Ketika sebuah rasa ini muncul dalam hati, aku mulai ragu. Terutama ragu untuk menyikapinya. Rasa gundah dalam hati pun muncul dengan sendirinya. Untuk menghilangkan rasa gundah, aku dirikan sholat di sepertiga malam ini.
“Ya Allah tolong berikan aku petunjuk! Agar aku bisa mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan tentang masalah ini. Apakah aku harus menjauhi atau mendekatinya?” Pintaku sembari menengadahkan tangan. Saat itu juga aku berdoa sambil meneteskan air mata, entah kenapa hati ini begitu lega setelah air mata ini jatuh. Seumur hidupku ini adalah cobaan terbesar setelah aku kehilangan kedua orang tua ku. Ini juga cobaan terbesarku selama aku berada di pesantren.
“Kamu kenapa Fat? Kok kamu menangis” Tanya Maryam kepadaku.
“Mungkin Maryam terbangun karena mendengar isak tangisku” gumamku dalam hati.
“Hei Fatimah… kamu kenapa, ditanya kok nggak jawab sih?” Ucap Maryam yang membuatku terkejut.
“Enggak kok aku ngak papa, aku cuma teringat sama almarhum kedua orang tuaku” Jawabku berbohong.
“Nggak mungkin cuma itu saja, aku dengar kamu menangis dari pukul 3 dan sampai sekarang kamu masih saja menangis” kata Maryam sambil memandangi jam tangannya yang menunjukkan pukul 03.55.
“Ayolah… ceritakan saja semua masalahmu padaku, nanti kalau aku bisa membantumu akan aku bantu kok, aku janji gak bakal bilang ke siapapun” lanjut Maryam.
Melihat kegigihan Maryam membujuknya untuk bercaerita, maka Fatimah pun bersedia menceritakan semua masalah yang membuat hatinya gundah.
“Ohh… jadi diam-diam kamu punya rasa ya sama Gus Afif. Emmm ya menurutku sih itu hal yang wajar-wajar saja kok, yaa kalian itu memang cocok kalau jadi suami istri” Jawabnya setelah mendengarkan ceritaku.
“Lahhh Maryam ini, bukannya membantuku tapi malah mengejekku. Aku dan Gus Afif itu tidak cocok, lihat saja dia itu putra seorang kyai sedangkan aku hanya seorang gadis yatim piatu yang tak pantas untuk dijadikan sebagai seorang istri” Kataku sambil memukuli pundak Maryam.
“Saranku sih kamu lakukan saja sholat istikharah, supaya kamu bisa diberikan jalan keluar oleh-Nya” kata Maryam sambil memegang kedua pundakku.
“Mbak Maryam yang cantik, kalau itu sudah aku lakukan dari dulu. Masalahnya sekarang aku harus menjauhi atau mendekatinya?” Tanyaku.
“Kalau aku jadi kamu sih aku akan bersikap seperti biasanya dan tidak usah terlalu memikirkan hal itu. Nanti kalau kamu memikirkan itu terus hafalanmu tidak akan maju” Jelasnya kepadaku.
“Tapi aku lebih baik menjauh saja darinya. Soalnya Gus Afif sudah dijodohkan dengan putri dari salah satu temannya Abah Umar. Setahuku dia adalah Aisyah dan menurutku dia cocok untuk menjadi istrinya Gus Afif. Karena dia wanita yang sholehah dan sekarang dia sedang melanjutkan kuliah di daerah Jogja” Celoteh ku yang masih didengar oleh Maryam.
“Kata siapa Aisyah itu wanita soleha? Orang Aisyah itu wanita yang tidak baik untuk Gus Afif. Karena dia itu sering pulang malam dan suka jalan sama cowok. Memang dia putri dari temannya Abah Umar tapi dia itu wanita yang tidak pantas untuk jadi istrinya Gus Afif dan yang pantas itu kamu bukan dia!! ” Jawab Maryam dengan nada kesal.
“Mana mungkin Aisyah seperti itu. Dia itu wanita baik-baik kok soalnya aku dengar dia itu sudah jadi hafizah”.
“Iyaa mana mungkin aku berbohong kalau kamu gak percaya kamu boleh tanya sama Sara soalnya aku dan dia pernah melihat Aisyah duduk berduaan dengn Fahmi. Dia itu anggota geng motor yang terkenal kenakalannya” jelas Maryam.
“Ya sudah kita tidak usah membahas tentang masalah ini lagi. Lebih baik kita mengaji dan menambah hafalan saja” Kataku sambil beranjak mengambil al-Qur’an. Setelah beberapa hari berlalu, Gus Afif pun pulang dari Kairo.Beliau melanjutkan kuliah disana karena perintah Romo Warno, kakek beliau. Gus Afif mengambil jurusan Bahasa Arab dan hadist.
