
Dalam setiap hembusan napas, setiap detak jantung, dan setiap bisikan hati, tersimpan sebuah rahasia agung: kesaksian jiwa terhadap ke-Esaan Allah SWT. Sebuah janji yang telah terukir jauh sebelum kita menapakkan kaki di bumi ini, sebuah sumpah yang mengikat kita pada Sang Pencipta
Kesaksian Jiwa di Alam Azali
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-A’raf : 172:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman),
“Bukankah Aku ini Tuhanmu ?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.”
Ayat ini adalah fondasi spiritual sebelum kita terlahir di dunia ini, di alam arwah yang tak terbayangkan, setiap jiwa telah berdiri di hadapan Sang Pencipta. Dalam momen itu, sebuah dialog Ilahi terjadi.
Allah bertanya, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Dan setiap jiwa, tanpa kecuali, menjawab dengan lantang, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.”
Ini sebuah pengukuhan fitrah, cetak biru ketuhanan yang tertanam dalam inti setiap jiwa. Tujuannya jelas: agar kelak di Hari Kiamat, kita tidak bisa beralasan bahwa kita lengah atau tidak tahu akan keberadaan dan ke-Esaan-Nya.
Maka, setiap kali seorang hamba merasakan dorongan untuk mencari kebenaran, setiap kali ada getaran keimanan dalam hati, sesungguhnya itu adalah panggilan pulang bagi jiwa yang rindu kepada Penciptanya.
Baca Juga:

Renungan 8: Rasulullah ﷺ Meninggalkan Majlis Ketika Syaitan Masuk https://sabilulhuda.org/renungan-8-rasulullah-%ef%b7%ba-meninggalkan-majlis-ketika-syaitan-masuk/
Perjalanannya Menuju Kesempurnaan
Perjalanan jiwa di dunia ini tidak selalu mulus. Terkadang, ia terjerembab dalam kelalaian, godaan, dan dosa. Di sinilah peran jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri) atau dalam Al-Qur’an disebut an-Nafsu al-Lawwamah menjadi sangat penting. Allah bersumpah demi jiwa ini dalam QS. Al-Qiyamah: 2-3:
“Dan Aku bersumpah demi jiwa yang selalu menyesali (dirinya sendiri). Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?”
Sumpah Allah demi jiwa yang menyesali diri ini menunjukkan betapa agungnya sifat penyesalan. Penyesalan adalah tanda kesadaran, isyarat bahwa hati nurani masih hidup dan berfungsi. Ketika seseorang berbuat salah dan merasakan penyesalan.
Itu berarti ada cahaya keimanan yang mendorongnya untuk kembali ke jalan yang benar. Jiwa lawwamah adalah jiwa yang introspektif, yang senantiasa mengoreksi diri, dan melalui penyesalan itulah ia berproses menuju kesempurnaan.
Ayat ini juga menepis keraguan tentang Hari Kebangkitan. Meskipun tulang belulang tercerai-berai, Allah Mahakuasa untuk mengumpulkannya kembali, sebagaimana Dia menciptakan jiwa dan mengilhamkan kepadanya kemampuan untuk menyesali diri. Penyesalan adalah langkah awal menuju pertobatan dan penyucian jiwa.
Jiwa yang Diridhai sebagai Puncak
Puncak dari perjalanan spiritual jiwa adalah ketika ia mencapai keridaan Ilahi. Inilah yang di gambarkan dalam QS. Al-Fajr : 27-30:
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu.”
Ayat-ayat ini adalah kabar gembira yang menggetarkan. Jiwa yang tenang (an-Nafsu al-Muthmainnah) adalah jiwa yang telah menemukan kedamaian sejati dalam mengingat Allah. Ia telah mencapai tingkat keyakinan yang kokoh, terbebas dari keraguan.
Dan ridha dengan segala ketetapan Allah, baik suka maupun duka. Jiwa semacam ini tidak lagi di ombang-ambingkan oleh godaan dunia atau bisikan syaitan.
Ketika jiwa mencapai derajat ini, ia akan kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ridha dan diridhai. Ini adalah kondisi saling menerima: seorang hamba ridha dengan takdir dan hukum Allah, dan Allah pun ridha dengan hamba-Nya.
Hasilnya adalah undangan agung untuk masuk ke dalam golongan hamba-hamba pilihan-Nya dan kemudian memasuki Surga-Nya yang penuh kenikmatan abadi. Ini adalah tujuan akhir dari setiap perjalanan jiwa yang beriman.
Untung Rugi Seseorang Tergantung pada Penyucian Jiwa
Keberhasilan atau kegagalan seseorang di dunia dan akhirat sangat bergantung pada bagaimana ia memperlakukan jiwanya. Allah bersumpah demi hal ini dalam QS. Asy-Syams : 7-10:
“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya. Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.”
Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menciptakan jiwa dengan sempurna dan menganugerahinya potensi untuk mengenal kebaikan dan keburukan. Setiap manusia di lahirkan dengan fitrah yang cenderung kepada kebaikan, namun juga di berikan kebebasan memilih.
Allah mengilhamkan kepada jiwa fujuraha (jalan kejahatan) dan taqwaha (jalan ketakwaan). Ini berarti, manusia memiliki kesadaran akan dampak dari setiap pilihan dan perbuatannya.
Maka, jelaslah bahwa keberuntungan sejati terletak pada penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Menyucikan jiwa berarti membersihkannya dari noda-noda dosa, syirik, riya’, hasad, dengki, dan sifat-sifat tercela lainnya.
Sebaliknya, mengotorinya berarti membiarkannya terjerumus dalam kemaksiatan dan kekufuran. Ini adalah sebuah perjuangan yang tak pernah berhenti, sebuah jihad melawan hawa nafsu dan bisikan syaitan.
Jiwa yang suci akan memancarkan cahaya keimanan dan ketakwaan, sementara jiwa yang kotor akan gelap dan terpenjara dalam kesesatan.
Gerak-Gerik Hati Diketahui Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan Allah, bahkan bisikan hati yang paling rahasia sekalipun. Ini di tegaskan dalam QS. Al-Baqarah : 284 dan QS. Ali Imran : 29:
a. “Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu.”
b. “Katakanlah, Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya.” “Dia mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Ayat-ayat ini mengajarkan tentang pengawasan Allah yang Maha Menyeluruh. Tidak hanya perbuatan lahiriah yang tercatat, tetapi juga niat dan lintasan pikiran dalam hati. Ini seharusnya menjadi pengingat konstan bagi setiap mukmin untuk senantiasa menjaga kebersihan hati.
Hati adalah raja bagi anggota tubuh lainnya; jika hati baik, maka seluruh amal perbuatan akan baik, dan sebaliknya.
Pengetahuan Allah yang mutlak ini mendorong kita untuk senantiasa berintrospeksi, membersihkan niat dari segala bentuk syirik dan riya’, serta memastikan bahwa setiap gerak-gerik hati selaras dengan kehendak Ilahi.
Ini adalah salah satu bentuk ihsan, yaitu beribadah seolah-olah melihat Allah, atau jika tidak bisa, meyakini bahwa Allah melihat kita.
Hati akan Dimintai Pertanggungjawaban
Konsekuensi dari pengawasan Allah terhadap hati adalah bahwa setiap hati akan di mintai pertanggungjawaban di Hari Kiamat. QS. Al-Isra’ : 36 menyatakan:
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan di mintai pertanggungjawabannya.”
Ayat ini menekankan pentingnya integritas dan kejujuran dalam mencari ilmu dan informasi. Kita tidak boleh mengikuti atau menyebarkan sesuatu yang tidak kita yakini kebenarannya, apalagi jika itu adalah kebohongan atau fitnah.
Yang lebih penting lagi, ayat ini menegaskan bahwa hati nurani (al-fu’ad) adalah salah satu dari indra yang akan di tanyai.
Hati nurani adalah pusat pemahaman, akal, dan niat. Di Hari Perhitungan, ia akan menjadi saksi atas apa yang telah di lakukan pemiliknya, baik berupa niat baik maupun niat buruk.
Ini seharusnya menjadi motivasi kuat bagi kita untuk senantiasa mendidik hati, mengisinya dengan ilmu yang bermanfaat, dan melindunginya dari segala bentuk keraguan dan kemaksiatan.
Dusta dan Penyakit Hati
Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan bahwa dusta adalah salah satu penyakit hati. Dalam QS. Al-Baqarah : 10, Allah berfirman:
“Dalam hati mereka ada penyakit lalu Allah menambah penyakitnya itu, dan mereka mendapat azab yang pedih karena mereka berdusta.”
Ayat ini menggambarkan kondisi hati yang rusak akibat kedustaan. Dusta tidak hanya berarti mengucapkan kebohongan, tetapi juga bisa berarti mendustakan kebenaran, yaitu tidak mau menerima dan meyakini apa yang datang dari Allah dan Rasul-Nya.
Penyakit hati yang di maksud di sini mencakup keraguan, kemunafikan, dan ketidakmampuan untuk beriman sepenuhnya. Ketika keyakinan terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan ajaran Islam melemah, akan muncul sifat-sifat tercela seperti kedengkian, iri hati, dan dendam terhadap kebenaran dan para pembawanya.
Baca Juga: Renungan Pagi Penyuluh Kristen “Hidup Harus Punya Pengharapan”
Dusta menjadi pintu gerbang bagi penyakit-penyakit hati lainnya yang akan semakin memperparah kondisi spiritual seseorang. Lingkaran setan ini pada akhirnya akan membawa mereka pada azab yang pedih. (Bersambung)
Oleh: Ki Pekathik













