Pada zaman dahulu, bersiul merupakan salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy ketika berada di Baitullah. Dalam hal ini, Al-Qur’an menjelaskan:
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً
“Dan shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (QS. Al-Anfal: 35)
Dalam memaknai maksud ayat di atas, Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya, at-Tafsir al-Munir menjelaskan:
جعلوا صلاتهم عند البيت على هذا النحو ، مما يدلّ على جهلهم بمعنى العبادة وعدم معرفة حرمة بيت اللّه
“Orang kafir menjadikan ibadah di Baitullah dengan cara demikian. Hal ini menunjukkan kebodohan mereka akan arti dari ibadah dan tidak mengertinya mereka tentang kemuliaan Baitullah.” (Syekh Dr. Wahbah Az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, juz 9, hal. 331)
Berdasarkan referensi tersebut, dapat dipahami bahwa bersiul merupakan sebuah perilaku yang tidak baik untuk dilakukan di tempat-tempat yang mulia, seperti masjid, sekolah, perpustakaan dan tempat-tempat lainnya. Sebab, bersiul termasuk dalam kategori al-akhlaq ar-radi’ah (perilaku yang buruk).
Ketika dipandang sebagai perilaku yang tidak baik, apakah status hukum bersiul sampai tahapan dilarang dan diharamkan oleh syariat?
Dalam hal ini, para ulama tidak membahas secara khusus tentang hukum bersiul dalam pembahasan tertentu, sebab bersiul termasuk dalam kategori akhlak, sehingga cukup menerangkan bahwa bersiul merupakan tradisi ibadah orang kafir di zaman Rasulullah ﷺ.
Namun, ditemukan sebuah referensi yang secara khusus menghukumi bersiul sebagai perbuatan yang makruh. Penjelasan tersebut disampaikan oleh Ibnu Muflih dalam karyanya al-Adab as-Syar’iyyah dengan mengutip ungkapan Syekh Abdul Qadir:

قال الشيخ عبد القادر رحمه الله يكره الصفير والتصفيق
“Syekh Abdul Qadir berkata: “Bersiul dan tepuk tangan merupakan hal yang dimakruhkan.” (Ibnu Muflih, al-Adab asy-Syar’iyyah, juz 4, hal. 57)
Menyimak penjelasan dari Ibnu Muflih tersebut dapat dipahami bahwa hukum asal dari bersiul merupakan perbuatan yang makruh untuk dilakukan.
Namun rupanya saat ini bersiul sudah berlaku untuk tujuan-tujuan tertentu. Seperti untuk menenangkan bayi saat menangis, memanggil orang yang berada pada jarak kejauhan dan tujuan-tujuan lain yang bermanfaat. Maka dalam keadaan demikian, ketika memandang hal lain (amrun kharij) tersebut maka hukum bersiul menjadi hal yang diperbolehkan, selama tidak dipandang buruk oleh masyarakat secara umum.
Berbeda halnya ketika bersiul digunakan untuk tujuan-tujuan yang terlarang, seperti menggoda perempuan yang sedang lewat, mengganggu orang lain atau bertujuan menyerupai tradisi peribadatan orang kafir, maka dalam hal ini bersiul menjadi perbuatan yang diharamkan, karena akan mengantarkan pada perkara yang haram.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bersiul merupakan perbuatan yang dimakruhkan, namun akan menjadi perbuatan yang diperbolehkan (jawaz) ketika terkandung kemanfaatan di dalamnya seperti menenangkan bayi yang sedang menangis. Dan perbuatan ini akan menjadi perbuatan yang haram ketika digunakan sebagai perantara melakukan perbuatan yang haram seperti menggoda wanita yang sedang lewat. Wallahu a’lam.***

(Bayu Murni)

Artikel yang Direkomendasikan