Arti Dari Kata “Nglotok” Dalam Budaya Jawa Sebagai Simbol Pemahaman Diri & Kejernihan Hati

Ilustrasi pria Jawa tua bermeditasi di samping kulit telur pecah sebagai simbol nglotok, pemahaman diri, dan kejernihan hati.
Gambar pria Jawa bermeditasi dengan kulit telur yang telah pecah—simbol proses “nglotok”, meluruhkan lapisan luar menuju keaslian dan kedewasaan batin.

Sabilulhuda, Yogyakarta: Arti Dari Kata “Nglotok” Dalam Budaya Jawa Sebagai Simbol Pemahaman Diri & Kejernihan Hati – Kalau kita berbicara tentang budaya Jawa, hampir setiap katanya selalu mengandung makna yang lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan. Tidak hanya dalam pepatah, ungkapan, atau tembang, tetapi juga dalam kata-kata sepele yang biasa mereka pakai dalam percakapan sehari-harinya.

Salah satu kata yang sering kita dengar namun jarang benar-benar kita resapi maknanya adalah kata “nglotok” atau “ngelotok.”

Sekilas, kata ini terdengar seperti istilah biasa untuk menggambarkan sesuatu yang mengelupas atau mudah kita lepas. Misalnya ketika kita menyebut “rambutane nglotok”, yang artinya daging buah rambutannya tidak melekat pada bijinya.

Tetapi bagi orang Jawa sendiri, makna nglotok tidak berhenti sampai di sana. Kata ini ternyata menyimpan filosofi tentang ilmu, kejujuran, kedewasaan, dan pemahaman hidup.

Filosofi Nglotok Tentang Ilmu Yang Meresap Ke Dalam Diri

Dalam masyarakat Jawa, “nglotok” juga sering kali mereka memakainya untuk menggambarkan seseorang yang sangat hafal, sangat paham, atau orang itu sudah menguasai sesuatu tanpa ragu sedikit pun.

Ungkapan seperti:

  • “Wis ora usah sinau maneng, wis nglotok.”

Kalimat tersebut mengandung makna bahwa ilmu itu sudah menyatu dengan dirinya. Bukan hanya sebatas mereka hafal. Tetapi mereka meresapinya, mengerti dan memahami, serta sudah menjadi bagian dari keseharian orang tersebut.

Baca Juga:

Orang Jawa, melihat proses dalam memahami sesuatu itu bukan hanya karena mereka ingin menghafalnya saja, tetapi juga sebagai perjalanan batin. Sesuatu yang mereka pelajari dengan kesungguhan akan “ngelotok” dengan sendirinya, seperti kulit yang luruh ketika inti sudah matang.

Dalam ajaran Jawa, hal ini berhubungan erat sekali dengan konsep ngelmu kang tanpa rekasa. Yaitu suatu pengetahuan yang keluar tanpa dipaksa, yang hadir karena kedalaman pemahaman, bukan karena banyaknya bacaan.

Nglotok Dan Proses Meluruhkan Hal-Hal Yang Tidak Perlu

Jika kita melihat makna dasarnya adalah mengelupas, tidak melekat, atau mudah lepas. Jadi orang Jawa memaknai kata “nglotok” ini sebagai proses yang sangat natural dalam kehidupan.

Dalam filsafat Jawa, manusia sering diibaratkan seperti buah. Ada kulit, ada daging, dan ada biji yang menjadi inti.

Maka “nglotok” menggambarkan momen ketika lapisan luar seseorang mulai luruh, dan yang tersisa adalah bagian yang terdalam dari  dirinya.

Itulah sebabnya kata ini sering dikaitkan dengan:

1. Kejujuran diri

Ketika seseorang itu sudah “ngelotok”, maka dia akan menjadi apa adanya. Tidak lagi memakai topeng, tidak menutup-nutupi, dan tidak memaksakan kesan.

Orang Jawa menyebutnya sebagai seseorang yang tepa slira, yaitu kesadaran akan diri sendiri dan juga orang lain.

2. Kebijaksanaan

Ilmu yang sudah “ngelotok” bukan hanya ilmu yang terekam di kepala saja, tetapi ilmu yang turun ke hati yang dapat mempengaruhi cara seseorang bersikap dan mengambil suatu keputusan.

3. Kedewasaan

Orang yang sudah “ngelotok” hidupnya tidak mudah digoyang oleh gengsi maupun kepura-puraan. Mereka itu sudah melewati proses ngampingi awak lan pikiran (pendewasaan batin dan pikiran).

Baca Juga:

Ketika Nglotok Menjadi Cermin Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Walaupun tampak sederhana, nilai filosofis dari kata nglotok ini bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya:

Dalam belajar

  • Ilmu yang benar-benar berguna bukanlah yang sebatas mereka hafal, tetapi ilmu yang bisa mereka terapkan dalam keseharian. Orang Jawa percaya bahwa ilmu yang baik adalah ilmu yang “ngalir lan nancep”, bukan ilmu yang numpuk di kepala.

Saat bekerja

  • Ketika seseorang sudah “ngelotok” dengan pekerjaannya, maka ia akan bekerja dengan lebih tenang, efektif, dan penuh dengan percaya diri. Hal ini bukan karena kesombongan, tetapi karena memang mereka menguasainya.

Dalam hubungan sosial

  • Orang yang “ngelotok” biasanya tidak dibuat-buat. Sikapnya natural, sederhana, dan membumi. Karena ia sudah melepas lapisan-lapisan ego yang tidak dibutuhkan.

Makna Nglotok Sebagai Pengingat Tentang Keaslian

Kata “nglotok” juga bisa menjadi nasehat agar manusia itu tidak terus-menerus hidup dalam lapisan yang palsu.
Dalam budaya Jawa, seseorang diharapkan bisa menjadi semanak, lugas, dan tulus.

Ada pesan yang halus dalam kata ini:

“bahwa manusia akan lebih dihormati bukan karena tampilan luar, tetapi karena kedalaman watak dan luasnya pemahaman”.

Maka ketika seseorang itu sudah “ngelotok”, ia biasanya lebih mampu:

  • menahan diri,
  • bijaksana dalam menanggapi masalah,
  • tidak mudah tersinggung,
  • dan tidak merasa paling tahu meskipun ia ahli.

Karena baginya, keahlian adalah amanah, bukan alasan untuk meninggikan diri.

Relevansi Dari Kata Nglotol Yang Justru Semakin Kuat

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh pencitraan seperti sekarang, maka nilai “nglotok” terasa semakin penting.

Kita hidup di zaman di mana banyak hal tampak indah di luar, tetapi belum tentu memiliki kedalaman di dalam. Di mana kesibukan sering kali menutupi proses pendewasaan diri.

Maka filosofi nglotok ini hadir sebagai pengingat yang halus:

“bahwa apa yang melekat di luar tidak selalu mencerminkan apa yang ada di dalam.”

Orang Jawa percaya bahwa yang paling berharga bukanlah apa yang tampak, tetapi apa yang benar-benar melekat dalam diri mereka sendiri tentang pemahaman, kebijaksanaan, dan kejujuran hati.

Baca Juga Artikel Berikut: Blangkon Jogja : Filosofi dan Makna yang Tersirat