
Makna filosofis Blangkon Yogyakarta – Blangkon adalah penutup kepala tradisional yang di kenakan oleh kaum pria dalam budaya Jawa. Di antara berbagai varian yang ada, blangkon gaya Yogyakarta menempati posisi penting sebagai simbol keanggunan, kebijaksanaan, dan kearifan lokal.
Bukan sekadar penutup kepala, blangkon merupakan manifestasi dari filosofi hidup orang Jawa yang penuh dengan tata krama, spiritualitas, dan keharmonisan antara manusia dengan alam, sesama, dan Tuhannya.
Asal-usul dan Sejarah Blagkon
Blangkon dipercaya berasal dari kata “belangkon,” yang merupakan turunan dari kata “blangko” atau “blangkonan” yang berarti bentuk dasar, cetakan, atau pola. Menurut cerita rakyat dan naskah-naskah kuno, blangkon telah digunakan sejak zaman Kerajaan Mataram, bahkan lebih awal.
Pada masa Kesultanan Yogyakarta, penggunaan blangkon di lembagakan dalam tata busana abdi dalem dan priyayi keraton. Setiap bentuk blangkon menunjukkan status sosial, asal daerah, hingga etiket tertentu dalam struktur masyarakat Jawa.
Baca Juga:

Blangkon! Budaya Jawa Yang Penuh Makna https://sabilulhuda.org/blangkon-budaya-jawa-yang-penuh-makna/
Ciri Khas Blangkon Yogyakarta
Blangkon Yogyakarta memiliki bentuk yang khas, yaitu bagian belakangnya menggembung membulat, di kenal dengan istilah Mondholan. Ini membedakannya dari blangkon gaya Surakarta (Solo) yang bagian belakangnya pipih atau rata. Mondholan ini tidak hanya elemen estetik, tetapi juga menyimpan simbolisme mendalam yang akan di bahas lebih lanjut.
Blangkon Yogyakarta biasanya terbuat dari kain batik tulis halus, dengan motif-motif khas seperti parang, kawung, atau ceplok. Kain di bentuk mengikuti pola tertentu dan di jahit secara presisi agar membentuk topi dengan garis lengkung halus, mengikuti bentuk kepala pemakainya.
Bagian-Bagian Blangkon
Berikut ini adalah nama bagian-bagian utama dari blangkon Yogyakarta:
1. Irisan (Bagian Depan)
Ini adalah bagian depan dari blangkon yang membingkai dahi. Irisan di rancang agar presisi melingkar dan pas di dahi, menciptakan kesan bersih dan tertata. Dalam filosofi Jawa, irisan melambangkan keteraturan berpikir, kemantapan batin, dan keteguhan niat.
2. Cemeng (Warna Dasar Kain)
Cemeng atau warna gelap yang mendominasi blangkon (biasanya hitam atau biru tua) melambangkan keteduhan hati, kerendahan, dan kesederhanaan. Warna ini juga di percaya menyerap hawa negatif dan menetralisir emosi.
3. Mondholan (Tonjolan di Belakang)
Mondholan merupakan bagian paling mencolok dari blangkon Yogyakarta. Ini adalah tonjolan bundar yang konon melambangkan simpul atau “ikat kepala” pada masa dahulu. Mondholan menyimbolkan “wasesa segara” — pengendalian diri, menyimpan hasrat, dan menjaga rahasia.
Filosofinya: “Sing bisa nyimpen punggung, bakal dadi pinunjul” (Siapa yang mampu menyimpan beban di punggung, dialah yang akan unggul).
4. Pengikat Dalam (Tali dalam atau sabuk)
Bagian dalam blangkon memiliki ikatan yang menguatkan posisinya di kepala. Ini melambangkan pentingnya kekokohan prinsip dan fondasi spiritual dalam menjalani hidup. Tanpa ikatan yang kokoh, bentuk luar akan mudah goyah.
5. Tapih/Tilinga (Penutup Samping Telinga)
Bagian samping yang menutupi telinga kiri dan kanan di sebut tapih. Filosofinya adalah: seseorang hendaknya mendengar lebih banyak dan berbicara secukupnya. Dalam budaya Jawa, eling lan waspada (ingat dan waspada) sering di kaitkan dengan kemampuan mendengar dan memahami dengan seksama.
