adat  

Makna Dari Tradisi Saparan Bekakak Gamping

Makna Dari Tradisi Saparan Bekakak Gamping
Makna Dari Tradisi Saparan Bekakak Gamping
Makna Dari Tradisi Saparan Bekakak Gamping
Makna Dari Tradisi Saparan Bekakak Gamping

Makna Dari Tradisi Saparan Bekakak Gamping – Di lereng Gunung Gamping, Sleman, setiap bulan Sapar dalam kalender Jawa. Masyarakat Ambar ketawang menggelar upacara yang bukan sekadar tradisi tahunan, Saparan Bekakak.

Ia adalah napas hidup dari sebuah kisah cinta, pengabdian, dan penghormatan terhadap leluhur. Lebih dari sekadar ritual budaya. Saparan Bekakak adalah jembatan spiritual yang menyatukan masa lalu dan masa kini, dunia yang tampak dan yang tak kasat mata.

Asal Usul dan Makna Spiritual Dari Tradisi Saparan Bekakak

Upacara ini berakar dari kisah tragis dan heroik Kyai dan Nyai Wirosuto, sepasang abdi dalem Sultan Hamengkubuwono I. Ketika pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta pasca Perjanjian Giyanti.

Pasangan ini memilih tetap tinggal di Ambarketawang, dekat Gunung Gamping, tempat Keraton lama pernah berdiri. Mereka menjalani kehidupan sederhana sebagai penambang batu kapur bersama keluarganya.

Namun takdir berkata lain. Suatu hari, tanah longsor melanda kawasan tambang dan menelan mereka sekeluarga. Jasad mereka tidak pernah ditemukan, dan masyarakat pun mempercayai bahwa mereka telah “menyatu” dengan Gunung Gamping.

Baca Juga:

Tragedi ini menyentuh hati Sultan. Sebagai bentuk penghormatan dan permohonan keselamatan bagi warga setempat, Sultan memerintahkan agar diadakan upacara setiap bulan Sapar, khususnya pada hari Jumat Kliwon hari yang diyakini sakral dalam kepercayaan Jawa.

Gunung Gamping pun dianggap keramat. Ia bukan lagi sekadar bukit batu, tapi juga lambang kehadiran ruh Kyai dan Nyai Wirosuto yang senantiasa menjaga wilayah itu. Dalam upacara Saparan Bekakak, masyarakat tidak hanya mengenang pengorbanan mereka.

Tetapi juga menyatakan syukur dan harapan akan keselamatan, keberkahan, dan kelestarian hidup bersama alam dan leluhur.

Rangkaian Prosesi

Rangkaian upacara Saparan Bekakak kaya akan simbolisme dan spiritualitas. Ritualnya menggambarkan percampuran antara nilai adat, keyakinan Jawa, dan budaya gotong royong yang mempererat masyarakat.

1. Midodareni Bekakak

Malam sebelum puncak acara di sebut Midodareni. Tradisi ini mengacu pada ritual menjelang pernikahan dalam adat Jawa. Dua pasang boneka bekakak yang terbuat dari ketan dan santan, di bentuk menyerupai pengantin laki-laki dan perempuan, di hias menyerupai pengantin Jawa.

Satu pasang bergaya Yogyakarta dan satu lagi bergaya Surakarta, melambangkan persatuan budaya Mataraman yang sempat terpecah secara politik namun tetap satu dalam tradisi dan spiritualitas.

Malam itu di gelar tirakatan dan tahlilan, di iringi doa dan pertunjukan kesenian rakyat, seperti wayang kulit atau macapat. Suasana ini mencerminkan permohonan restu dari para leluhur dan para “bidadari” (simbol kesucian) yang di percaya turut hadir memberi berkah.

2. Kirab Budaya

Keesokan harinya, pagi-pagi benar, di mulailah kirab budaya. Boneka bekakak di arak bersama sesaji, gunungan hasil bumi. Serta barisan prajurit bergaya keraton, bregada rakyat, ogoh-ogoh lucu. Bahkan personifikasi makhluk mistis seperti genderuwo yang justru memberi semarak khas.

Kirab di mulai dari Balai Desa Ambar ketawang menuju Gunung Gamping, di iringi irama gamelan dan sorak sorai warga.

Prosesi ini bukan sekadar tontonan, melainkan simbol perjalanan ruh pengorbanan menuju tempat keramat. Setiap langkah dalam kirab adalah bentuk penghormatan dan doa bersama dari masyarakat, dari yang muda hingga tua.

