MANAKALA BUNG KARNO MENUJU TUTUP PINTU NAFAS

Lukisan Bung Karno menjelang akhir hayat, duduk merenung di bawah langit senja merah, menggambarkan keteguhan dan cinta tanah air.
Ilustrasi tempo dulu Bung Karno di ujung senja, simbol renungan dan pesan terakhir sang proklamator bagi generasi penerus bangsa.

by bambang oeban

Sabilulhuda, Yogyakarta: MANAKALA BUNG KARNO MENUJU TUTUP PINTU NAFAS – Di ujung senja sejarah, ketika langit merah tua meneteskan darah perjuangan, dan suara azan dari Masjid Istana bergema lirih, Bung Karno duduk menatap bumi pertiwi—bumi yang dulu ia guncangkan dengan pidato-pidato api, bumi yang ia cintai melebihi dirinya sendiri.

Tangannya gemetar bukan karena usia, melainkan karena beban cinta kepada tanah air yang masih ia pikul hingga nafas terakhir. Ia tahu, tubuh boleh menua,

tapi jiwa pemimpin tak pernah benar-benar mati. Maka ia berbisik—bukan kepada anak kandung, bukan kepada menantu, bukan kepada cucu semata, melainkan kepada setiap anak manusia yang lahir dari rahim bumi Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, dari lorong-lorong sempit Jakarta hingga tepian sunyi di pelosok Papua.

PESAN – I.

“Hai anak-anakku, cucu-cucuku, penerus darah bangsa, dengarlah baik-baik sebelum aku pulang kepada-Nya. Aku bukan nabi, bukan malaikat, bukan pula wali, aku hanya manusia yang diberi tugas oleh sejarah untuk menyalakan api kesadaran, agar kalian tidak hidup seperti budak di tanah sendiri.”

Bung Karno menatap jauh ke masa depan, melihat wajah-wajah anak muda yang tersenyum palsu

di depan layar kaca, melihat petani yang menunduk di sawah tapi tak punya tanah, melihat guru yang mengajar dengan perut lapar, melihat mahasiswa yang berteriak tapi dijebak sistem. Lalu ia berkata lagi—dengan suara yang lirih namun tegas:

“Kemerdekaan tidak cukup dengan merdeka dari penjajah, tetapi juga merdeka dari ketakutan, dari kemiskinan, dari kebodohan, dari kemunafikan yang menyaru sebagai pembangunan. Sebab penjajahan bisa datang dari luar, tapi lebih sering lahir dari dalam dada manusia sendiri.”

Baca Juga:

Ilustrasi dua generasi pemuda Indonesia: di kiri pemuda 1928 berpidato dengan semangat nasionalisme di depan bendera merah putih, di kanan pemuda 2025 menatap ponsel dengan latar biru modern bertuliskan “Bumi Langit”.

SOEMPAH PEMOEDA 1928 – SUMPAH PEMUDA 2025: BUMI – LANGIT https://sabilulhuda.org/soempah-pemoeda-1928-sumpah-pemuda-2025-bumi-langit/

PESAN – II.

Malam tiba di antara doa dan tangis, Bung Karno menengadah ke langit, menatap bintang-bintang yang dulu ia jadikan saksi sumpah. Ia berbicara dengan Tuhan, bukan dengan bahasa kitab, tapi dengan bahasa air mata.

“Ya Allah, Engkau telah memberiku napas, Engkau telah memberiku lidah yang berapi-api, untuk menyadarkan manusia dari tidur panjang. Kini napas itu mulai berat, tapi izinkan aku berpesan terakhir, bukan untuk kemuliaan namaku, melainkan agar bangsa ini tidak kehilangan jiwa.”

Dan bumi bergetar pelan, seakan turut mendengar renungannya. Gunung-gunung di Jawa menunduk, samudera bergemuruh pelan, angin membawa pesan itu ke segala arah.

PESAN – III.

“Jika kelak engkau menjadi pemimpin,” katanya,

“jangan jadikan kekuasaan sebagai mahkota, tapi jadikan ia sebagai beban suci yang harus kau pikul dengan iman dan tanggung jawab. Jangan jadikan rakyat sebagai angka statistik, sebab di balik satu angka ada air mata, di balik satu data ada penderitaan.”

Ia menghela napas panjang, seperti ingin menumpahkan segala keresahan.

