Opini  

Ketika Akhlak Diuji Di Era Digital: Refleksi Kasus Trans7 & Nilai Santri

Santri berjubah putih sedang berjabat tangan dengan kiai di pesantren, menggambarkan nilai akhlak dan penghormatan di era digital.
Hubungan santri dan kiai bukan sekadar pengabdian, tetapi cermin akhlak dan kehormatan yang tetap dijaga meski di tengah dunia digital yang penuh ujian.

Ketika Akhlak Diuji Di Era Digital: Refleksi Kasus Trans7 & Nilai Santri – Belakangan ini, media sosial sedang ramai dengan seruan boikot terhadap Trans7. Tayangan program mereka dianggap menyinggung kehidupan pesantren dan melecehkan para kiai serta santri.

Dalam potongan video yang beredar memperlihatkan narasi yang dinilai tidak pantas. Seolah olah menggambarkan kehidupan santri secara negatif dan tanpa konteks yang adil.

Tak butuh waktu lama, tagar #BoikotTrans7 menjadi trending. Ribuan akun, terutama dari kalangan santri dan alumni pesantren, menyuarakan kekecewaannya. Bagi mereka, pesantren bukan hanya sebagai tempat belajar agama.

Tetapi sebagai rumah yang bernilai, tempat lahirnya adab dan akhlak. Maka wajar jika ketika pesantren disudutkan, hati mereka ikut terluka.

Santri berjubah putih sedang berjabat tangan dengan kiai di pesantren, menggambarkan nilai akhlak dan penghormatan di era digital.
Hubungan santri dan kiai bukan hanya sebatas pengabdian, tetapi cermin akhlak dan kehormatan yang tetap dijaga meski di tengah dunia digital yang penuh ujian.

Makna Akhlak Menurut Husain Ja’far Al-Hadar

Namun di tengah riuhnya kemarahan itu, saya teringat satu kalimat dari Husain Ja’far Al-Hadar:

“Puncaknya akhlak seseorang adalah ketika ia mampu berakhlak kepada orang yang tidak berakhlak.”

Kalimat sederhana ini justru menjadi renungan penting bagi kita semua.

Akhlak sejati tidak diuji saat keadaan tenang, tapi justru ketika kita tersakiti atau di remehkan. Siapa pun bisa bersabar ketika dipuji, tapi tidak semua bisa menahan diri ketika mereka di hina. Di sinilah letak kemuliaan itu.

Mengabdi kepada Kiai Bukan Perbudakan

Bagi santri, akhlak itu bukan hanya sebatas sopan santun, tapi sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mengabdi kepada kiai bukan berarti sebagai bentuk perbudakan seperti yang di tuduhkan sebagian orang.

Tetapi sebagai bentuk takhzim kita sebagai santri untuk menghormati kepada guru sebagai perantara ilmu dan barakah. Maka ketika di media sosial menggambarkan hubungan itu secara keliru, wajar bila muncul rasa kecewa dan marah.

Namun, sebagaimana yang telah diajarkan para ulama, marah pun harus beradab. Kritik boleh, tapi jangan sampai kita menghina balik. Menegur boleh, tapi tetap menjaga bahasa.

“Sebab ketika kita kehilangan adab karena membela adab, sebenarnya kita sudah kalah dua kali.”

Baca Juga:

Karikatur seorang pria memakai peci menunjuk ke atas sambil berkata “Jangan hakimi semua pesantren karena satu tragedi” dengan latar bangunan ambruk.

Jangan Hakimi Semua Pesantren Karena Satu Tragedi https://sabilulhuda.org/jangan-hakimi-semua-pesantren-karena-satu-tragedi/

Tanggung Jawab Media Dan Publik Di Era Digital

Media memang punya tanggung jawab yang besar. Mereka tidak boleh menafsirkan budaya religius dengan cara yang sembrono, apalagi demi sensasi. Tapi publik pun punya tanggung jawab moral:

 Yaitu dengan menjaga agar reaksi kita tidak berubah menjadi kebencian. Karena kebencian tidak akan pernah memperbaiki keadaan, tetapi  ia hanyaakan  memperluas luka.

Akhlak: Kekuatan Tertinggi Manusia

Kata Husain Ja’far tadi mengingatkan kepada kita bahwa akhlak adalah kekuatan tertinggi dari manusia. Bukan kekuatan untuk membalas, tapi kekuatan untuk tetap tenang dan bijak di tengah provokasi.

Nabi Muhammad ﷺ pernah dihina, dilempari batu, bahkan difitnah. Tapi beliau tidak membalas dengan kebencian, melainkan dengan doa dan kasih. Karena beliau tahu, balas dendam tidak akan membuat seseorang itu menjadi mulia.

Santri Sebagai Teladan Akhlak Di Dunia Maya

Begitu juga hari ini. Dunia digital memang sering memancing kita untuk reaktif. Tapi santri dan siapa pun itu yang mencintai nilai-nilai pesantren mestinya menjadi contoh bagaimana cara menegur dengan santun dan berpikir jernih di tengah badai komentar.

Lembut Bukan Berarti Lemah

Akhlak itu bukan kelemahan tetapi justru ia tanda dari kedewasaan spiritualnya mereka. Seorang yang bisa berakhlak kepada orang yang tidak berakhlak bukan berarti mereka itu lemah, tapi sudah menang atas dirinya sendiri.

“Dan kemenangan terbesar memang bukan saat kita mengalahkan orang lain, tapi ketika kita mampu menundukkan ego dan amarah kita sendiri.”

Maka mungkin, dari kasus Trans7 ini kita semua bisa belajar satu hal penting: bahwa menjaga marwah pesantren tidak hanya dengan suara keras, tapi juga dengan akhlak yang lembut.

Karena di zaman yang penuh gaduh ini, kelembutan adalah bentuk perlawanan paling elegan.

Baca Juga: Wamenag: Santri Laksana ‘Sayap Burung’, Ilmu dan Akhlak Harus Seimbang