Ketika aku sedang dzikir pagi di masjid, tiba-tiba Umi Halimah menghampiriku.
“Nduk… Fatimah, setelah selesai dzikir kamu ke ruangan Umi ya!” Perintah Umi Halimah yang kujawab dengan anggukan dan senyuman. Beliau adalah istri dari Abah Umar, pemilik pesantren yang sekarang aku tinggali. Saat aku sampai di depan pintu ruangan Umi Halimah tak sengaja aku mendengar percakapan Umi Halimah dengan Abah Umar.
“Bagaimana ini Abah apakah perjodohan ini akan tetap berlanjut atau tidak?” Tanya Umi Halimah.
“Kita akan bahas perjodohan ini dengan mereka berdua” jawab Abah Umar.
Kemudian aku beranikan diri untuk mengetuk pintu “Tok..Tok..Tok.. Assalamu’alaikum Umi ini Fatimah”.
“Waalaikumsalam iya nduk silahkan masuk” jawab Umi Halimah. Aku masuk dengan hati begitu gelisah. Aku lihat diruangan itu hanya ada Umi Halimah, Abah Umar dan Gus Afif.”Silahkan duduk Fatimah! ” Perintah Abah Umar. Kujawab dengan anggukan, aku duduk disamping Umi Halimah dan berhadapan dengan Gus Afif.
“Begini ada yang mau Abah bicarakan, ini menyangkut masa depan kalian berdua.” Kata Abah Umar.
“Maaf sebelumnya Abi, kenapa bisa menyangkut masa depan Afif dan Fatimah? ” Tanya Gus Afif.
“Iya kenapa bisa menyangkut masa depan saya dan Gus Afif?” tanyaku juga.
“Begini Afif… Fatimah… Abi dan Umi berniat melanjutkan perjodohan kalian berdua, sesuai dengan janji Abi dulu dengan almarhum orang tuanya Fatimah. Bagaimana apakah kalian berdua setuju?” Tanya Abah Umar kepada aku dan Gus Afif.
“Kalau Afif sih ikut apa kata Abi saja, tapi aku tidak tahu apakah Fatimah mau menikah denganku” Jawab Gus Afif.
“Bagaimana menurutmu Fatimah, apakah kamu mau menjalankan amanah dari almarhum orang tuanmu ini?” Tanya Umi Halimah.
“Bukannya saya tidak mau Abah, tapi saya masih kelas 3 SMA dan saya juga bukan wanita impiannya Gus Afif. Saya tidak mau jika nanti saya mengecewakan kalian semua” jelasku kepada mereka.
“Kamu salah Fatimah. Selama aku di Kairo, aku selalu memikirkanmu dan diam-diam aku memiliki perasaan denganmu. Bahkan sudah berulang kali aku melakukan sholat istikharah. Karena aku memohon petunjuk pada-NYA dan semua permohonanku telah dijawab oleh-NYA” jelas Gus Afif.
“Iya Fatimah kamu itu wanita yang cocok untuk menjadi pendamping hidupnya Afif. Karena kamu bukan hanya wanita cantik tapi kamu wanita yang solehah. Lagi pula Afif juga sudah punya rasa sama kamu dan sekarang tinggal kamu mau atau tidak menikah dengan Afif anak Umi?” Tanya Umi Halimah.
“Emmm kalau memang Gus Afif adalah jawaban dari semua doa-doa Fatimah, Insha Allah Fatimah siap menjalankan amanah dari Abah dan almarhum orang tua saya Abah. Tapi apakah Gus Afif mau menunggu saya 3 bulan lagi sampai saya lulus SMA?” Tanyaku pada Gus Afif.
“Walupun aku harus menunggumu sampai lulus kuliah pun aku sanggup asalkan nanti aku bisa menikah denganmu Fatimah” Jawab Gus Afif dengan suara lembut.
“Baiklah karena Afif dan Fatimah sudah setuju dengan perjodohan ini. Tinggal kita atur tanggal pernikahannya saja, iyakan Umi?” Tanya Abah kepada Umi Halimah.
“Iya Abah, Umi sudah tidak sabar ingin melihat anak bungsu kita menikah dan Umi juga sudah tidak sabar ingin menggendong cucu dari Afif ” Jawab Umi Halimah sambil tersenyum ke arah Gus Afif.
“Ihhh Umi!!! nikah aja belum, kok Umi udah pengen gendong cucu sihhh” jawab Gus Afif yang tersenyum malu. Kemudian aku, Abah Umar dan Umi Halimah tertawa melihat tingkah Gus Afif yang terlihat seperti anak kecil.***
(Yuni)