
Ijasah Sokalima! Geger Negeri Astinapura – “Heh para dewa, kawula mendengar kabar tiyang Duryudana lulusan Pertapaan Sokalima. Tapi kenapa namanya tak tercatat di kitab lontar wisudho? Apa yang sedang terjadi di balik kelambu kependhitaan ini?”
Begitulah kira-kira suara rakyat menyebar dari pasar Kurusetra hingga warkop depan alun-alun Hastinapura. Isu yang beredar: Duryudana, sang raja berwibawa, ternyata… di duga memakai ijazah palsu! Haaaahhh.
Geger Tunggul Nogo
Pagi itu, dari kediamannya di atas pohon asam raksasa. Ontoseno si mantan pangeran dan jurnalis merdeka (sekarang Youtuber Wayang Update), membuka siaran live:
“Assalamu’alaykum para sedulur wayang. Hari ini kita bahas yang sedang viral: ijasah Duryudana, asli atau abal-abal?. Saya sudah dapat bocoran dari intel mata-batin, nggak ada nama Duryudana di daftar lulusan Pertapaan Sokalima tahun 949 Prapatan!”.
Dari wisik dhanyange sudah kasih tahu dulu patih Sangkuni bilang pada pandita Durna: “ pesanan beli yang asli ya mahal gak papa jangan kasih yang palsu. Anak angger Duryudana tidak mampu nyantrek totaldi sokalima”.
Komentar pun membludak:
• “Halah, Ontoseno cari sensasi!”
• “Berani banget nuduh raja. Siap-siap di goreng di kawah Candradimuka!”
• “Aku dulu satu gubug dengan Duryudana pas ospek di Sokalima, lho!”
Baca Artikel Berikut:

Pelajaran Dari Peradaban Jawa “SASTRA JENDRA” episode 6 https://sabilulhuda.org/pelajaran-dari-peradaban-jawa-sastra-jendra-episode-6/
Namun komentar yang paling di tunggu adalah dari DR. Wisanggeni cucu Batara Bayu, lulusan S-1 Sokalima juga. Yang terus lanjut study ke manca negara Jepang dan kini dosen tetap bagian Penelusuran Karakter Leluhur. Ia muncul dalam channel-nya, “Wisang Talks with Logic”:
“Saya telah meneliti manuskrip dan naskah pendaftaran sejak era Eyang Pandhu. Dalam kitab tamra daftar wisuda, tidak ada nama Duryudana. Adanya justru ‘Durjana’ — ini berbeda! Apakah Duryudana dan Durjana itu orang yang sama? Belum tentu. Mari kita buka mata batin dan logika.”
Tiba-tiba rakyat geger. Grup-grup Wayang Ngaji dan Perkumpulan Punakawan Alumni pun rame.
Duryudana Muncul… tapi Bersilat Lidah
Melihat dunia per-wayangan geger, Duryudana pun naik panggung. Dalam pidato resmi dari pendapa kerajaan:
“Saya jelas-jelas lulusan Pertapaan Sokalima. Waktu itu saya ikut wisuda, pakai jubah putih gading, foto bareng Pendita Dorna. Masak itu palsu? Apakah karena saya bukan dari golongan Pandawa lalu terus ijazah saya di pertanyakan?”
Ia memamerkan selembar ijazah dengan stempel kuno berlogo Sokalima tapi hurufnya agak miring. Dan tinta emasnya seperti hasil photocopy ajian sulapan.
“Ini buktinya. Kalau tidak percaya, tanyakan langsung ke guru saya, Pendita Dorna!”
Pendita Dorna, Sang Ahli Verifikasi
Pendita Dorna, guru sakti yang jadi kepala pertapaan Sokalima, akhirnya bicara di hadapan Mahkamah Wayang.
“Memang benar dulu ada murid bernama Duryudana. Tapi… apakah dia lulus? Itu perkara lain.”