“Pemimpin sejati bukan yang disanjung di podium, tapi yang menangis di ruang sunyi karena merasa belum mampu menunaikan amanah. Jangan engkau cari kemegahan di istana, carilah keikhlasan di hati rakyat. Karena yang sejati dari pemimpin adalah ketika rakyat bisa tidur tenang meski pemimpinnya tidak pernah tidur.”

PESAN – IV.

“Hai pemuda!”

katanya dengan nada menggema, “Kalian bukan pewaris kursi, tapi pewaris cita-cita! Jangan biarkan darah para pahlawan mengering di batu sejarah tanpa makna.”

Bung Karno  menunjuk dadanya sendiri.

“Aku dulu muda seperti kalian, aku marah, aku bermimpi, aku berani menantang langit! Tapi keberanian tanpa arah adalah sia-sia. Kalian boleh kritis, tapi jangan kehilangan sopan santun. Kalian boleh memberontak, tapi harus tahu kepada siapa dan untuk apa. Sebab revolusi tanpa moral hanya melahirkan kehancuran.”

Dan ia menambahkan—“Gunakan pena kalian, bukan hanya teriak, gunakan otak kalian, bukan hanya otot. Jangan jadikan media sosial sebagai gelanggang caci maki, tapi jadikan ia sebagai mimbar kebenaran. Karena bangsa besar bukan yang banyak bicara, tapi yang banyak bekerja.”

Baca Juga:

Seorang pria berambut panjang pirang dengan jenggot tipis sedang memegang selembar kertas sambil mengenakan kaus hitam bergambar.

FILM GETIR IRENG TERBIT PASKA NEGERI TERSULUT RUSUH MEMBARA https://sabilulhuda.org/film-getir-ireng-terbit-paska-negeri-tersulut-rusuh-membara/

PESAN – V.

“Anak desa, aku tahu kau sering dipinggirkan, tapi ingat, dari tanah dan lumpur itulah revolusi lahir. Sawahmu adalah kitab kehidupan, cangkulmu adalah pena yang menulis sejarah.”

Ia menatap jauh, membayangkan para petani yang tetap tersenyum di tengah kekurangan.

“Jangan kau anggap dirimu kecil, sebab besar kecilnya manusia bukan dari pakaian atau jabatan, melainkan dari seberapa tulus ia bekerja tanpa mengharap pujian. Bangunlah desa dengan cinta, karena dari desalah bangsa ini bertumbuh.”

PESAN – VI.

“Wahai guru, engkau adalah matahari yang tidak minta disembah, tapi menerangi tanpa pamrih. Jangan biarkan nuranimu padam oleh birokrasi. Didiklah anak bangsa agar berani berpikir, bukan hanya pandai menghafal.”

“Dan untukmu, wahai ibu, engkaulah universitas pertama manusia. Dari pangkuanmu lahir generasi yang akan menentukan arah bangsa. Jangan biarkan anakmu tumbuh dalam kebohongan, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang jujur sejak dalam buaian.”

“Wahai rakyat kecil, jangan malu karena miskin, sebab kemiskinan bukan aib, yang aib adalah ketika kita berhenti berjuang. Keringatmu adalah air suci pembangunan, tangismu adalah doa yang menggerakkan langit.”

PESAN – VII.

“Kekayaanmu bukan jaminan kemuliaan. Tuhan tidak menilai isi brankasmu, tapi isi hatimu. Jika harta membuatmu buta, maka kemiskinan orang lain adalah cermin dosamu.”

“Berbagilah bukan karena ingin dipuji, tapi karena ingin meringankan beban sesama. Jangan jadikan sedekah sebagai pertunjukan, karena Tuhan tidak menonton drama.”

PESAN – VIII. BUAT PENYAIR DAN LAIN-LAIN.

“Wahai penyair, tulislah dengan darah, bukan dengan tinta, agar puisimu mengguncang hati manusia. Jadikan seni sebagai ladang dakwah kebajikan, bukan panggung narsistik belaka. Karena bangsa yang kehilangan seniman sejati, akan kehilangan arah rohnya.”

“Wahai pemikir, jangan terlalu tinggi di menara gading. Turunlah ke bumi, rasakan debu penderitaan rakyat, agar teori dan praktik tidak terpisah seperti langit dan laut.”

PESAN – IX.

“Aku bukan hanya berpesan kepada bangsa Indonesia, tapi kepada seluruh umat manusia di jagat raya. Karena kemanusiaan tidak punya paspor, tidak berbahasa satu bangsa. Kemanusiaan adalah bahasa cinta yang universal.”

“Jangan engkau benci hanya karena beda kulit, beda agama, atau beda bendera. Karena darah yang mengalir di tubuhmu dan di tubuhku adalah sama merahnya.”

