Sabilulhuda, Yogyakarta: Makna Filosofis Di Balik Angka Jawa: Selawe, Seket, & Sewidak – Kalau kita berbicara soal budaya Jawa, hampir di setiap katanya itu selalu menyimpan makna yang tersembunyi di baliknya. Bukan hanya soal pepatah atau tembang, tapi bahkan dalam cara orang Jawa menyebut angka pun ada filosofi hidup yang mempunya makna mendalam.
Salah satunya bisa kita temukan pada penyebutan angka dua puluh lima, lima puluh, dan enam puluh, yang dalam bahasa Jawa sering kali kita dengan dengan kata selawe, seket, dan sewidak.
Sekilas Bahasa ini memang terdengar biasa saja, tapi di balik tiga kata itu, sebenarnya sebagai cara orang Jawa dalam memahami perjalanan hidup manusia. Mulai dari masa muda yang penuh semangat, menuju masa kedewasaan yang penuh dengan kesadaran, hingga akhirnya ia tiba pada masa untuk menenangkan diri dan siap tindak.
Asal Kata Likur Untuk Menemukan Tempat Duduk Kehidupan Manusia
Dalam bahasa Indonesia, bilangan dua puluhan biasanya diucapkan dua puluh satu, dua puluh dua, dan seterusnya. Tapi dalam bahasa Jawa, bilangan itu punya sebutan yang khas yaitu selikur, rolikur, telulikur, patlikur, selawe, nemlikur, pitulikur, wolulikur, sampai songolikur.
Orang Jawa zaman dulu percaya, bahwa kata likur itu berasal dari ungkapan lingguh ing kursi, yang artinya “duduk di kursi.” Filosofinya memang sederhana tapi maknanya sangat dalam. Pada usia dua puluhan, manusia akan mulai menemukan kursinya yaitu tempatnya manusia untuk berpijak di dunia.
Di masa inilah seseorang biasanya mulai menemukan jalan hidupnya, seperti karier, pasangan, tujuan, dan peran sosialnya. Maka tak heran jika seseorang itu sudah berusia dua puluhan mereka disebut masa lingguh, atau masa di mana mereka dapat menentukan arah.
Baca Juga:
Selawe Sebagai Puncak Asmara Dan Awal Dari Kehidupan Baru
Dari semua bilangan likuran, ada satu yang paling istimewa, yaitu angka dua puluh lima. Dalam bahasa Jawa, angka ini tidak disebut limang likur, tapi selawe.
Kata selawe memiliki dua makna yang sama-sama menarik.
- Pertama, selawe sering kali orang jawa mengartikan sebagai singkatan dari “seneng-senenge lanang lan wedok”. Yang berarti masa paling bahagia bagi laki-laki dan perempuan.
Saat seseorang itu berusia dua puluh lima, mereka dianggap sebagai puncaknya masa asmara. Dimana umur itu merupakan saat cinta mulai serius dan banyak orang memilih untuk menikah. Itulah sebabnya, orang Jawa menyebutnya usia ini sebagai masa dadi manten yaitu masa menjadi pengantin.
- Kedua, ada juga makna lain yang lebih tua dan filosofis. Dalam bahasa Jawa kuno, selawe di yakini berasal dari kata sa lawe yang berarti satu benang.
Orang zaman dulu sering memakai benang sebagai satuan untuk menghitung, seperti halnya kita mengenal selusin atau sejinah. Satu lawe berarti dua puluh lima, dua lawe (satu iket) berarti lima puluh, dan tiga lawe (telung benang) berarti tujuh puluh lima.
Dari sini kita bisa melihat betapa orang Jawa dan Bali pada zaman dulu mereka itu sangat simbolis sekali. Mereka mengibaratkan hidup seperti benang atau sesuatu yang halus tapi kuat, yang bisa mengikat dan juga dapat menyatukan.
Maka saat seseorang di usia selawe, ia akan mulai menenun hidupnya sendiri yaitu mereka mengikat cinta, membangun rumah tangga, dan mulai menata hidup untuk masa depan.
Seket Yaitu Saat Mulai Menutup Kepala Dan Membuka Hati
Setelah masa muda yang penuh gairah, perjalanan hidup manusia berlanjut pada usia lima puluhan, atau dalam bahasa Jawa disebut seket. Secara logika, angka lima puluh mestinya disebut limang puluh, tapi orang Jawa lebih suka menyebutnya seket.
Ada makna yang halus di balik kata ini. Kata Seket di percaya berasal dari ungkapan seneng kethunan, yang berarti suka memakai kethu atau penutup kepala seperti udeng atau kopiah.
Baca Juga:
Pada usia ini, rambut sudah mulai memutih, kepala mulai botak, dan seseorang mulai sering menutup kepalanya. Entah itu karena penampilan, bisa juga karena kesadaran spiritual yang makin kuat.
Dalam pandangan orang Jawa, kethu atau kopiah bukan hanya sebagai penutup kepala, tapi juga sebagai simbol kedekatan dengan Tuhan. Usia lima puluh itu dianggap sebagai masa untuk memperbanyak ibadah, menentramkan batin, dan mulai lebih serius memikirkan kehidupan setelah mati.
Kalau di masa selawe ini manusia masih sibuk membangun dunia, maka ketia di masa seket manusia diajak untuk membangun jiwanya.
Sewidak Waktunya Pulang Dengan Tenang
Ketika seseorang sudah memasuki usia enam puluh, orang Jawa menyebutnya sewidak. Kata ini berasal dari “sejatine wis wayahe tindak,” yang artinya “sesungguhnya sudah waktunya pergi.”
Pergi di sini bukan dalam arti menyerah, tapi lebih pada kesiapan batin untuk menerima bahwa hidup memang berjalan menuju akhir.
Pada tahap ini, manusia sudah matang lahir maupun batin. Ia sudah melewati masa mencari tempat, masa mencintai, dan masa menenangkan diri. Sekarang waktunya untuk bersiap pulang, dengan hati yang tenang dan jiwa yang damai.
Filosofi sewidak ini menjadi pengingat kepada kita semua bahwa hidup bukan tentang menolak tua, tapi tentang bagaimana kita bisa menerima waktu dengan penuh kesadaran.
Bahasa Yang Menyimpan Kearifan
Menariknya, istilah likur ternyata sudah di kenal sejak zaman Jawa Kuno, bahkan tercatat dalam kitab Adiparwa yang sudah berusia lebih dari seribu tahun.
Namun kata selawe dan seket ini baru muncul kemudian, mungkin karena kebiasaan rakyat yang menyederhanakan bahasa dan menautkannya dengan makna kehidupan sehari-harinya.
Hal ini menunjukkan bahwa bagi orang Jawa, bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tapi juga wadah untuk menyimpan nilai dan filosofi. Karena bagi orang jawa setiap kata punya ruh, dan setiap angka punya ajaran.
Baca Juga Artikel Berikut: Blangkon Jogja : Filosofi dan Makna yang Tersirat