Ketika di tanya apakah tanda tangan di ijazah itu asli, Dorna menjawab ambigu:
“Tanda tangan itu mirip, tapi apakah saya menandatangani secara sadar atau sambil semedi, saya tidak bisa pastikan…”
Bukti, Saksi, dan Berita yang Di bantah
Ontoseno mengklaim menemukan saksi: bekas penjaga kamar mandi Sokalima bernama Mbah Klutuk, yang bersumpah:
“Saya dulu sering lihat Duryudana cuci baju, tapi nggak pernah ikut kelas. Yang rajin justru si Karna.”
Namun kubu Duryudana tak tinggal diam. Mereka menyewa tim ahli perhalusan logika dan semantik, menyatakan:
“Yang penting bukan apakah dia lulus formal, tapi apakah dia punya semangat belajar!”
Mereka menyodorkan foto-foto Duryudana yang sedang duduk bersila sambil membawa lontar, meski sebagian tampak hasil AI batin visual.
Sidang Rakyat Wayang
Di selenggarakanlah sidang rakyat terbuka di Alun-Alun Kurusetra. Hakimnya adalah Semar, tokoh netral yang di cintai rakyat.
Semar membuka sidang:
“Anak-anakku, hari ini kita sidang bukan hanya soal ijasah, tapi soal kejujuran dan adab. Apakah pemimpin boleh ngaku-ngaku lulus padahal belum?”
Saksi ahli: Wisanggeni memaparkan bukti-bukti digital lontar (DL) yang di pindai melalui aplikasi SakalimaScan.
“Hasil scan tidak menemukan nama ‘Duryudana’. Tapi yang kami temukan adalah surat permohonan dispensasi kelulusan karena ‘terlalu sibuk perang’.”
Tiba-tiba, dari tribun muncul Gareng sambil membawa ijazah hasil sulapan:
“Kalau gitu aku juga bisa jadi lulusan Sokalima, asalkan niat suci!”
Rakyat tertawa. Tapi Petruk nyeletuk:
“Lha nek niat suci wae cukup, ngapain bayar SPP 8 tahun, Rek!”
Putusan Semar dan Akhir yang Satire
Setelah 7 hari 7 malam bermusyawarah dengan Togog dan Bagong, Semar akhirnya memberikan pernyataan:
“Anak-anakku kabeh… Duryudana mungkin memang pernah menimba ilmu di Sokalima. Tapi apakah itu cukup untuk menjadi bekal kepemimpinan? Tidak. Pemimpin sejati bukan hanya lulusan pertapaan, tapi lulusan ujian batin rakyatnya.”
Ia menutup sidang dengan puisi:
“Ijazah bisa ditulis, bisa dicetak,
Tapi hati rakyat tak bisa dimanipulasi.
Kalau pemimpin gemar pura-pura,
Maka rakyat akan hidup dalam pura-pura pula.”
Duryudana terdiam. Ontoseno kembali live dengan judul:
Semesta tercengang. Twitter Wayang langsung trending:
#DornaGagalIngat #IjazahDuryu #SokalimaLuluh
Sokalima Direformasi
Pasca peristiwa geger itu, Pertapaan Sokalima merombak sistem pendataan. Kini semua ijazah memakai sistem blockchain batin. Tidak bisa dipalsukan. Semua tercatat dalam “Lontar Sejati”.
Sementara Wisanggeni diangkat sebagai Ketua Dewan Etika Kependhitaan. Ia menulis buku best-seller: “Ijazah, Integritas, dan Iman Batin”, yang dicetak ulang 100 ribu eksemplar oleh penerbit Kayangan Press.
Dan Duryudana? Ia tetap memimpin, tapi kini lebih hati-hati. Di setiap pidato, ia tak lagi menyebut “saya lulusan Sokalima”, tapi cukup: “Saya pernah numpang tidur di Sokalima.”
Baca Juga: Wayang ‘Lalu Nasip’ dalam Bingkai Moderasi Beragama
Dalam dunia wayang maupun dunia nyata, yang lebih penting dari gelar adalah kejujuran. Ijazah bisa dicetak, tapi integritas tak bisa dikarang-karang. Kalau mau jadi pemimpin, jangan hanya bisa menunjukkan kertas—tapi tunjukkan laku dan laku. (Bersambung)
Oleh:Ki Pekathik