Makna Filosofi Dari Ungkapan Jawa “Rai Gedhek” Tentang Rasa Malu Dan Adab

Ilustrasi bergaya tradisional menampilkan pria Jawa mengenakan blangkon dan baju cokelat dengan ekspresi datar di depan dinding bambu anyaman, menggambarkan makna filosofi “Rai Gedhek” tentang rasa malu dan adab.
“Rai Gedhek” sebuah Ungkapan Jawa yang melambangkan seseorang yang kehilangan rasa malu dan kesadaran batin. Dalam budaya Jawa, rasa malu bukan kelemahan, melainkan cermin kehormatan dan adab manusia.

Sabilulhuda, Yogyakarta: Makna Filosofi Dari Ungkapan Jawa “Rai Gedhek”Tentang Rasa Malu Dan Adab – Kalau kita berbicara soal bahasa Jawa, kita akan menemukan banyak ungkapan yang unik tapi mengandung sarat makna.

Salah satunya adalah ungkapan  Rai Gedhek, sebuah istilah yang mungkin terdengar lucu di telinga, tapi sesungguhnya menyimpan pesan moral kepada semua orang tentang rasa malu, harga diri, dan kesadaran batin manusia Jawa.

Asal Kata Rai Gedhek

Secara harfiah, Rai dalam bahasa Jawa berarti wajah atau muka, sedangkan gedhek berarti dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Di masa lalu, rumah masyarakat Jawa kebanyakan masih menggunakan gedhek sebagai dinding rumah mereka.

Bahannya pun juga sederhana, hanya terbuat dari bambu yang dianyam, kemudian menjadi sebuah simbol kesederhanaan hidup orang Jawa zaman dulu.

Namun gedhek juga punya sifat yang khas yaitu keras, datar, dan tanpa ekspresi. Maka dari sifat itulah muncul ungkapan rai gedhek, yang menggambarkan seseorang yang wajahnya keras dan datar seperti dinding bambu, alias orang yang tidak tahu malu.

Dalam bahasa Indonesia, istilah ini bisa kita samakan dengan muka tembok yaitu orang yang tetap tenang dan cuek, bahkan ketika sudah jelas ia berbuat salah.

Makna Filosofinya Menurut Orang Jawa

Dalam pandangan orang Jawa, rasa malu (isin) adalah bagian terpenting dari laku hidupnya. Bukan malu dalam artian minder atau takut, tapi mereka itu malu yang menjadi tanda kesadaran moral dan perilaku sopan santun.

Maka orang rang Jawa itu percaya, isin iku drajate wong urip (rasa malu adalah martabatnya seorang manusia).

Karena itu, ketika seseorang sudah di cap rai gedhek, sebenarnya ia sedang diingatkan bahwa dirinya sudah kehilangan rasa malu. Wajahnya juga diibaratkan seperti tembok yang keras dan tak tersentuh, tidak bisa merasakan salah atau bersalah.

Orang yang sudah rai gedhek berarti mereka sudah tidak lagi eling (ingat diri) dan ora waspada (tidak peka terhadap sekitar). Sehingga mereka itu hidup seolah-olah tak ada batas etika yang perlu dijaga.

Rai Gedhek Sebagai Cermin Kehidupan

Kalau kita perhatikan lebih dalam lagi, ungkapan ini bukan hanya sindiran secara sosial, tapi juga sebuah peringatan batin. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering menemui atau bahkan tanpa sadar kita sendiri yang menjadi sosok dengan rai gedhek.

Misalnya, ketika seseorang itu berbuat salah tapi tetap membela diri. Atau orang yang tidak menepati janjinya, tapi mereka masih bisa tersenyum seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dalam kacamata budaya Jawa, sikap seperti ini dianggap sebagai ngelantur saka laku yaitu mereka keluar dari jalur etika yang mestinya mereka jaga.

Orang Jawa tidak akan menegur dengan emosi atau kekerasan, tapi mereka cukup dengan menyebut dengan, “Wah, rai gedhek tenan kowe!”.  Sebuah cara yang halus untuk menegur, agar seseorang itu dapat sadar dan kembali lagi untuk menundukkan egonya.

Pelajaran Tentang Rasa Malu Dan Kesadaran Diri

Rai Gedhek sebenarnya mengingatkan kita tentang pentingnya ngajeni awakke dhewe, yaitu menghormati diri kita sendiri. Karena orang yang tahu malu, mereka tahu juga batas batas perilakunya.

Dalam filosofi Jawa, rasa malu adalah sebagai penjaga moralitas batin. Sehingga ia menjadi pagar dirnya agar seseorang itu tidak bertindak semaunya, tidak merendahkan orang lain, dan tidak melupakan adab.

Ketika rasa malu itu hilang, manusia bisa kehilangan arah hidupnya. Ia mungkin masih punya ilmu, harta, bahkan kekuasaan, tapi tanpa adanya rasa isin, semua itu tidak ada nilainya.

Baca Juga:

Maka orang Jawa mengatakan,

“Wong ora duwe isin, iku wis ilang wirang lan drajate.”
Artinya, orang yang tak punya malu, berarti sudah kehilangan kehormatan dan derajatnya.

Maknanya Di Zaman Sekarang

Di era modern seperti sekarang ini, istilah rai gedhek mungkin justru terasa semakin relevan. Dunia kini semakin terbuka, tapi kadang dengan keterbukaan itu, sehingga membuat orang kehilangan batas antara pantas dan tidak pantas.

Ada yang berbuat salah lalu mereka memamerkannya di media sosial dengan bangga. Ada pula yang tanpa ragu menipu, berbohong, atau mempermalukan orang lain di depan publik.

Padahal, bagi orang Jawa, adab itu selalu lebih tinggi daripada kepintaran. Dan adab itu lahir dari rasa malu, bukan karena takut dilihat orang, tapi karena mereka sadar bahwa setiap tindakan itu mencerminkan nilai dari diri kita.

Menjadi Manusia Yang Eleng Lan Waspada

Pada akhirnya, falsafah di balik kata Rai Gedhek ini mengajarkan satu hal kepada kita semua yang penting:

  • Jangan biarkan wajahmu menjadi seperti tembok, datar, keras, dan tak tersentuh oleh rasa salah.
  • Orang Jawa percaya, hidup yang sejati adalah hidup yang eling lan waspada, mereka selalu ingat diri, dan peka terhadap sekitarnya.
  • Rasa malu bukan penghalang, tapi cermin kesadaran batin yang membuat kita tetap rendah hati, sopan, dan tahu tempat.

Oleh karena itu, ketika kita mendengar ungkapan rai gedhek, kita jangan hanya menertawakannya. Jadikan itu sebagai cermin untuk melihat diri kita sendiri:

Apakah kita masih punya isin, atau wajah kita perlahan-lahan sudah menjadi gedhek, yaitu keras dan tak tersentuh oleh hati nurani?

Baca Juga Artikel Berikut: Blangkon Jogja : Filosofi dan Makna yang Tersirat