Filosofi Jawa “Geh Mboten Nopo-Nopo” dan Makna Tersirat di Baliknya – Kalimat “Geh mboten nopo-nopo” sering kita dengar dari orang Jawa. Secara harfiah artinya “iya, tidak apa-apa”, tapi makna sebenarnya bisa jauh lebih dalam.
Ungkapan ini bukan sekadar basa-basi atau bentuk ketidaktegasan, melainkan cerminan filosofi hidup orang Jawa yang sarat nilai kesabaran, toleransi, dan penghormatan terhadap orang lain.
Sifat Sungkan Orang Jawa
Banyak yang menilai orang Jawa itu jarang marah. Bahkan ketika merasa tidak setuju atau tersinggung, ekspresinya sering tetap tersenyum. Hal ini berkaitan erat dengan budaya sungkan sebuah rasa enggan untuk menyinggung atau membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Dalam interaksi sehari-hari, sungkan membuat orang Jawa memilih untuk menahan diri daripada berkonflik secara langsung.
Bukan berarti mereka tidak punya pendapat. Justru, orang Jawa sering menyimpan pendapatnya sambil mencari cara menyampaikannya dengan halus. Prinsip ini dikenal dengan ungkapan “ngono yo ngono, neng ojo ngono” artinya boleh saja berpendapat, tapi tetap harus menjaga adab dan perasaan orang lain.
Akar Filosofi: Sangkan Paraning Dumadi
Sikap ini tidak lepas dari filosofi Sangkan Paraning Dumadi, yang berarti “asal dan tujuan hidup manusia”. Dalam pandangan Jawa, hidup diatur oleh Yang Maha Kuasa. Semua yang terjadi adalah bagian dari takdir, sehingga manusia sebaiknya menerima dengan lapang dada.
Dari pemahaman ini lahir kebiasaan untuk tidak bereaksi berlebihan terhadap masalah. Alih-alih melawan secara terang-terangan, orang Jawa memilih menerima sambil menjaga hubungan baik.
Marah tetap bisa terjadi, tetapi bentuknya tidak berupa teriakan atau kemarahan terbuka melainkan sikap tenang, senyum, atau bahasa halus yang penuh makna.
baca Juga:

Makna filosofis Surjan Yogyakarta https://sabilulhuda.org/makna-filosofis-surjan-yogyakarta/
Bahasa Halus dan Gestur yang Sarat Arti
Budaya Jawa menempatkan bahasa dan gestur sebagai alat penting untuk menjaga harmoni. Menggunakan bahasa yang halus dianggap sebagai tanda penghormatan. Bahkan saat hati sedang tidak setuju, orang Jawa bisa menyampaikannya dengan cara yang sopan dan tersirat.
Gestur juga memegang peranan penting. Seperti keris yang diselipkan di belakang menyimbolkan kekuatan yang tidak dipamerkan orang Jawa menyimpan emosinya rapat-rapat. Kekuasaan atau kekuatan batin bukan untuk dipertontonkan, tapi untuk digunakan pada saat yang tepat.
Toleransi Tingkat Tinggi
Bisa dibilang, “geh mboten nopo-nopo” adalah bentuk tertinggi dari toleransi. Ungkapan ini menunjukkan kesediaan untuk mengalah demi menjaga suasana tetap harmonis. Namun, penting diingat bahwa ini bukan berarti benar-benar setuju atau tidak punya masalah. Hanya saja, orang Jawa memilih mengedepankan perdamaian dibanding memuaskan ego pribadi.
Pentingnya Kepekaan dalam Interaksi
Bagi yang tidak terbiasa, sikap ini kadang disalahartikan. Ada yang menganggapnya sebagai kepura-puraan, padahal sebenarnya ini adalah strategi sosial untuk menjaga hubungan baik. Maka, saat berinteraksi dengan orang Jawa, penting untuk peka membaca gestur, intonasi, dan konteks.
Dengan memahami filosofi ini, kita bisa lebih menghargai cara orang Jawa berkomunikasi. Mereka mengajarkan bahwa menjaga perasaan orang lain sama berharganya dengan menyampaikan kebenaran. Dan di balik senyum yang menenangkan, ada kebijaksanaan yang telah diwariskan turun-temurun.
Baca Juga Artikel Berikut: Blangkon Jogja : Filosofi dan Makna yang Tersirat













