Sabilulhuda, Yogyakarta: Kita Semua Pendosa Yang Pilih-Pilih! Refleksi Tajam Dari Syams Tabrizi – Kita seringkali merasa yang paling benar. Melihat kesalahan orang lain, lalu buru-buru kita menghakiminya. Padahal kalau mau jujur, kita pun sama, yaitu manusia yang tak lepas dari dosa.
Penyair dan guru spiritual asal Persia, Syams Tabrizi, pernah menulis kalimat yang menampar kesadaran banyak orang:
“Kita semua adalah pendosa yang pilih-pilih. Kita memilih dosa yang nyaman bagi kita, lalu menghakimi dosa orang lain yang tidak kita sukai.”
“Kita pandai menutup dosa sendiri dengan alasan, tapi cepat menghakimi dosa orang lain dengan kebencian.”
Kalimat ini sederhana, tapi tajam. Ia membongkar kenyataan bahwa banyak dari kita yang sebenarnya hidup dalam kemunafikan yang lembut, menoleransi kesalahan sendiri, tapi kita sendiri tak tahan melihat kesalahan orang lain.
Dosa Yang Nyaman Dan Dosa Yang Mengganggu
Fenomena ini mudah sekali kita jumpai. Ada orang yang mencibir perokok, tapi mereka tak merasa bersalah saat menyebarkan gosip. Ada pula dari mereka yang mencela orang jarang ke tempat ibadah, tapi dengan santainya mereka berbohong dalam pekerjaan.
Baca Juga:

TIGA UJIAN INTEGRITAS MANUSIA https://sabilulhuda.org/tiga-ujian-integritas-manusia/
Kita seperti sudah punya daftar dosa pribadi, mana yang masih bisa kita toleransi, dan mana yang pantas dikutuk. Padahal, dosa ya tetap dosa. Tidak peduli besar atau kecil, nyaman atau tidak nyaman.
Inilah ironinya dari manusia yang modern, mereka sibuk mengatur moral orang lain, tapi buta terhadap kaca diri mereka sendiri.
Cermin Kejujuran Diri Yang Terabaikan
Kutipan Syams Tabrizi ini seharusnya menjadi alarm kejujuran batin. Karena sejatinya, dengan mengakui bahwa kita pun pendosa bukan sebagai tanda kelemahan, tetapi merupakan bentuk kebijaksanaan.
Saat seseorang itu sadar dirinya tidak sempurna, maka ia akan cenderung lebih rendah hati. Ia tidak tergesa-gesa dalam menghakimi, tapi berusaha untuk memahami. Dan dari sanalah empati itu dapat tumbuh.
Sayangnya, banyak orang yang lebih suka terlihat suci ketimbang berproses menjadi lebih baik. Ego menjadi tembok yang menutup pintu untuk introspeksi diri.
Kemunafikan Yang Tak Kita Sadari
Sifat pilih-pilih dosa ini sejatinya adalah bentuk ego yang terselubung. Kita ingin dianggap lebih baik, padahal hanya sedang menutupi kelemahan sendiri. Kita mencaci orang yang salah di bidang A, tapi lupa bahwa kita juga sering khilaf di bidang B.
Inilah bentuk standar ganda yang kerap membuat hubungan antar manusia menjadi renggang. Sebab, di balik semua penilaian itu, tersembunyi rasa superior yang halus tapi nyata.
Baca Juga:
Manusiawi Bukan Berarti Lemah
Menyadari bahwa kita semua pendosa bukan sebagai ajakan untuk pasrah. Justru itu adalah langkah awal kita untuk menuju perubahan. Kesadaran ini akan membuat kita lebih berhati-hati dalam bertindak, lebih lembut dalam menasihati, dan lebih hangat dalam memahami.
Seperti yang diajarkan para sufi, termasuk murid Syams, Jalaludin Rumi:
“Jalan spiritual bukan tentang menjadi suci tanpa cela. Tapi tentang jujur pada diri sendiri dan terus berusaha untuk memperbaiki diri”.
Dari Menghakimi Ke Memahami
Kita hidup di zaman di mana jari telunjuk itu lebih cepat bekerja daripada hati yang memahami. Padahal, dunia ini tidak butuh lebih banyak hakim moral. Tetapi dunia saat ini membutuhkan lebih banyak manusia yang mau bercermin.
Karena seperti kata Syams Tabrizi:
- “Kita semua pendosa. Bedanya hanya pada dosa mana yang kita anggap nyaman.”
 
Maka sebelum menunjuk orang lain, mungkin sebaiknya kita mulai bertanya:
- “Dosa apa yang selama ini sedang aku nikmati dengan tenang?”
 
Baca Juga: “Kasih dan Pengampunan Allah”














