
Mitos Gunung Merapi Tradisi Lisan Masyarakat dengan Alam – Gunung Merapi bukan hanya simbol alam yang agung, tetapi juga menjadi pusat spiritual dan budaya bagi masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Di balik letusan-letusannya yang dahsyat, Merapi menyimpan serangkaian mitos dan tradisi lisan yang telah hidup turun-temurun. Mitos-mitos ini mencerminkan hubungan batiniah dan spiritual antara manusia dan alam, yang terjaga dalam keharmonisan, rasa hormat, dan saling menjaga.
Dalam masyarakat tradisional Jawa, Gunung Merapi tidak dipandang semata-mata sebagai fenomena geologi, tetapi sebagai makhluk hidup yang memiliki “jiwa”, serta menjadi bagian penting dari kosmologi Jawa.
Melalui mitos, legenda, dan cerita rakyat yang diwariskan secara lisan, hubungan spiritual ini terus hidup, membentuk cara pandang masyarakat terhadap alam sebagai sahabat, guru, sekaligus kekuatan yang harus dihormati.
Merapi dalam Kosmologi Jawa
Gunung Merapi dipercaya sebagai salah satu titik penting dalam poros imajiner kosmologis Kraton Yogyakarta—bersama Laut Selatan (Segoro Kidul) dan Kraton sebagai pusat dunia manusia.
Baca Juga:

Jathilan Lancur: Bentuk Awal Kesenian https://sabilulhuda.org/jathilan-lancur-bentuk-awal-kesenian/
Gunung adalah simbol dunia atas (kayangan), tempat para leluhur dan roh-roh suci bersemayam. Karenanya, Merapi bukan hanya bagian dari lanskap alam, tetapi menjadi ruang sakral dalam sistem kepercayaan masyarakat Jawa.
Konsep ini mengajarkan bahwa kehidupan manusia berada dalam keseimbangan antara alam bawah (laut), alam tengah (manusia), dan alam atas (gunung). Jika keseimbangan terganggu, bencana bisa terjadi. Maka hubungan dengan Merapi dijaga melalui ritual, doa, dan tradisi lisan yang diwariskan antargenerasi.
Mitos Eyang Merapi Penguasa Gaib Gunung
Salah satu mitos paling dikenal di seputar Gunung Merapi adalah tentang Eyang Merapi—tokoh gaib yang dipercaya sebagai “penjaga” dan penguasa spiritual gunung. Dalam berbagai versi cerita, Eyang Merapi digambarkan sebagai tokoh tua bijaksana yang bertugas menjaga tatanan alam Merapi dan sekitarnya.
Menurut mitos, sebelum letusan besar terjadi, Eyang Merapi akan memberi pertanda melalui mimpi, suara gaib, atau perubahan perilaku alam. Sosok seperti Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang terkenal, di percaya memiliki hubungan spiritual langsung dengan Eyang Merapi.
Mbah Maridjan sering kali menjadi perantara antara masyarakat dan kekuatan alam, lewat ritual labuhan, doa, dan petunjuk-petunjuk kebatinan.
Kisah Eyang Merapi menegaskan bahwa Merapi bukan musuh, melainkan penjaga yang adil yang akan marah bila manusia serakah dan tidak menghormati alam.
Tradisi Lisan
Mitos Gunung Merapi hidup melalui tradisi lisan yang di sampaikan dari orang tua kepada anak-anak, dari para tetua adat kepada generasi muda. Cerita-cerita ini bukan sekadar hiburan, tetapi sarana pendidikan moral dan spiritual.
Beberapa contoh cerita lisan antara lain:
Mitos Perjanjian Sunan Kalijaga dan Eyang Merapi: Konon, Sunan Kalijaga membuat perjanjian gaib dengan Eyang Merapi agar Merapi tidak murka selama manusia menjaga alam dan salat tepat waktu. Jika manusia melanggar, Merapi akan memberi peringatan.
Cerita Nyai Gadung Melati: Seorang putri gaib yang di percaya menjaga lereng Merapi bagian barat. Ia menjadi pelindung anak-anak desa dan penggembala ternak, tetapi bisa murka jika hutan di rusak.
Tanda-Tanda Alam Sebelum Letusan: Seperti suara aneh dari hutan, munculnya binatang buas di desa, atau air sumur yang mendidih. Semua ini di percaya sebagai pesan dari dunia gaib agar manusia waspada.
Tradisi lisan ini membentuk kebijaksanaan lokal yang menjaga masyarakat dari bencana, sekaligus mengajarkan kesadaran lingkungan dan kerendahan hati.
Hubungan Spiritual: Manusia, Alam, dan Doa
Melalui mitos Merapi, masyarakat tidak sekadar takut kepada gunung, tetapi menjalin hubungan spiritual yang di landasi oleh:
Doa dan ritual, seperti Labuhan Merapi, tirakatan, sedekah bumi, dan pembacaan doa di petilasan Eyang Merapi.
Etika ekologis, seperti larangan menebang hutan sembarangan, membuang sampah ke sungai, atau merusak sumber mata air.
Tata krama terhadap alam, seperti memberi sesaji atau “izin batin” sebelum memasuki hutan atau gua di lereng Merapi.
Dalam pandangan spiritual Jawa, bencana alam bukan hukuman semata, tetapi juga “teguran” agar manusia kembali pada tatanan yang seimbang.
Relevansi Mitos di Era Modern
Meskipun sebagian kalangan mungkin memandang mitos sebagai cerita irasional, namun dalam konteks budaya, mitos adalah metafora kebijaksanaan yang sangat relevan. Di tengah krisis lingkungan dan perubahan iklim, mitos Merapi mengingatkan kita untuk:
Menghormati alam sebagai sahabat, bukan objek eksploitasi
Menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan keberlangsungan lingkungan
Menghidupkan kembali nilai spiritual dalam memandang bumi
Banyak komunitas kini menghidupkan kembali cerita-cerita ini dalam bentuk buku anak, pertunjukan wayang, hingga wisata edukatif. Semua ini menjadi cara menjaga nyala kearifan lokal di tengah zaman digital.
Baca Juga: Filosofi Maskot
Penutup
Mitos Gunung Merapi adalah cermin dari jiwa masyarakat Jawa yang menghormati alam, menjalin hubungan spiritual dengan semesta, dan hidup dalam harmoni. Di balik abu dan lahar yang pernah menyapu desa-desa, selalu ada doa yang terucap, selalu ada kisah yang di jaga, dan selalu ada harapan untuk tetap selaras dengan sang Gunung Hidup.
Hubungan manusia dan alam akan tetap terjalin dalam sebuah kesadaran bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya.
Oleh: Ki Pekathik













