Sabilulhuda, Yogyakarta: Hidup Di Era Pencitraan! Mengapa Media Sosial Membuat Kita Semakin Kosong? – Kita hidup di zaman ketika dunia maya terasa lebih gaduh daripada dunia yang nyata. Tempat bagi jutaan manusia saling memamerkan hidupnya, saling mengadu keluh kesahnya. Serta saling mencari arti diri lewat layar kecil yang tak pernah tidur.
Media sosial seolah olah menjadi panggung yang besar sebagai tempat setiap orang untuk berusaha terlihat baik-baik saja, padahal yang sebenarnya adalah hati mereka mungkin sudah hampir runtuh.
Di balik senyuman digital yang serba cerah, ada banyak jiwa yang sebenarnya sedang kelelahan. Lelah karena melihat kehidupan orang lain. Lelah karena berperan sebagai tokoh utama dalam drama hidup yang mereka ciptakan sendiri.
Dan di tengah semua hiruk pikuk itu, ada suara hati yang diam-diam berbisik: “Aku ingin pulang. Aku ingin kembali kepada Tuhan.” Namun sering kali, bisikan itu tenggelam oleh bisingnya dunia.
Media Sosial Dan Lelahnya Jiwa Yang Tak Terlihat
Belakangan ini, timeline kita dipenuhi oleh konten tentang kecemasan, burnout, dan perasaan yang tidak berharga. Video-video yang bertema “gak kuat tapi harus kuat” atau “dewasa itu melelahkan” sudah viral di mana-mana. Kita juga menontonnya, lalu mengangguk pelan karena merasa: “oh ini seperti aku.”
Padahal, dulu media sosial hanya sebagai tempat untuk berbagi cerita. Tetapi sekarang, media sosial menjadi tempat bagi banyak orang menjerit tanpa suara.
Ibarat rumah besar tanpa pintu, semua orang bebas masuk, sehingga mereka bisa melihat hidup kita, lalu meninggalkan komentar seenaknya. Tekanan hidup yang nyata belum selesai, lalu ditambah lagi dengan tekanan dunia maya yang tak kenal ampun.
Kita berlomba-lomba menjadi versi yang terbaik padahal diri kita sendiri saja sudah payah dalam menjaga kewarasan. Inilah wajah wajah kelelahan yang baru, sudah lelah batin yang tak tampak, tapi terasa menyesakkan.
Baca Juga:
Budaya Flexing Dan Topeng Kesempurnaan
Di sisi lain, platform yang sama juga dipenuhi dengan budaya flexing. Kehidupan yang tampak indah dan sukses kemudian mereka letakkan sendiri di etalase digital. Walaupun tidak semuanya palsu, tapi yang pasti: tidak semuanya utuh.
Kita hanya melihat satu potongan hidup yang sudah mereka poles. Tapi yang tidak kita lihat adalah:
- cicilan yang membebani,
- pertengkaran yang tidak pernah mereka unggah,
- serta kekosongan batin yang tak mungkin mereka tampilkan.
Flexing yang membuat standar kebahagiaan mereka menjadi semu. Seolah olah kebahagiaan itu harus mahal, gemerlap, dan harus mereka pamerkan. Padahal, banyak sekali dari mereka yang memamerkan senyuman justru sedang menahan tangis.
Dan tanpa sadar juga, kita pun ikut-ikutan memakai topeng yang sama: “Lihat, hidupku baik-baik saja.” Padahal yang sebenarnya adalah hati kita sedang berantakan.
Saat Dunia Menguasai Hati Dan Kita Lupa Jalan Pulang
Jika kita lihat dari sudut pandang agama, apa yang terjadi ini bukanlah hal yang asing. Dunia memang tempatnya ujian. Tempat yang gemerlap di luar, tapi sebenarnya rapuh di dalam. Tempat yang mudah membuat manusia menjadi sibuk, lalai, lalu mereka jauh dari Tuhan tanpa terasa.
Setan tidak selalu menggoda dengan dosa besar. Kadang setan itu cukup dengan membanjiri hati dengan hal-hal yang kecil, yaitu perbandingan, iri, lelah, dan rasa kosong.
Dan ketika zikir sudah jarang, doa mulai layu, dan hati mulai hampa, dunia pun bagi kita akan terasa semakin berat. Masalah kecil bisa jadi raksasa. Luka kecil terasa tak tertahankan. Dan kesedihan pun bisa berubah menjadi keputusasaan.
Baca Juga:
Namun yang anehnya, justru di tengah kekacauan inilah banyak anak muda mulai mencari cahaya. Konten dakwah semakin ramai, kajian pendek makin laris, kutipan-kutipan spiritual makin sering dibagikan. Seakan hati-hati yang lelah sedang mencari Tuhan dengan cara masing-masing.
Karena tidak ada yang bisa menenangkan hati manusia selain Dia yang menciptakannya.
Dua Sisi Dunia Modern Yaitu Media Sosial sebagai Cermin Dan Agama Sebagai Penawar
Jika fenomena sosial dan agama kita letakkan secara berdampingan, kita akan menemukan kenyataan yang pahit namun indah. Media sosial sedang memperlihatkan betapa banyak manusia yang sedang rapuh. Kemudian agama sedang menawarkan penyembuhannya.
Dunia maya memperlihatkan luka. Tetapi Agama menawarkan obatnya. Dunia memperlihatkan betapa kita saat ini lelah. Tetapi agama mengingatkan kita di mana tempat pulang. Sehingga kesadaran itu akan muncul ketika seseorang mulai jujur: “Aku sudah capek.”
Dan dari kejujuran seperti inilah, maka pintu ketenangan akan terbuka. Karena agama bukan untuk membebani, melainkan untuk menjadi tempat pulang dari hiruk pikuknya dunia.
Saatnya Menatap Diri Tanpa Topeng
Media sosial bisa menipu mata kita, tapi tidak akan pernah berhasil menipu hati. Kita boleh terlihat bahagia dalam foto, tapi Tuhan tahu apa yang kita sembunyikan. Kita boleh tampak sukses di luar, tapi hanya kita yang tahu bagaimana perjuangan di dalam.
Baca Juga: Penilaian Dalam Kondisi “Ketidakpastian”
Pada akhirnya, manusia hanya butuh dua hal:
- keberanian untuk melihat realita sosial apa adanya,
- dan ketulusan untuk kembali kepada Tuhan tanpa pura-pura.
Karena di sanalah tempat jiwa jiwa kita bisa menemukan arah. Kadang, cara terbaik untuk hidup adalah dengan berhenti sejenak, kemudian membuka topeng itu perlahan, dan berkata:
“Aku lelah, dan aku ingin kembali kepada-Mu.”














