Seorang pria paruh baya sedang berdiri di dekat gerbang sekolah, pandangannya mengarah ke kelas tiga. Saat bel pulang berbunyi, murid-murid berhamburan keluar dari kelas masing-masing. Salah satu murid berlari ke arahnya.

“Halo ayah!” teriak rogi dengan senyum yang merekah di bibirnya.

“Ayo kita lekas pulang.” Pak Rofif menggandeng tangan Rogi ke arah motor yang di parkirnya di pinggir jalan.

Sesampainya di rumah Rogi langsung di sambut oleh pertanyaan ibunya.

“Sekolahnya gimana? Ada PR enggak? ”

Rogi melepas sepatunya dan duduk di kursi depan tv bersama sang ibu. Dengan wajah cemberut Rogi menjawab.

“Ada bu, tapi Rogi ga paham materinya.”

“Memangnya tentang apa?”ayah Rogi ikut bergabung.

“Tentang pancasila yah, tugasnya di suruh menjelaskan maksud dan nilai-nilai dari pancasila. Rogi bingung, soalnya tadi pas pelajaran gurunya terlalu cepat jelasinnya.”kata Rogi panjang lebar.

Mendengar hal itu, ayah Rogi tersenyum dan berkata, “Oh, gampang, nanti habis ashar ikut ayah riungan (pengajian).” Rogi tidak mengerti maksud ayahnya, kenapa ia harus ikut riungan? Apa hubungannya pancasila dengan riungan?. Karena penasaran dengan maksud  ayahnya, ia menurut saja.

Selepas salat asar, pak Rofif dan Rogi pergi ke tempat riungan. Sesampainya di sana, mereka langsung mendapatkan tempat duduk. Selepas doa-doa selesai dibaca, para tamu yang datang disuguhi makanan. Ayah Rogi mulai berbicara,

“Rogi, bunyi sila pertama seperti apa?” tanya ayah Rogi serius, dengan mantap Rogi menjawab, “Ketuhanan yang Maha Esa.”

Mendengar itu, pak Rofif tersenyum dan berkata, “Dalam riungan, kita memuja dan memuji Tuhan yang Maha Esa. Itu berarti, kita telah mengamalkan sila pertama.”

Rogi Mengangguk-anggukan kepalanya. “Kalau bunyi sila kedua seperti apa?” tanya ayah Rogi lagi.

“Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Rogi menjawab dengan yakin. Pak Rifif tersenyum bangga dan mengusap kepala Rogi.

“Coba kamu perhatikan setiap orang yang hadir dalam ruangan ini. Dari cara berpakaian, posisi duduk, bahkan tempat duduknya sama rata sama rasa. Itulah nilai dari sila kedua.” ayahnya menjelaskan. Rogi memperhatikan sekelilingnya, ia mulai paham dan mengangguk-angguk.

“Sekarang, apa bunyi sila ketiga?”

Rogi tampak berpikir sejenak. “Persatuan Indonesia.” Jawab Rogi sedikit ragu. Kemudian, ayahnya menujuk ke bagian barat. “Lihat, kamu tahu pak Poltak orang mana?”

“Dari Semarang yah.” Jawab Rogi sambil menatap ayahnya.

Ayahnya tersenyum dan lanjut berbicara. “Nah, lalu di sebelah pak Poltak ada pak Sarwono, dia dari Jawa. Di depannya ada pak Beta dari papua, dan lain-lain. Kamu tahu maksud ayah?” Rpgi menggelengkan kepala tanda tak paham.

“Mereka itu, meskipun berbeda-beda tetapi tetap satu, duduk bersama, dan membaca doa bersama. Tanpa membedakan asal dan adat mereka. Itulah nilai dari sila ke…”

“Ketiga ayah!” potong Rogi dengan semangat. Ayahnya menepuk-nepuk bahu Rogi bangga.

“Betul sekali, sekarang apa bunyi sila keempat?”

“Rogi lupa-lupa ingat yah, kepanjangan.” Rogi berusaha Mengingat-ingat. “Aha! Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

“Betul sekali, pintar anak ayah.” Ucap pak Rofif bangga. Kemudian melanjutkan pembicaraan.

“Kamu tahu yang memimpin riungan ini? Itu yang duduk di tengah.”

“Itu pak Rosyid ayah yang mimpin, guru ngaji Rogi.”

“Pak Rosyid di sini berperan sebagai pemimpin, ia memandu pujian-pujian dan doa.  Sedangkan kita dan yang lainnya sebagai rakyat. Dari sinilah nilai sila keempat di amalkan, pemimpin dan rakyat saling bijaksana dan menghargai.” Jelas pak Rofif panjang lebar.

“Nah, kalau sila yang ke lima apa?”

“Yang kelima, Keadilan ee… ee… Rogi lupa.” kata Rogi sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Ealah bocah, kita sebagai warga Indonesia itu harus hafal Pancasila, kan itu dasar negara kita. Sila kelima itu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, kita harus berlaku adil kepada semua orang. Baik orang itu miskin ataupun kaya, tua atau muda.***

(MIFTAHUL HUDA)

Artikel yang Direkomendasikan