Kisah Si Pitung! Jawara dari Kampung Rawabelong – Di tanah Betawi tempo doeloe, tepatnya di Kampung Rawabelong yang berdebu dan dikelilingi pohon-pohon kelapa, hiduplah seorang pemuda bernama Pitung.
Namanya mungkin sederhana, tapi kelak ia dikenal sebagai jawara yang berani menantang penjajah, membela kaum kecil, dan menjadi simbol keberanian rakyat Betawi melawan penindasan.
Pitung lahir dari keluarga santri. Ayahnya, Bang Piun, adalah petani yang juga guru mengaji di langgar kampung. Ibunya, Mak Pinah, dikenal sebagai perempuan tabah, penenun tikar pandan, dan pendongeng ulung.
Sejak kecil, Pitung dididik dalam nilai-nilai keislaman, kerja keras, dan kejujuran. Namun, hidup di masa penjajahan Belanda tak pernah mudah. Rakyat diperas lewat pajak, tanah dirampas, dan pribumi dijadikan jongos di negerinya sendiri.
Ketidakadilan itu pertama kali dirasakan Pitung saat ia berusia 12 tahun. Sawah kecil milik ayahnya yang berada di pinggir kali Ciliwung diambil paksa oleh tuan tanah keturunan Belanda bernama Van Daalen, hanya karena surat tanah lama dianggap tak sah. Bang Piun mengadu ke kantor distrik, tapi justru diusir dan ditertawakan.
“Itu tanah leluhur kami!” ujar Bang Piun bergetar. Tapi apalah daya suara rakyat kecil dibanding meterai penjajah.
Kejadian itu membekas dalam hati Pitung. Ia bersumpah dalam diam bahwa suatu hari ia akan melawan ketidakadilan itu. Bukan dengan kemarahan membabi buta, tapi dengan keberanian dan kecerdikan.
Baca Juga:

Cerita Asal Mula Telaga Warna https://sabilulhuda.org/cerita-asal-mula-telaga-warna/
Menimba Ilmu Dan Membentuk Diri
Di usia remaja, Pitung belajar silat di padepokan milik Haji Naipin, seorang pendekar sepuh yang juga ahli tarekat. Pitung cepat menyerap ilmu bela diri. Tapi bukan hanya otot yang ia latih, melainkan juga batin. Ia sering bertapa di hutan bambu, memohon petunjuk Tuhan.
“Ilmu silat bukan buat gagah-gagahan, Tong,” kata Haji Naipin. “Tapi untuk menegakkan yang benar dan menahan yang dzalim.”
Suatu malam, di bawah bulan purnama, Pitung mengikrarkan dirinya menjadi pembela wong cilik. Ia tahu, risikonya bukan main. Tapi ia tak gentar.
Aksi Pertama
Kabar tentang seorang tuan tanah kejam di Kampung Tanah Abang yang suka menahan hasil panen rakyat sebagai jaminan utang, membuat darah Pitung mendidih. Bersama dua sahabat karibnya, Rais dan Jii, Pitung menyusun rencana.
Mereka menyamar menjadi pengantar hasil bumi. Di malam hari, mereka menyelinap masuk ke gudang tuan tanah itu, mencuri kembali beras dan padi milik rakyat yang di rampas. Hasil rampasan itu di bagikan ke warga kampung secara sembunyi-sembunyi.
“Makanan ini hak kalian. Jangan takut. Aku akan kembali jika mereka datang lagi merampas,” ujar Pitung kepada para ibu yang menangis bahagia.
Sejak itu, nama Pitung mulai di sebut-sebut. Dari mulut ke mulut, rakyat mulai mengenal “Jawara Rawabelong” yang membela kaum lemah. Ia bukan perampok biasa. Ia hanya merampok orang kaya culas dan tuan tanah korup yang hidup dari keringat orang kecil.
