Kajian Waqaf Oleh Dr. Setiawan Budi Utomo
A. LATAR BELAKANG
Krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia secara faktual telah
melipatgandakan jumlah penduduk miskin dari ± 25 juta jiwa di akhir tahun 1997 menjadi ±100 juta jiwa di tahun 1999. Berbagai cara dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain melalui JPS (Jaringan Pengaman Sosial) serta berbagai sumbangan dari dalam dan luar negeri. Pemerintah sendiri tampaknya cukup kesulitan untuk mengatasi masalah ini mengingat terbatasnya dana yang tersedia dalam APBN. Selain itu mengingat Pinjaman Luar Negeri (PLN) Indonesia yang sangat besar, maka alternatif PLN untuk mengatasi masalah menjadi kurang dipertimbangkan.
Salah satu alternatif yang masih memiliki harapan untuk mengatasi masalah ini adalah adanya partisipasi aktif dari pihak non pemerintah, yang dalam hal ini adalah masyarakat. Masyarakat, khususnya golongan kaya, memiliki kemampuan untuk membantu meringankan penderitaan masyarakat miskin. Apabila potensi masyarakat (kaya) ini dapat dikoordinasikan serta dikelola dengan baik, maka hal ini dapat memberikan alternatif kontribusi penyelesaian positif atas masalah kemiskinan tersebut di atas. Di Bangladesh, upaya non pemerintah untuk menjawab masalah kemiskinan telah dicoba dijawab melalui keberadaan lembaga yang bernama Social Investment Bank Limited (SIBL). Lembaga ini beroperasi dengan menggalang dana masyarakat (kaya), khususnya melalui dana wakaf tunai, untuk kemudian dikelola dimana hasil pengelolaannya disalurkan untuk masyarakat
miskin.
Untuk kasus Indonesia, upaya seperti yang dilakukan oleh SIBL tersebut, merupakan satu alternatif yang menarik. Dengan jumlah penduduk muslim yang mayoritas, maka upaya penggalangan serta pengelolaan dana wakaf (tunai) seperti halnya di atas, diharapkan dapat lebih ter-apresiasi-kan oleh masyarakat (muslim), minimal secara kultural. Di sisi lain, keberadaan institusi-institusi syariah (khususnya perbankan) merupakan alternatif lembaga yang representatif untuk mengelola dana-dana amanah tersebut. Di samping itu dana-dana tersebut juga merupakan salah satu sumber dana bagi perbankan (lembaga keuangan) syariah, dimana secara prinsip telah terakomodasikan di dalam ketentuan perbankan syariah.
B. SERTIFIKAT DANA WAKAF PRODUKTIF
Umumnya kita mengenal wakaf berupa properti seperti tanah dan bangunan, namun demikian dewasa ini telah disepakati secara luas oleh para ulama bahawa salah satu bentuk wakaf dapat berupa uang tunai. Secara umum definisi wakaf tunai adalah penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya (substansi esensial wakaf). Sertifikat wakaf tunai merupakan semacam dana abadi yang diberikan oleh individu maupun lembaga muslim yang mana keuntungan dari pengelolaan dana tersebut akan digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Secara teknis, sertifikat wakaf tunai ini dapat dikelola oleh suatu badan investasi sosial tersendiri seperti halnya Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh atau dapat juga menjadi salah satu produk dari institusi/perbankan syariah yang ada.
Untuk lebih jelasnya tujuan sertifikat wakaf tunai adalah sebagai berikut:
1. Membantu dalam pemberdayaan tabungan sosial.
2. Melengkapi jasa perbankan sebagai fasilitator yang menciptakan Wakaf Tunai serta membantu pengelolaan wakaf yang mentransformasi tabungan sosial menjadi modal sosial.
3. Keuntungan pengelolaannya untuk masyarakat miskin.
4. Menciptakan kesadaran di kalangan orang-orang kaya mengenai tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat miskin.
5. Untuk membantu mengembangkan sumber modal sosial.
6. Untuk membantu pengembangan negara secara umum dan untuk menciptakan integrasi yang unik antara keamanan sosial dan kedamaian sosial.
Pengertian dan Landasan Syariah Sertifikat Wakaf Tunai Wakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab ‘waqafa’ itu menurut bahasa berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya
digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir, tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum. Dasar Hukum Wakaf diambil dari al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama:
Firman Allah: ” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran [3]: 92)
Sabda Rasul: “apabila manusia wafat, terputuslah amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan atau anak yang shaleh.”
(HR. Muslim). Para ulama menafsirkan sabda rasul ‘sedekah jariyah’ sebagai wakaf, bukan sebagai wasiat memanfaatkan harta.