3. Penyembelihan Bekakak

Tiba di lokasi sakral, boneka bekakak di sembelih secara simbolis. Leher boneka di gores, dan juruh—sirup gula merah pekat—mengalir dari dalamnya, menyerupai darah. Simbol ini tidak di maksudkan sebagai kekerasan, melainkan perlambang pengorbanan tulus dan pengabdian yang mendalam dari Kyai dan Nyai Wirosuto kepada tanah ini.

Potongan bekakak kemudian di bagikan kepada warga dan tamu. Banyak yang meyakini bahwa bagian dari bekakak membawa berkah, keselamatan, dan kelancaran rezeki.

4. Sugengan Ageng

Upacara di tutup dengan kenduri besar atau sugengan ageng. Masyarakat berkumpul menikmati makanan bersama, saling mendoakan, dan mengikat kembali tali persaudaraan. Doa keselamatan dipanjatkan, baik bagi arwah Kyai dan Nyai Wirosuto maupun bagi seluruh warga desa.

Inilah puncak dari rasa syukur kolektif, bahwa kehidupan masih terus berjalan dalam lindungan spiritual.

Nilai Moral dan Budaya

Saparan Bekakak bukan sekadar rangkaian kegiatan seremonial. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang membentuk karakter masyarakat Jawa, khususnya di wilayah Sleman:

Penghormatan kepada Leluhur

Ritual ini mengajarkan pentingnya menghormati mereka yang telah berjasa, yang memilih jalan pengabdian tanpa pamrih. Nilai ini menciptakan ikatan spiritual antargenerasi.

Kesetiaan dan Pengabdian

Kisah Kyai dan Nyai Wirosuto mencerminkan kesetiaan yang tak tergoyahkan kepada tanah kelahiran dan nilai-nilai hidup yang luhur. Mereka memilih tetap tinggal dan bekerja keras, alih-alih mengikuti kemudahan hidup di kota.

Kebersamaan dalam Doa dan Harapan

Upacara ini menumbuhkan rasa gotong royong dan persaudaraan yang erat. Semua unsur masyarakat di libatkan—dari anak-anak hingga tetua adat, dari seniman lokal hingga tokoh agama.

Pelestarian Budaya Jawa

Tradisi ini memperkuat identitas budaya masyarakat Jawa yang kaya akan simbolisme, spiritualitas, dan kesantunan. Simbol-simbol seperti bekakak, kirab, juruh, hingga sugengan adalah bagian dari sistem makna yang di wariskan secara turun-temurun.

Warisan Budaya Tak benda Indonesia

Pada tahun 2015, Saparan Bekakak resmi di tetapkan sebagai Warisan Budaya Tak benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pengakuan ini bukan hanya soal dokumentasi, tetapi juga apresiasi terhadap warisan nilai, spiritualitas, dan kreativitas lokal yang terus hidup dan berkembang.

Penetapan ini juga membawa harapan agar generasi muda tidak melupakan akarnya. Bahwa di balik semarak festival dan simbol-simbol unik, terdapat kisah cinta sejati, pengabdian tanpa syarat, dan penghormatan mendalam kepada alam serta leluhur.

Hidup yang Terhubung dalam Tradisi

Saparan Bekakak Gamping adalah pengingat bahwa tradisi bukan sekadar nostalgia. Ia adalah hidup yang terus bergerak—terhubung oleh cinta, pengabdian, dan kesadaran akan sesuatu yang lebih besar dari diri kita.

Di tengah zaman yang cepat dan hiruk-pikuk modernitas, tradisi seperti ini mengajarkan kita untuk kembali menyentuh tanah, menatap langit, dan merenungi makna hidup dalam kebersamaan dan spiritualitas.

Gunung Gamping bukan hanya saksi bisu, tetapi juga penjaga nilai yang tak lekang oleh waktu. Dan Kyai serta Nyai Wirosuto bukan hanya nama dalam sejarah, tapi jiwa yang hidup dalam denyut masyarakat Ambarketawang.

Baca Juga: Melestarikan Warisan Budaya Dengan Jamasan

Karena sejatinya, cinta dan pengorbanan yang tulus akan selalu abadi dalam tanah, dalam ritual, dan dalam ingatan generasi yang mencintai budayanya.

Oleh: Ki Pekathik