Musuh Dalam Bayangan
Kabar ini membuat resah pemerintah kolonial Belanda. Seorang demang pribumi bernama Wirya dibayar untuk melacak dan menangkap Pitung. Tapi Pitung selalu selangkah lebih cepat.
Satu malam, saat Pitung dan kelompoknya menyusup ke gudang senjata Belanda di Tanah Tinggi, mereka dikepung. Namun, berkat ilmu “halimun” (ilmu menghilang), mereka lolos nyaris tanpa jejak.
“Apa dia punya jimat?” tanya Reserse Belanda, Kompeni Meyer, kesal. “Atau dia dijaga jin?”
Sebenarnya bukan jimat, tapi kecerdasan dan ilmu silat tinggi Pitung yang membuatnya sukar di tangkap. Ia tak pernah serakah, tak pernah menyimpan hasil rampasan untuk diri sendiri. Ia juga selalu bergerak dalam senyap, penuh strategi.

Bukan Hanya Berani, Tapi Jujur Dan Sabar
Pitung tak suka kekerasan tanpa sebab. Ia tak pernah membunuh tanpa alasan. Bahkan saat berhasil membobol rumah saudagar kaya Belanda, ia menyisakan cukup uang untuk biaya hidup si saudagar.
“Bukan balas dendam yang aku cari,” katanya pada Jii. “Tapi keadilan.”
Ia juga tak suka di puji. Bila warga kampung bersorak saat ia lewat, ia hanya menunduk.
“Kita semua harus berani seperti Pitung,” kata seorang pemuda kampung.
“Betul,” ujar yang lain. “Tapi ingat, keberanian Pitung lahir dari ilmu dan akhlak, bukan sekadar otot.”
Hari Terakhir Si Pitung
Namun sekuat-kuatnya manusia, tetaplah manusia. Suatu ketika, seorang kenalan lama Pitung yang di bayar Belanda, membocorkan tempat persembunyiannya. Pitung sedang menengok ibunya yang sakit. Malam itu, pasukan Belanda mengepung gubuk kecil di Rawabelong.
Pitung memilih bertahan. Ia tak ingin lari saat ibunya sedang sekarat. Dalam pertempuran singkat dan sengit, Pitung berhasil melukai beberapa serdadu, tapi akhirnya tertembak.
Ia terjatuh di pangkuan ibunya, yang sempat membuka mata dan membisikkan:
“Tong… kau sudah jadi cahaya bagi orang kecil…”
Pitung wafat dengan senyum. Tubuhnya di bawa Belanda dan di kubur secara diam-diam. Tapi rakyat tak melupakannya.
Warisan Dan Kehidupan Setelahnya
Meski tubuhnya terkubur, semangat Pitung hidup di hati rakyat Betawi. Ia menjadi simbol perlawanan, ketulusan, dan keberanian. Kisahnya di tuturkan di langgar, warung kopi, hingga panggung lenong.
“Kalau ada ketidakadilan, ingat Pitung,” kata seorang kakek kepada cucunya. “Jadilah berani, tapi tetap jujur.”
Di Kampung Rawabelong, setiap malam Jumat, orang-orang menyalakan lampu minyak di bawah pohon tua—tempat Pitung dulu biasa bertapa. Mereka berdoa, bukan menyembah, tapi mengenang bahwa dari kampung kecil pun bisa lahir pahlawan besar.
Si Pitung bukan sekadar legenda. Ia adalah cermin dari nurani rakyat yang menolak tunduk pada tirani. Ia bukan orang sempurna, tapi ia tahu kapan harus berdiri melawan. Di zaman yang penuh tipu daya, kisah Pitung mengingatkan kita bahwa keberanian sejati lahir dari cinta pada keadilan, bukan kebencian.
Dan selama rakyat kecil masih tertindas, semangat Si Pitung akan selalu hidup—di lorong-lorong kampung, di hati yang berani, dan di nyala api yang tak pernah padam: api keadilan.
Baca Juga: Buku Dongeng Gratis Tersedia di Situs Kemdikbud
Oleh: Izzayumna