Makna Filosofis Blangkon
Blangkon bukan sekadar busana, tetapi merupakan cerminan dari ajaran-ajaran luhur Jawa. Berikut adalah makna filosofis yang terkandung dalam blangkon Yogyakarta:
1. Pengendalian Diri (Nafsu dan Emosi)
Mondholan di belakang melambangkan simpul nafsu dan keinginan duniawi. Dalam falsafah Jawa, manusia yang baik adalah mereka yang mampu mengikat dan menundukkan hawa nafsunya, bukan sebaliknya. Blangkon mengingatkan pemakainya untuk senantiasa menahan diri, tidak gegabah, dan hidup dalam batas.
2. Keselarasan Lahir dan Batin
Blangkon di buat sedemikian rupa agar tampak seimbang di kepala. Ini menyiratkan bahwa manusia harus menjaga keseimbangan antara dunia luar dan dunia batin. Pakaian bukan hanya soal penampilan, tetapi juga mencerminkan kondisi jiwa.
3. Kesederhanaan dan Keanggunan
Meskipun blangkon adalah busana khas kaum bangsawan dan priyayi, bentuknya tidak mencolok. Inilah simbol dari ajaran alusing budi — kesopanan, ketenangan, dan kehalusan perilaku yang menjadi ciri orang Jawa sejati.
4. Kebijaksanaan dalam Bertutur dan Bertindak
Dengan penutup di sisi telinga dan bentuk depan yang menekan sedikit bagian alis, blangkon mengajarkan agar seseorang tidak tergesa-gesa dalam menilai, berbicara, atau bertindak. Harus selalu ada ruang untuk berpikir, merenung, dan bertindak dengan penuh tanggung jawab.
5. Identitas dan Kearifan Lokal
Blangkon menunjukkan identitas kebudayaan Yogyakarta. Dalam setiap detailnya, tersimpan narasi sejarah, estetika, dan nilai-nilai sosial. Ini menjadi penanda bahwa budaya adalah warisan yang harus di rawat, di kenakan dengan bangga, dan di jaga maknanya dari generasi ke generasi.
Blangkon dalam Kehidupan Sosial
Di Yogyakarta, blangkon di pakai dalam berbagai kesempatan: dari upacara adat, pernikahan, hingga penampilan seni dan kenegaraan. Setiap golongan abdi dalem memiliki model dan motif blangkon tersendiri sesuai dengan status dan fungsinya.
Bahkan, dalam pernikahan adat Jawa, blangkon menjadi simbol “mahkota laki-laki” yang menunjukkan bahwa calon suami harus menjadi pemimpin yang bijak, tegas, dan penuh cinta.
Blangkon juga di kenakan oleh para dalang wayang, penari, dan seniman sebagai penanda keterikatan pada nilai-nilai tradisi. Saat di kenakan oleh seorang dalang, blangkon menyimbolkan otoritas untuk “membawa cerita kehidupan” dengan kebijaksanaan, bukan hanya sekadar hiburan.
Budaya yang Harus Dijaga
Blangkon Yogyakarta adalah pelengkap pakaian tradisional merupakan simbol warisan spiritual dan budaya yang kaya akan makna. Dalam setiap lipatan kainnya, tersimpan filosofi luhur tentang manusia, Tuhan, dan kehidupan. Ia mengajarkan ketenangan, kesabaran, keseimbangan, dan pengendalian diri — nilai-nilai yang justru semakin relevan di tengah dunia modern yang cepat dan penuh gejolak.
Sebagai generasi penerus, mengenakan dan memahami blangkon bukan hanya bentuk kebanggaan, tapi juga sebuah bentuk tanggung jawab untuk menjaga jati diri dan martabat budaya. Karena siapa yang mengenakan blangkon dengan hati, sedang membawa serta doa dan kebijaksanaan para leluhur yang dahulu menenunnya dengan cinta.
Baca Juga Artikel Berikut: Blangkon Jogja : Filosofi dan Makna yang Tersirat