“Jika engkau mencintai Tuhan, maka cintailah manusia. Sebab Tuhan tidak butuh dipuja dengan kebencian.”

PESAN – X.

Setelah berkata panjang, Bung Karno menutup mata. Napasnya makin berat, tapi wajahnya damai. Ia tahu, jasadnya akan hilang ditelan bumi, tapi jiwanya akan hidup dalam setiap hati yang jujur. Dan di ujung napasnya, ia sempat berbisik terakhir kali …

“Aku telah menyalakan api, kini tugas kalian menjaganya. Jangan biarkan padam oleh zaman, jangan biarkan redup oleh kebodohan. Jadikan cinta tanah air sebagai ibadah, jadikan keadilan sosial sebagai doa.”

PESAN – XI.

Dan kini, kita yang hidup di abad dua puluh lima, masih mendengar gema wasiat itu. Dari nisan yang sederhana di Blitar, anginnya berhembus ke setiap jendela hati. Ia tidak bicara lagi, tapi pesannya terus menggema—di dada para pejuang keadilan, di pena para penulis, di doa ibu-ibu yang menanak nasi untuk anaknya, di nyanyian para nelayan yang berangkat sebelum fajar.

Wasiat itu bukan untuk dikenang, tapi untuk dilaksanakan. Bukan untuk dikutip di upacara, tapi untuk dijadikan laku hidup.

PESAN – XII.

“Tuhan memberi napas untuk hidup, bukan untuk berdiam diri. Dan ketika napas itu tinggal sejengkal lagi, aku ingin bangsa ini bernafas dalam kejujuran, bernafas dalam persaudaraan, bernafas dalam keadilan.”

Begitulah pesan Bung Karno, pemimpin besar yang memahami bahwa hidup bukan tentang kekuasaan, melainkan tentang tanggung jawab batin kepada Tuhan dan sesama. Ia tidak meninggalkan warisan harta, tapi meninggalkan kesadaran, bahwa setiap manusia adalah pelanjut sejarah, bahwa setiap rakyat adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Dan di antara nisan dan langit sore itu, terdengar sayup-sayup bisikan lembut:

“Bangkitlah, anak-anakku, jadilah manusia yang merdeka, bukan karena bendera berkibar, tapi karena jiwamu tak lagi dijajah oleh ketamakan. Sebab kemerdekaan sejati adalah ketika manusia berani menatap Tuhan dengan hati yang bersih.”

Baca Juga: Menko PMK : Ditemukan Bung Karno, Pancasila Anugerah Untuk Bangsa Indonesia

PESAN BUNG KARNO SEBELUM WAFAT PADA

21 JUNI 1970 …

seakan tidak tercatat

secara resmi dalam satu

pernyataan akhir.

01. Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JASMERAH).

Pesan ini disampaikan Bung Karno dalam pidatonya yang terkenal pada 17 Agustus 1966. Walaupun bukan pesan saat-saat terakhir, ini dianggap sebagai wasiat penting:

“Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah.”

Pesan itu mengingatkan bangsa Indonesia untuk tidak melupakan perjuangan dan nilai-nilai kebangsaan.

02. Pesan kepada Anak-anaknya.

Beberapa anak Bung Karno, seperti Megawati Soekarnoputri, pernah menyampaikan bahwa ayah mereka berpesan agar mereka terus mencintai rakyat dan memperjuangkan kepentingan bangsa.

03. Kesetiaan pada PANCASILA.

Bung Karno selalu menekankan pentingnya Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi pemersatu bangsa Indonesia. Ia ingin agar Pancasila tetap dijaga dan diamalkan.

04. Penderitaan Bung Karno di Masa Akhir.

Selama masa tahanan rumah setelah lengser, Bung Karno mengalami perlakuan yang menyakitkan secara fisik dan batin. Dalam kesaksiannya, ia menyampaikan rasa kecewa dan kesedihan atas kondisi bangsa dan cara dirinya diperlakukan. Namun ia tetap berharap Indonesia akan kembali ke jalan yang benar.

5. “Aku Tinggalkan Kekayaan yang Tak Ternilai, yaitu Rakyat Indonesia”

Itu adalah salah satu kutipan populer yang sering dikaitkan dengan Bung Karno, sebagai bentuk cintanya pada rakyat dan keyakinannya bahwa masa depan Indonesia ada di tangan rakyatnya.

Dari Timur Bekasi

Jumat, 24 Okt 2025

02.07