Wakaf mulai dipraktekkan dalam masyarakat Islam sejak masa Rasulullah saw. diantara buktinya ialah wakaf Umar bin Khattab r.a.:
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, bahwa Umar bin Khattab mendapat sebidang tanah di Khaibar. Lalu Umar bin Khattab menghadap rasulullah untuk memohon petunjuk beliau tentang apa yang sepatutnya dilakukannya terhadap tanahnya tersebut. Umar berkata kepada rasulullah: ‘ya rasulullah, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar dan saya belum pernah mendapat harta lebih baik dari tanah di Khaibar itu. Karena itu saya memohon petunjuk rasulullah tentang apa yang sepatutnya saya lakukan pada tanah itu’. Rasulullah menjawab, ‘jika anda mau, tahanlah tanahmu itu dan anda sedekahkan’. Lalu Umar mensedekahkannya dan mensyaratkan bahwa tanah itu tidak boleh diwariskan. Umar salurkan hasil tanah itu buat orang-orang fakir, ahli familinya, membebaskan budak, orang orang yang berjuang fi sabilillah, orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan dan tamu. Pengurus wakaf itu sendiri, boleh makan dari hasil wakaf tersebut dalam batas-batas yang ma’ruf (biasa). Ia juga boleh memberi makan orang lain dari wakaf tersebut dan tidak
bertindak sebagai pemilik harta sendiri”. Sumber-sumber menyebutkan bahwa wakaf Umar bin Khattab itu adalah wakaf yang pertama dalam Islam. (Al-Malibary, Fathul Mu’in, bersama Syarahnya Al-Bakri, I’anatuththalibin, Kairo: Isa al-Halabi, III, hal. 158).
Imam Nawawi menarik beberapa kesimpulan penting dari hadits di atas, diantaranya:
a. Hadits ini menjadi dasar sahnya wakaf dalam Islam.
b. Harta wakaf tidak boleh dijual atau dihibahkan atau diwariskan
c. Syarat-syarat wakif (pemberi wakaf) perlu diperhatikan
d. Pentingnya memberikan dana melalui wakaf kepada kaum muslimin.
e.Pentingnya mengadakan musyawarah dengan orang yang pandai untuk menetapkan pemanfaatan suatu harta atau cara pengelolaan suatu kekayaan.
Ketentuan Wakaf dan Persyaratan Nadzir Pengelola Wakaf Terdapat empat syarat sahnya wakaf atau disebut juga sebagai rukun wakaf yaitu :
1. Mengenai orang yang melakukan perbuatan wakaf (al-wakif) hendaklah dalam keadaan sehat rohaninya dan tidak dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan di mana jiwanya tertekan.
2. Mengenai harta benda yang akan diwakafkan (al-mawquf) harus jelas wujudnya atau dzatnya, di samping harta itu bersifat tidak cepat habis. Artinya, bahwa harta itu tidak habis sekali pakai. Ia harus bersifat kekal dan dapat diambil manfaatnya untuk jangka
waktu yang kekal pula.
3. Mengenai sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf (al-mawquf ‘alaih) dapat dibagi menjadi dua macam: wakaf khairy dan wakaf dzurry. Wakaf khairy adalah wakaf di mana wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu tetapi untuk kepentingan umum. Sedangkan wakaf dzurry adalah wakaf di mana wakifnya membatasi sasaran wakafnya untuk pihak tertentu, yaitu keluarga keturunannya.
4. Mengenai bentuk yang perlu diperhatikan dalam menyatakan harta yang bersangkutan sebagai wakaf disebut sighah. Selanjutnya persoalan yang menyangkut siapa yang akan melakukan perawatan, pengurusan dan pengelolaan aset wakaf yang dalam istilah fikih dikenal dengan nadzir wakaf, atau mutawalli wakaf termasuk hal yang sangat krusial. Hal itu karena aset wakaf adalah amanah Allah yang terletak di tangan nadzir. Oleh sebab itu, nadzir adalah orang yang paling bertanggungjawab terhadap harta wakaf yang dipegangnya, baik terhadap harta wakaf itu sendiri maupun terhadap hasil dan upaya-upaya pengembangannya. Setiap kegiatan nadzir terhadap harta wakaf harus dalam pertimbangan kesinambungan harta wakaf untuk mengalirkan manfaatnya untuk kepentingan mawquf ‘alaih. Manfaat yang akan dinikmati oleh wakif sangat tergantung kepada nadzir, karena di tangan nadzirlah harta wakaf dapat terjamin kesinambungannya. Oleh karena begitu pentingnya kedudukan nadzir dalam perwakafan, maka pada diri nadzir perlu terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yaitu : telah baligh/berakal, mempunyai kepribadian yang dapat dipercaya (amanah), serta
mempunyai keahlian dan kemampuan untuk memelihara dan mengelola harta wakaf.
By : rumahzakat.org