu berteriak:
“Kita akan bertemu lagi, anak manusia!
Arsyita… tidak akan kami lepaskan…!!”
Hanan berdiri terpaku. Napasnya tersengal. Keringat membasahi wajahnya meski angin malam begitu dingin.
“Bismillahirrahmanirrahim…” ulangnya berkali-kali.
Baru beberapa langkah ia berjalan menuju motornya, tiba-tiba sebuah bayangan lain muncul — kali ini lebih kecil, seperti anak-anak, tapi bukan anak-anak.
Sebab matanya… merah. Kulitnya pucat dan ia berlari ke arah Hanan dengan suara tangis:
“Tolong aku… tolong aku…”
Hanan mengernyit. Suara itu…
Suara Anisa…
Namun, Kyai Rasyid sudah berkali-kali memperingatkan: “Jangan percaya wujudnya. Jin bisa memakai rupa orang yang kamu kasihi.”
Hanan menahan diri.
Sosok anak kecil itu mendekat semakin dekat… namun tiba-tiba berubah — tubuhnya memanjang, wajahnya melebar dengan mulut terbuka penuh gigi tajam.
Ia menerjang Hanan.
Hanan menepuk tanah dengan telapak tangan sambil membaca:
“La hawla wa la quwwata illa billah—!”
Dari tanah keluar cahaya putih menyembur, menghantam sosok itu. Tubuh buruk rupa tersebut tertarik ke belakang, berteriak menyakitkan, lalu membubarkan diri menjadi asap hitam.
Suasana kembali hening.
“Ini terlalu parah…” gumam Hanan.
“Mereka benar-benar ingin menghentikanku.”
Tanpa membuang waktu, ia kembali menghidupkan motor dan melesat menuju rumah Burhan.
Namun, setelah dua tikungan…
Langit berubah gelap pekat.
Awan hitam menutupi bulan. Angin dingin bertiup dengan suara seperti bisikan banyak orang. Pepohonan tampak seolah membungkuk ke arah jalan, seakan menghimpit. Sayup-sayup terdengar bacaan mantra yang membuat Hanan merinding.
“Wus wayahe…kang biyen rumboko balik ngromboko…manungso tan biso ngalangi lan nguwalno…sopo ngalangi bakal tumeko ing pati…!”
Sebuah suara terdengar seakan mengitari tempat tersebut. Seperti berputar tidak jelas sumber suaranya.
Hanan melaju semakin cepat.
Sementara itu di kejauhan, terdengar suara gong besar dipukul tiga kali — DUM! DUM! DUM!
Itu bukan suara manusia. Itu seperti tanda awal ritual ritual.
“Ya Allah… jangan sampai aku terlambat,” gumamnya.
Saat itulah, bayangan besar melompat dari atas pohon!
BRAAK!
Motor Hanan terpental. Ia jatuh keras menghantam tanah, mengguling beberapa meter.
Telinganya berdenging. Pandangan berputar.
Hanan mencoba bangkit, tapi lututnya goyah.
Di hadapannya berdiri sosok besar… jauh lebih besar dari sebelumnya. Badannya berwarna hitam pekat, seperti arang, tapi berkilauan. Kepalanya dua tanduk panjang tanduk melengkung. Matanya dua bola api merah taring panjang keluar melewati bibirnya.
Napasnya mengeluarkan asap panas.
“HANAAAAN…”
Suaranya bergema seperti datang dari perut bumi. Hanan tak menyerah, meski cobaan tak pernah putus. Bayangan Arsyita dan Alisa selalu menghantuinya. Terutama wajah Alisa yang semakin melekat dihatinya. Hanan, yakin Alisa adalah jodoh yang harus dilindunginya. Bukan sekadar perasaan cinta anak muda kepada lawanjenisnya.
“Aku penjaga Maithuna… Utusan utama Narpati…
Tugas kami hanya satu —
mengambil anak yang lahir di bawah purnama sidi!”
Hanan mengangkat kedua tangan, bersiap membaca ayat… tetapi kemudian sosok itu mendahuluinya.
Ia melompat dengan kecepatan kilat!
Tepat sebelum makhluk itu menabrak Hanan—
Cahaya putih menyilaukan meledak dari atas jalan. Suara petir keras membelah langit. Makhluk itu terpental jauh, meraung kesakitan.
Kemudian seseorang berdiri di belakang Hanan.
Kyai Rasyid.
Jubahnya berkibar, wajahnya dingin, suaranya tegas:
“Aku sudah menduga begini jadinya…
Hanan, berdirilah di belakangku.”
Makhluk itu bergetar.
“KAU… penyihir tuaaa…!!”
Kyai Rasyid mengangkat tongkat kayunya.
“Bukan penyihir.
Aku hanya hamba Allah, penjaga mereka yang kau incar.
Demi Allah… kau tidak akan menyentuh satu rambut pun dari anak-anak itu.”
Makhluk itu menjerit dan menghilang dalam kepulan asap pekat.
Hanan yang sudah terjatuh bersandar, memegangi dadanya.
“Kyai… kalau Anda terlambat sedikit saja…”
“Allah yang menggerakkan langkah kita, Hanan,” jawab Kyai Rasyid.
Keduanya saling pandang.
Lalu Kyai Rasyid berkata:
“Cepat. Rumah Burhan sedang diserang dari jarak jauh.
Arsyita… sudah hampir tidak terselamatkan.”
Mendengar itu, Hanan langsung memaksa dirinya berdiri.
Dengan sisa tenaga, ia dan Kyai Rasyid melaju ke rumah Burhan.
Belum mereka tahu… di dalam rumah itu, Arsyita telah berubah.
Dia bukan lagi dirinya.
Ada rahasia yang lebih mengerikan… menunggu untuk terungkap.
Kyai Rasyid dan Hanan berdebar, mereka sadar yang dihadapi adalah sosok Jin khodam yang sangat tua. Kekuatan magisnya tidak sembarangan.Namun, tak ada pilihan lain kecuali harus tetap maju.
Demi menyelamatkan dan melindungi generasi berikutnya. jangan sampai penganut aliran sesat tersebut benar-benar bangkit. Meskipun hampir mustahil musnah. Namun, setidaknya harus ditekan seminimal mungkin.
Baca Juga: CERITA HOROR – MISTERI RUMAH TUA





