Arti & Makna Filosofi Kata “Panjenengan” Dalam Budaya Jawa

Seorang pria Jawa memberi salam hormat dengan sikap sembah kepada seorang wanita sepuh yang duduk di kursi ukir tradisional di depan rumah joglo.
Ungkapan rasa hormat dalam budaya Jawa, ditunjukkan dengan sikap sembah seorang pria muda kepada orang yang lebih tua.

Arti & Makna Filosofi Kata “Panjenengan” Dalam Budaya Jawa – Dalam kehidupan sehari-hari, orang Jawa memiliki banyak sekali pilihan dari kata ganti untuk menyebut kamu atau anda. Setiap kata ganti yang sering di pakai oleh orang tua kita dulu tidak hanya untuk menunjukkan siapa lawan bicaranya.

Tetapi juga untuk mencerminkan dari tingkat sebuah penghormatan dan hubungan sosial antara penutur dan pendengarnya. Salah satu kata yang memiliki makna filosofis yang mendalam adalah Panjenengan.

Kata ini sering sekali kita dengar dalam percakapan berbahasa Jawa. Terutama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, seperti tokoh masyarakat, guru, atau siapapun yang memang patut untuk dihormati.

Seorang pria Jawa memberi salam hormat dengan sikap sembah kepada seorang wanita sepuh yang duduk di kursi ukir tradisional di depan rumah joglo.
Ungkapan rasa hormat dalam budaya Jawa, ditunjukkan dengan sikap sembah seorang pria muda kepada orang yang lebih tua.

Namun, jarang sekali yang menyadari bahwa kata Panjenengan tersebut tidak hanya sebagai kata ganti orang kedua saja. Melainkan juga terkandung sarat dengan nilai budaya, tata krama, sekaligus filosofi luhur orang Jawa.

Asal-usul Kata Panjenengan

Secara etimologis, kata Panjenengan ini berasal dari kata Pajumenengan, yang berarti tempat berdiri atau lapak tempat untuk berpijak. Dalam pandangan orang Jawa kuno, ketika sedang berbicara dengan seseorang yang dihormatinya. Posisi lawan bicara tersebut dianggap berada lebih tinggi dari kita.

Oleh karena itu, yang tampak pertama kali bukan tubuhnya, melainkan tempat di mana ia akan berdiri. Dari sinilah kata Pajumenengan lahir sebagai sebutan penuh hormat, dan dalam perkembangan bahasa kemudian disingkat menjadi Panjenengan.

Uniknya, kata dasar jeneng dalam bahasa Jawa kuno berarti berdiri. Namun, dalam perkembangan bahasa modern, arti jeneng bergeser menjadi nama. Misalnya, “Jenengmu sapa?” yang berarti Namamu siapa?.

Dari pergeseran makna ini menunjukkan bahwa bagaimana bahasa Jawa itu selalu berkembang mengikuti kehidupan masyarakatnya, tetapi tetap menyimpan jejak filosofis masa lalu.

Baca Juga:

Ilustrasi orang Jawa tempo dulu berpakaian tradisional jatuh tersungkur ke depan (kejlungup) di jalan desa dengan latar rumah joglo dan warga yang menyaksikan.

Makna & Filosofi Kata Kejlungup Dalam Bahasa Jawa Yang Perlu Kamu Tahu https://sabilulhuda.org/makna-filosofi-kata-kejlungup-dalam-bahasa-jawa-yang-perlu-kamu-tahu/

Filosofi Tingkatan Sapaan Dalam Bahasa Jawa

Budaya Jawa sangat menekankan tata krama, sehingga terdapat tingkatan dalam menyebut kata ganti kamu:

  • Panjenengan: paling sopan, biasanya digunakan untuk orang yang dihormati.
  • Sampeyan: masih sopan, tetapi lebih akrab, seakan kita berhadapan dengan lawan bicara.
  • Awakmu: biasa digunakan dalam situasi akrab dengan teman sebaya.
  • Kowe/Koen: paling kasar, biasanya dipakai dalam keakraban yang sangat dekat atau dalam pertengkaran.

Dari tingkatan ini terlihat jelas bagaimana orang Jawa membangun relasi sosialnya. Dengan menggunakan kata Panjenengan berarti juga secara otomatis menempatkan lawan bicara pada posisi paling terhormat.

Inilah yang membuat kata ini tidak hanya sebatas sapaan, tetapi juga sebagai bentuk penghargaan terhadap orang lain.

Contoh Penggunaan Kata Panjenengan

Dalam percakapan sehari-hari, kata Panjenengan biasanya diikuti oleh bahasa Jawa yang halus atau dengan krama inggil. Contohnya:

“Panjenengan punapa sampun dahar?”
(Apakah Anda sudah makan?)

Kalimat yang sederhana ini menunjukkan bagaimana rasa hormat itu kita tuangkan ke dalam bahasa. Tidak hanya memilih kata yang sopan saja, tetapi juga dengan menggunakan struktur kalimat yang halus agar lawan bicara merasa di hargai.

Makna Filosofis Kata Panjenengan

Lebih dari hanya sebatas kata ganti, tetapi kata Panjenengan ini mengandung ajaran filosofis tentang unggah-ungguh atau tata laku. Orang Jawa meyakini bahwa dengan menghormati orang lain sama artinya dengan menjaga harmonisasi dalam kehidupan.

Saat kita menggunakan kata ini, sesungguhnya kita juga sedang menempatkan diri di bawah dan meninggikan orang yang diajak bicara.

Inilah wujud dari falsafah Jawa tentang ngajeni liyan (menghormati orang lain). Dengan demikian, Panjenengan bukan hanya sapaan. Tetapi sebagai simbol untuk penghormatan, kesantunan, dan kearifan yang telah diwariskan dari para leluhur hingga sekarang ini.

Maka dengan memahami dan menggunakan kata ini dengan tepat, kita tidak hanya melestarikan bahasa Jawa, tetapi juga merawat nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga Artikel Berikut: Blangkon Jogja : Filosofi dan Makna yang Tersirat