Krisis Ekonomi 1997-1998: Jalan Terjal Menuju Reformasi – Di penghujung tahun 1996, perekonomian Indonesia berada di puncak kejayaan. Hampir semua indikator makro ekonomi menunjukkan hasil yang gemilang:
pertumbuhan ekonomi tinggi, inflasi terkendali, investasi mengalir deras, ekspor meningkat pesat, kemiskinan berkurang, dan cadangan devisa negara terus bertambah. Lembaga keuangan internasional pun memuji prestasi ini.
Pada tahun 1996, tingkat kemiskinan turun drastis menjadi hanya 11% dari sebelumnya sekitar 60% di awal pemerintahan Soeharto. Indonesia saat itu optimis menyambut era tinggal landas sebuah masa depan yang diyakini akan membawa negara ini setara dengan negara maju.
Namun, semua bayangan indah itu runtuh hanya dalam hitungan bulan.

Awal Mula Terjadinya Krisis Di Indonesia
Memasuki 1997, ekonomi Indonesia tampak masih stabil. Meski tanda-tanda gelembung ekonomi mulai terasa, derasnya aliran modal asing dan tren kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan membuat situasi terlihat aman.
Tapi di balik itu, pondasi ekonomi rapuh. Utang luar negeri membengkak, sistem perbankan lemah, tata kelola buruk, biaya ekonomi tinggi, dan stabilitas politik rapuh akibat maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Krisis dimulai di Thailand, lalu merembet ke berbagai negara Asia, termasuk Indonesia. Investor asing mulai menarik dananya, menyebabkan nilai tukar rupiah jatuh. Depresiasi rupiah semakin parah dari bulan ke bulan pada paruh kedua 1997.
Menurut Bank Dunia, nilai rupiah merosot 10,7% pada Juli 1997, lalu 25,7% pada Agustus, 39,8% pada September, hingga 109,6% pada Desember. Ketidakstabilan ini memicu kepanikan.
Bantuan IMF Dan Resep Pahit
Pada 13 Oktober 1997, pemerintah meminta bantuan International Monetary Fund (IMF). IMF menjanjikan pinjaman sebesar 43 miliar dolar AS secara bertahap, dengan syarat Indonesia mengikuti Resep mereka yang tertuang dalam Letter of Intent. Salah satu langkah awalnya adalah menutup 16 bank bermasalah.
Alih-alih menenangkan pasar, kebijakan ini justru membuat deposan panik dan menarik simpanan mereka. Krisis likuiditas pun terjadi. Banyak dana yang ditarik digunakan untuk berspekulasi di pasar valuta asing, semakin memperburuk nilai rupiah.
Baca Juga:

Perjalanan Panjang Soeharto: Dari Supersemar Hingga Lengser Dari Jabatan Presiden https://sabilulhuda.org/perjalanan-panjang-soeharto-dari-supersemar-hingga-lengser-dari-jabatan-presiden/
Situasi semakin memburuk pada Desember 1997 ketika beredar rumor tentang kesehatan Presiden Soeharto. Pasar merespons negatif APBN 1998 yang dianggap tidak realistis. Hanya dalam tiga minggu di Januari 1998, rupiah anjlok dari Rp4.850 menjadi Rp13.000 per dolar AS, bahkan sempat menyentuh Rp17.000. Harga kebutuhan pokok pun melambung tinggi.
Krisis Ekonomi Memicu Krisis Politik
Krisis ekonomi ini menjadi pemicu utama runtuhnya Orde Baru. Di tengah inflasi tinggi dan kelangkaan bahan pokok, rakyat merasakan langsung dampak krisis. Ketidakadilan di bidang politik, ekonomi, dan hukum yang selama ini tertutup mulai terlihat jelas.
Sebelum krisis mencapai puncaknya, gelombang perlawanan terhadap rezim Soeharto sudah muncul. Puncaknya adalah peristiwa 27 Juli 1996, ketika kantor PDI yang pro-Megawati di serbu. Peristiwa ini memicu represi besar-besaran terhadap kelompok pro demokrasi.
Seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Serikat Tani Nasional (STN), Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker), dan lainnya.
Penangkapan, penggerebekan kampus, pembubaran diskusi, hingga penculikan aktivis menjadi pemandangan biasa. Namun, represi tidak mampu membungkam gerakan rakyat.
Membangun Jaringan Dan Perlawanan Bawah Tanah
Memasuki 1997, gerakan mahasiswa dan rakyat mulai bangkit perlahan. Mereka melakukan konsolidasi dan membangun jaringan perlawanan bawah tanah. Aksi grafiti di dinding kota, penyebaran selebaran di kampus, kawasan industri, dan pemukiman menjadi cara untuk menyuarakan tuntutan:
naikkan upah buruh, berikan tanah kepada petani, turunkan harga, cabut UU Politik yang mengekang, hapus Dwifungsi ABRI, dan gulingkan Soeharto.
Saat Pemilu 1997 digelar, aktivis menggaungkan slogan “Boikot Pemilu Orba” dan “Gulingkan Soeharto”. Meski bergerak dalam bayang-bayang represi, semangat perubahan terus menyala.

Menuju Reformasi 1998
Tekanan ekonomi, politik, dan sosial akhirnya bertemu pada 1998. Krisis ekonomi menghantam habis-habisan, sementara gerakan mahasiswa semakin berani turun ke jalan. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota, puncaknya pada Mei 1998 di Jakarta yang di warnai kerusuhan dan tragedi kemanusiaan.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa. Masa Reformasi pun di mulai, membawa harapan baru bagi demokrasi Indonesia.
Artikel singkat ini tidak hanya merangkum peristiwa krisis ekonomi 1997-1998, tetapi juga menunjukkan bagaimana masalah ekonomi dapat memicu perubahan politik besar pada waktu itu.
Sejarah ini menjadi pelajaran berharga bahwa pertumbuhan ekonomi yang terlihat stabil di permukaan bisa runtuh jika pondasi politik, hukum, dan tata kelola tidak kuat.
Baca Juga: Eny Yaqut Dinobatkan sebagai Tokoh Perempuan Sumber Inspirasi 2021












